Kesejahteraan Ekonomi- Tafsir Quran Surat Al-Baqarah: 215



NAMA              : Ihdina Khoironnida
NIM                   : 1617202101
Smt/Prodi/Fak   : 4 Perbankan Syariah C/ FEBI
Mata Kuliah       : TAFSIR HADITS IQTISAD 2
Kesejahteraan Ekonomi- Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan Sedekah.

BAB I
PENDAHULUAN

Islam telah mengatur apa saja yang dibutuhkan oleh manusia, termasuk permasalahan ekonomi. Dalam Islam, ekonomi dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan manusia yang bertujuan mencapai maslahah atau kesejahteraan ekonomi. Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi yang tidak merata Islam mengajarkan konsep untuk berbagi, membagi nikmat, membagi kebahagiaan dan ketenangan kepada saudara-sarudara kita yang membutuhkannya.
Masyarakat indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menyantuni sesama muslim dan bersedekah sudah seharusnya menjadi kewajiban yang ditunaikan oleh setiap individu yang muslim. Menyantuni sesama muslim dan bersedekah merupakan ibadah yang mempunyai dimensi ganda, yaitu horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkaitan dengan bentuk dan pola hubungan antar manusia, sedangkan dimensi vertikal berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan menyantuni sesama kita dan bersedekah maka akan membantu meratakan kesejahteraan ekonomi


BAB II
PEMBAHASAN

A.           Al-Quran Surat Al-Baqarah: 215
Di dalam masyarakat Islam terdapat suatu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak mudah memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan dana semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat Islam.[1]
Sedekah merupakan peran yang sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan bersedekah tanpa kita sadari kita telah memutar roda perekonomian dengan baik. Karena umat muslim memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung atau miskin. Sedekah juga termasuk investasi didalam Islam yaitu, investasi dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman
يَسْئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ، قُلْ مَا اَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍفَلِلْوَالِدَيْنِ وَلْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتَامَى وَالمَسَاكِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah: 215)

B.            Asbabun Nuzul Surat Al-Baqarah: 215
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Juraij berkata: orang-orang beriman bertanya kepada Rasulullah di manakah mereka harus menyimpan harta mereka? Maka turunlah ayat, “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya..”
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Abu Hayyan, bahwasanya Amru bin Al-Jamuh bertanya kepada Nabi SAW, “Apa yang kami nafkahkan dari harta-harta kami? Dimana kami menyimpannya? Maka turunlah ayat ini.”[2]

C.            Metode Tafsir Ijmali
Tafsir Ijmali adalah menjelaskan ayat-ayat al-Quran  secara global, dari ayat ke ayat mengikuti tertib mushaf. Pembahasannya secara populer tidak terlalu mendalam, yang dapat diserap oleh orang-orang yang hanya mempunyai bekal ilmu pengetahuan sedikit, sebagai konsumsi orang awam. Di antara contohnya adalah Tafsir Jalalayn dan al-Bayan: Tafsir ash Shiddieqy.[3]
Adapun karakteristik tafsir Ijmali adalah dibahas dengan mengikuti urutan mushaf, ditafsirkan secara global, dangkal, dan hanya meliputi yang ditunjuk oleh ayat sehingga dapat terdiri atas beberapa topik sesuai dengan ayat yang sedang dibahas dan dipaparkan secara deskriptif.[4]

D.           Tafsir Surat Al-Baqarah: 215

يَسْئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ، قُلْ مَا اَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍفَلِلْوَالِدَيْنِ وَلْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتَامَى وَالمَسَاكِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah: 215)
Mereka mempertanyakan apa yang boleh mereka nafkahkan, tetapi Allah tidak menegaskan apa yang boleh dinafkahkan itu, hanya menerangkan, ke mana sebaiknya nafkah itu dikeluarkan. Sebab itu nafkah yang sebaik-baiknya ialah bergantung ke tempat mana dia dikeluarkan dan kepada siapa sebaik-baiknya belanja itu diberikan. Allah menerangkan, yaitu kepada ibu-bapak, karib kerabat yang miskn, anak-anak yatim dan orang miskin serta orang yang terlantar atau terlunta-lunta di jalan. Anak-anak yatim yang miskin lebih utama dibantu dari pada orang miskin, karena orang miskin itu masih dapat berusaha.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Suddi, dia berkata, “Ayat in turun sebelum turunnya ayat zakat, kemudian ayat ni di-nasakh-kan oleh ayat zakat itu”. Menurut Hasan, ayat ini muhkamat, tidak di-nasakh-kan. Bagi Aziz, yang dimaksud dengan ayat ini hanyalah sedekah sunah. Maka seseorang yang bermaksud hendak bersedekah sunah, sebaiknyalah kalau dia mengeluarkan sedekahnya (nafkah) itu kepada mereka yang tersebut dalam ayat ini. Ibnu Munzir telah meriwayatkan, bahwa Amru bin jumuh telah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah yang akan kami nafkahkan dari harta kami? Dan kemana kami nafkahkan?” untuk menjawab pertanyaan itu, turunlah ayat ini.[5] Berikut adalah Tafsir Jalalayn Surat Al-Baqarah ayat 215:
(Mereka bertanya kepadamu) hai Muhammad (tentang apa yang mereka nafkahkan) Yang bertanya itu ialah Amar bin Jamuh, seorang tua yang hartawan. Ia menanyakan kepada Nabi saw. apa yang akan dinafkahkan dan kepada