TEORI PERMINTAAN DALAM EKONOMI ISLAM MENURUT Q.S AL-MAIDAH AYAT 87 DAN 88 DALAM TAFSIR IBNU KATSIR


TEORI PERMINTAAN DALAM EKONOMI ISLAM
 MENURUT Q.S AL-MAIDAH AYAT 87 DAN 88
 DALAM TAFSIR IBNU KATSIR



MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Tafsir Hadist Ekonomi Makro 
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Naqiyah, M.Ag
Disusun oleh
Nama                           :Wiwik Wijayanti
NIM                            : 1617202126
Kelas                           : 4 Perbankan Syariah C
PERBANKAN SYARIAH
 FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsep permintaan dalam islam menilai suatu komoditi (barang atau jasa) tidak semuanya bisa dikonsumsi maupun digunakan, dibedakan antara yang halal dengan yang haram. Oleh karena itu, dalam teori permintan Islam membahas permintaan barang halal, sedangkan dalam permintaan konvensional, semua komoditi dinilai sama, bisa dikonsumsi dan digunakan.
Konsumsi dalam ekonomi Islam adalah upaya memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah). Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama Muslim selalu dan harus di dasarkan pada Syariah Islam.
Secara umum dalam teori permintaan seorang konsumen dan produsan sama-sama tidak ingin dirugikan, maka dari itu dalam makalah ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang teori permintaan yang ada dalam islam yang terkandung dalam surat Al-Maidah ayat 87 dan 88. Untuk mengetahui teori permintaan dalam konsep Islam perlu kita telaah Asbabunnuzul serta dasar hukum (yang ditafsirkan oleh beberapa mufasir).









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dasar Hukum
Surat Al-Maidah ayat 87-88
يَاِ اَيُّهَا الَّذِ يْنَ آ مَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَا اَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلَاتَعْتَدُوْا,اِنَّاللهَ لَايُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ (87      (
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang telah dihalalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas“
وَكُلُوْامِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ حَلَالاً طَيِّبًاوَّاتَّقُوْاللهَ الَّذِيْ اَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“ Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah Yang kamu beriman kepada-Nya” .[1]
B.     Asbabunnuzul Q.S Al-Maidah 87-88
Asbab merupakan bentuk jamak dari kata asbab  yang bisa berarti sebab, alasan, latar belakang, dan motif. Jadi asbabunnuzul adalah sebab, alasan, latar belakang, dan motif turunnya al-Qur’an. Menurut as-Suyuti asbab al-nuzul adalah peristiwa yang terjadi sebelum turun ayat, sedangkan peristiwa yang terjadi sesudahnya tidaklah disebut sebab.[2] 
Pada suatu waktu datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW seraya berkata : “Wahai Rasulullah, apabila aku makan daging syahwatku akan timbul lebih ganas terhadap wanita. Oleh sebab itu aku mengharamkan atas diriku makan daging”. Sehubungan dengan itu Alloh SWT menurunkan ayat 87 dan 88 yang dengan tegas memberikan larangan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Alloh SWT. Apapun alasanya barang halal harus dihalakan oleh Alloh SWT tetap haram. (H.R Tirmidzi dan yang lain Ibnu Abbas)[3]
Pada suatu waktu sekelompok sahabat Nabi SAW, yang diantaranya terdapat Utsman bin Madh’un, mengharaman menggauli istri dan mengharamkan makan dagiang atas diri mereka masing-masing. Mereka mengambil pisau ingin memotong alat fitalnya (zakar) agar syahwat terhadap wanita terputus, sehingga bisa menyibukan diri dengan beribadah kepada Alloh SWT. Sehubungan dengan peristiwa tersebut Alloh SWT menurunkan ayat ke-87 dan 88 sebagai ketegaan tentang larangan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Alloh SWT, demikian sebaliknya. Mengharamkan barang sekalipun dengan dalih meningkatkan ketekunan beribadah kepada Alloh SWT tetap dilarang oleh ajaran agama.
            Ayat ke-87 dan 88 diturunkan berkenaan dengan para sahabat Nabi SAW yang telah bersepakat untuk mengebiri diri (melakukan steril) dan akan menjauhi persanggamaan dengan istri, tidak akan makan daging, dan tidak akan makan sesuatu kecuali sekedar penguat badan saja serta tidak akan mengenakan pakaian awam. Mereka bertekad untuk mengadakan dakwah keliling keseluruh dunia sebagaimana yang dilakukan ole para Rahib (Pendeta Nasrani). Diantara mereka itu terdapat Abu Bakar Shiddik, Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Madh’un, Ibnu Mas’ud, Miqdad bin Aswad dan Salim budak Hudzaifah yang telah dimerdekakan. Sehubungan dengan tekad para sahabat tersebut Alloh SWT menurunkan ayat ini, yang dengan tegas melarang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Alloh SWT sekalipun dengan alasan untuk meluhurkan agama.[4] Disamping itu di dalam berdakwah tidak boleh memaksakan diri dengan meninggalkan sesuatu yang dihalalkan Alloh SWT.
            Pada suatu waktu Abdillah bin Rawahah kedatangan sanak keluarga yang bertamu kepadanya. Ketika itu dia sedang berada dirumah Rasulullah SAW. Ketika dia tiba dirumah, didapati tamu-tamu itu belum dijamu makan karena menunggu kedatangan Abdullah bin Rawahah. Ia langsung berkata kepada istrinya “mengapa tamu itu kau biarkan saja tanpa kamu beri jamuan makan hanya karena menunggu aku. Padahal makanan ini adalah haram bagiku”. Istriya juga berkata “ makanan ini juga haram bagiku”. Tamu-tamu itupun berkata “makanan inipun haram buat kami”. Sewaktu Abdillah melihat kejadian yang seperti itu, dia langsung mempersilahkan kepada tamunya untuk makan sambil membaca Basmallah , dan diapun makan bersama mereka. Setelah itu mereapun sepakat untuk menghadap Rasulullah SAW menceritakan kejadian tersebut. Sehubungan dengan itu Alloh SWT menurunkan ayat ke-87 dan 88 yang dengan tegas memberikan larangan tentang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Alloh SWT, demikian sebaliknya. (H.R. Ibnu Abi Hatim dari Zaid bin Aslam)
C.     Tafsir Ibnu Katsir
Q.S. Al-Maidah, ayat 87-88
يَاِ اَيُّهَا الَّذِ يْنَ آ مَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَا اَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلَاتَعْتَدُوْا,اِنَّاللهَ لَايُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ (87      (
وَكُلُوْامِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ حَلَالاً طَيِّبًا,وَّاتَّقُوْاللهَ الَّذِيْ اَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (88(
Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari ibnu Abbas, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari sahabat Nabi Saw. yang mengatakan, "Kita kebiri diri kita, tinggalkan nasfu syahwat duniawi dan mengembara di muka bumi seperti yang dilakukan oleh para rahib d i masa lalu." Ketika berita tersebut sampai kepada Nabi Saw., maka beliau mengirimkan utusan untuk menanyakan hal tersebut kepada mereka. Mereka menjawab, "Benar." Maka Nabi Saw. bersabda:[5]
لكني أ صو م و أفطرز. وأصلى وأ نا م, و ا نكح ا لنسا ء. فمن اخذ بسنتي فهو مني . ومن لم يأ خذ بسنتي فليس مني. ر و ا ه ا بن ا بى حا تم
”Tetapi aku puasa, berbuka, salat, tidur, dan menikahi wanita. Maka barang siapa yang mengamalkan sunnahku (tuntunanku), berarti dia termasuk golonganku; dan barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku” (Riwayat Ibnu Abu Hatim)
ما با ل ا قو ا م يقو ل ا حد هم كذ ا. لكني أ صو م و ا فطر و ا نا م و ا قو م و كل للحم, و ا تز و خ ا لنسا ء, فمن رغب عن سنتي فليس مني.
Apakah gerangan yang dialami oleh kaum, seseorang dari mereka mengatakan anu dan anu, tetapi aku puasa, berbuka, tidur, bangun, makandaging, dan kawin dengan wanita. Maka barang siapayang tidak suka dengan sunnah (tuntunan)ku. maka dia bukan dari golonganku.
Ad­Dahhak ibnu Mukhallad, dari Usman (yakni Ibnu Sa'id), telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku apabila makan daging ini, maka berahiku terhadap wanita memuncak, dan sesungguhnya aku sekarang mengharamkan daging atas diriku." Maka turunlah firman­Nya: [6]
يَاِ اَيُّهَا الَّذِ يْنَ آ مَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَا اَحَلَّ اللهُ لَكُمْ .
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Ismail. Peristiwa ini terjadi sebelum nikah mut 'ah diharamkan. Al­A'masy telah meriwayatkan dari Ibrahim, dari Hammam ibnul Haris, dari Amr ibnu Syurahbil yang menceritakan bahwa Maqal ibnu Muqarrin datang kepada Abdullah ibnu Mas'ud, lalu Ma'qal berkata, "Sesungguhnya aku sekarang telah mengharamkan tempat tidurku (yakni tidak mau tidur di kasur lagi)" Maka Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman­Nya: [7]
As­Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Abud Duha, dari Masruq yang menceritakan, "Ketika kami sedang berada di rumah Abdullah ibnu Mas'ud, maka disuguhkan kepadanya air susu perahan. Lalu ada seorang lelaki (dari para hadirin) yang menjauh. Abdullah ibnu Mas'ud berkata kepadanya, Mendekatlah/ Lelaki itu berkata, 'Sesungguhnya aku telah mengharamkan diriku meminumnya.' Abdullah ibnu Mas'ud berkata, 'Mendekatlah dan minumlah, dan bayarlah kifarat sumpahmu.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan kisah Abu Bakar As­Siddiq bersama tamu­tamunya yang isinya serupa dengan kisah di atas. Berangkat dari makna kisah ini, ada sebagian ulama—seperti Imam Syafii dan lain­lainnya— yang mengatakan bahwa barang siapa mengharamkan suatu makanan atau pakaian atau yang lainnya kecuali wanita, maka hal itu tidak haram baginya dan tidak ada kifarat atas orang yang bersangkutan (bila melanggarnya).
Demikian pula apabila seseorang mengharamkan daging atas dirinya, seperti yang disebutkan pada hadis di atas, Nabi Saw­. tidak memerintahkan kepadanya untuk membayar kifarat.[8]
Ulama lainnya —antara lain Imam Ahmad ibnu Hambal—berpendapat bahwa orang yang mengharamkan sesuatu makanan atau minuman atau pakaian atau yang lainnya diwajibkan membayar kifarat sumpah. Begitu pula apabila seseorang bersumpah akan meninggalkan sesuatu, maka ia pun dikenakan sanksi begitu ia mengharamkannya atas dirinya, sebagai hukuman atas apa yang telah ditetapkannya. Seperti yang telah difatwakan oleh Ibnu Abbas, dan seperti yang terdapat di dalam firmanNya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istriistrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (AtTahrim:1) Kemudian dalam ayat selanjutnya disebutkan:
قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpah kalian. (At­Tahrim: 2), hingga akhir ayat.
Demikian pula dalam surat ini, setelah disebutkan hukum ini, lalu diiringi dengan ayat yang menerangkan tentang kifarat sumpah. Maka hal ini menunjukkan bahwa masalah yang sedang kita bahas sama kedudukannya dengan kasus sumpah dalam hal wajib membayar kifarat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al­Qasim, telah menceritakan kepada kami Al­Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid yang menceritakan bahwa ada segolongan kaum laki­laki —antara lain Usman ibnu Maz'un dan Abdullah ibnu Amr— bermaksud melakukan tabattul (membaktikan seluruh hidupnya untuk ibadah) dan mengebiri diri mereka serta memakai pakaian yang kasar. Maka turunlah ayat ini sampai dengan firman­Nya: [9]
وَّاتَّقُوْاللهَ الَّذِيْ اَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ....
dan bertakwalah kepada Allah yang kalian beriman kepada­Nya (Al­Maidah: 88)
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ikrimah, bahwa Usman ibnu Maz'un, Ali ibnu Abu Talib, Ibnu Mas'ud, dan Al­Miqdad ibnul Aswad serta Salim maula Abu Huzaifah bersama sahabat lainnya melakukan tabattul, lalu mereka tinggal di rumahnya masing­masing, memisahkan diri dari istri­istri mereka, memakai pakaian kasar, dan mengharamkan atas diri mereka makanan dan pakaian yang dihalalkan kecuali makanan dan pakaian yang biasa dimakan dan dipakai oleh para pengembara dari kaum Bani Israil. Mereka pun bertekad mengebiri diri mereka serta sepakat untuk giyamul lail dan puasa pada siang harinya. Maka turunlah firmanNya:
يَاِ اَيُّهَا الَّذِ يْنَ آ مَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَا اَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلَاتَعْتَدُوْا,اِنَّاللهَ لَايُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ (87      (
Dengan kata lain, janganlah kalian berjalan bukan pada jalan tuntunan kaum muslim. Yang dimaksud ialah hal­hal yang diharamkan oleh mereka atas diri mereka—yaitu wanita, makanan, dan pakaian—serta apa yang telah mereka sepakati untuk melakukannya, yaitu salat giyamul lail sepanjang malam, puasa pada siang harinya,dan tekad mereka untuk mengebiri diri sendiri. Setelah ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka, maka Rasulul lah Saw. mengirimkan utusannya untuk memanggil mereka, lalu beliau Saw. bersabda:
إن لأ نفسكم حقا. وان لأ عينكم حقا. صومواوأفطروا.وصلواوناموا.فليس منا ترك سنتنا.
Sesungguhnya kalian mempunyai kewajiban atas diri kalian, dan kalian mempunyai kewajiban atas mata kalian. Berpuasalah dan berbukalah, salatlah dan tidurlah, maka bukan termasuk golongan kami orang yang meninggalkan surmah kami.
Mereka berkata, "Ya Allah, kami tunduk dan patuh kepada apa yang telah Engkau turunkan." Kisah ini disebutkan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan tabi'in secara mursal, dan mempunyai bukti yang menguatkannya d i dalam kitab Sahihain melalui riwayat Siti Aisyah Ummul Mu­minin, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Asbat telah meriwayatkan dari As­Saddi sehubungan dengan firman :[10]
يَاِ اَيُّهَا الَّذِ يْنَ آ مَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَا اَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلَاتَعْتَدُوْا,اِنَّاللهَ لَايُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ (87      (
Pada awal mulanya terjadi di suatu hari ketika Rasulullah Saw. sedang duduk dan memberikan peringatan kepada orang­orang yang hadir, kemudian pergi dan tidak melanjutkan perintahnya lagi kepada mereka. Maka segolongan dari sahabat­sahabatnya yang berjumlah sepuluh orang —antara lain Ali ibnu Abu Talib dan Usman ibnu Maz'un— mengatakan, "Apakah yang akan kita peroleh jika kita tidak melakukan amal perbuatan? Karena sesungguhnya dahulu orang­orang Nasrani mengharamkan atas diri mereka banyak hal, maka kita pun harus berbuat hal yang sama." Sebagian dari mereka ada yang mengharamkan atas dirinya makan daging, makanan wadak, dan makan pada siang hari; ada yang mengharamkan tidur, ada pula yang mengharamkan wanita (istri). Tersebutlah bahwa Usman ibnu Maz'un termasuk orang yang mengharamkan wanita atas dirinya. Sejak saat itu dia tidak lagi mendekati istri­istrinya, dan mereka pun tidak berani mendekatinya. Lalu istri Usman ibnu Maz'un datang kepada Siti Aisyah r.a. Istri Usman ibnu Maz'un dikenal dengan nama panggilan Khaula. Siti Aisyah dan istri Nabi Saw. yang lainnya bertanya kepada Khaula, "Apakah yang engkau alami, hai Khaula, sehingga penampilanmu berubah, tidak merapikan rambutmu, dan tidak memakai wewangian?" Khaula menjawab, "Bagaimana aku merapikan rambut dan memakai wewangian, sedangkan suamiku tidak menggauliku lagi dan tidak pernah membuka pakaianku sejak beberapa lama ini." Maka semua istri Nabi Saw. tertawa mendengar jawaban Khaula. Saat itu masuklah Rasulullah Saw., sedangkan mereka dalam keadaan tertawa, maka beliau bertanya, "Apakah yang menyebabkan kalian tertawa?" Siti Aisyah menjawab, "Wahai Rasulullah, saya bertanya kepada Khaula tentang keadaannya yang berubah.[11] Lalu ia menjawab bahwa suaminya sudah sekian lama tidak pernah lagi membuka pakaiannya (menggaulinya)." Lalu Rasulullah Saw. mengirimkan utusan untuk memanggil suaminya, dan beliau bersabda, "Hai Usman, ada apa denganmu?" Usman ibnu Maz'un menjawab, "Sesungguhnya aku tidak menggaulinya lagi agar dapat menggunakan seluruh waktuku untuk ibadah." Lalu ia menceritakan duduk perkaranya kepada Nabi Saw. Usman menyebutkan pula bahwa dirinya telah bertekad untuk mengebiri dirinya. Mendengar pengakuannya itu Rasulullah Saw. bersabda, "Aku bersumpah kepadamu, kamu harus kembali kepada istrimu dan menggaulinya." Usman ibnu Maz'un menjawab, "Wahai Rasulullah, sekarang aku sedang puasa." asulullah Saw. bersabda, "Kamu harus berbuka." Maka Usman berbuka dan menyetubuhi istrinya. Khaula kembali kepada Siti Aisyah dalam keadaan telah merapikan rambutnya, memakai celak mata dan wewangian. Maka Siti Aisyah tersenyum dan berkata, "Mengapa engkau, hai Khaula?" Khaula menjawab bahwa suaminya telah menggaulinya kembali kemarin. Dan Rasulullah Saw. bersabda:[12]
ما با ل اقوام حر مواالنساء.واطعام والنوم.ألاإني أنام وأقوموأفطرواصوم وانكح النساء.فمن رغب غني فليس مني
Apakah gerangan yang telah dilakukan oleh banyak orang; mereka mengharamkan wanita, makanan, dan tidur. Ingatlah, sesungguhnya aku tidur, berbuka, puasa, dan menikahi wanita Barang siapa yang tidak suka dengan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.
وَلَاتَعْتَدُوْا.....
dan janganlah kalian melampaui batas. (Al­Maidah: 87)
Makna yang dimaksud dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Janganlah kalian berlebih­lebihan dalam mempersempit diri kalian dengan mengharamkan hal­hal yang diperbolehkan bagi kalian. Demikianlah menurut pendapat sebagian ulama Salaf. Dapat pula diinterpretasikan: Sebagaimana kalian tidak boleh mengharamkan yang halal, maka jangan pula kalian melampaui batas dalam memakai dan mengkonsumsi yang halal, melainkan ambillah darinya sesuai dengan keperluan dan kecukupan kalian, janganlah kalian melampaui batas. Seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat yang lain, yaitu:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih­lebihan. (Al­A'raf: 31), hingga akhir ayat. [13]
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Dan orang­orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih­lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah­tengah antara yang demikian. (Al-Furqan: 67)
Allah Swt mensyariatkan sikap pertengahan antara yang berlebihan dan yang kikir dalam bemafkah, yakni tidak boleh melampaui batas, tidak boleh pula menguranginya.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konsumsi adalah kegiatan ekonomi yang penting, bahkan terkadang dianggap paling penting, Al-Qur’an telah menjelaskan tentang berbagai macam etika dalam konsumsi dan teori permintaan. Dalam Q.S Al-Maidah ayat 87 dan 88 telah dijelaskan begitu rinci tentang etika konsumsi dan teori permintaan dalam islam. Dari pembahasan yang sudah dijelaskan diatas sebaiknya masyarakat muslim didunia, lebih khusus di Indonesia karena masyarakatnya mayoritas muslim, penerapan sistem ekonomi Islam dalam kajian permintaan dan penawaran, agar barang yang kita konsumsi atau gunakan tersebut halal dan berkah.
Konsep permintaan dalam islam menilai suatu komoditi (barang atau jasa) tidak semuanya bisa dikonsumsi maupun digunakan, dibedakan antara yang halal dengan yang haram. Oleh karena itu dalam Q.S Al-Maidah ayat 87 dan 88 menjelaskan hal-hal yang halal untuk dikonsumsi dan hal-hal yang haram untuk dikonsumsi. Dalam surat Al-Maidah ayat 87 dan 88 telah dijelaskan tentang larangan bagi siapa saja yang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, karena  Alloh telah mengaturnya dalam Al-Qur’an. Dalam islam juga dijelaskan tidak baik membelanjakan uang dengan sesuka hati kita tanpa memerhatikan tingkat kemanfaat karena batasan anggaran belum cukup untuk membatasi konsumsi.  Batasan lain yang perlu diperhatikan adalah seorang muslim tidak boleh berlebihan (ishrof), dan harus mengutamakan kebaikan (maslahah) islam tidak menganjurkan permintaan suatu barang dengan tujuan kemegahan, kemewahan, kemubadziran. Dalam  hal ini surat Al-Maidah ayat 87 dan 88 mengatur tentang etika konsumsi dalam islam. Bahkan Islam memerintahkan bagi yang sudah mencapai nishab, untuk menyisihkan dari anggarannya untuk membayar zakat, infaq, dan shodaqoh.


DAFTAR PUSTAKA

Al Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyiqi. Tt. Tafsir Ibnu Katsir Juz. Bandung:Sinar Baru AlGensindo
Mahali, Mutajab A. Tt. Asbabunuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an 2 Al-Maidad-Al Isra’. Jakarta: Rajawali Pers Citra Niaga Buku Perguruan Tinggi.
Mukhtar, Naqiyah. 2013. Ulumul Qur’an. Purwokerto:  STAIN Press
Mushaf Aisyah,2010,Bandung: Jabal Raudhoh Al Jannah


[1] Mushaf Aisyah (Bandung: Jabal Raudhoh Al Jannah, 2010),hlm. 122
[2] Naqiyah Mukhtar, Ulumul Qur’an (Purwokerto: STAIN Press,2013), hlm. 89
[3] A. Mutajab Mahali, Asbabunuzul Studi Pendalaman Al-Qur’an 2 Al-Maidad-Al Isra’ (Jakarta:Rajawali Pers Citra Niaga Buku Perguruan Tinggi,TT), hlm. 51.
[4] Ibid Hlm. 53
[5] Al Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyiqi, Tafsir Ibnu Katsir Juz 7 (Bandung:Sinar Baru AlGensindo, hlm. 7
[6] Ibid hlm.8
[7] Ibid hlm. 8
[8] Ibid hlm. 11
[9] Ibid hlm. 12
[10] Ibid hlm. 13
[11] Ibid hlm.14
[12] Ibid hlm. 15
[13] Ibid hlm.16

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS UNIVARIAT, BIVARIAT DAN MULTIVARIAT

Penerapan Statistika Dalam Kehidupan Sehari-hari (Fitri Hidayatuz Zahroh)

Distribusi Poisson dan Penerapannya Dalam Kehidupan Sehari-hari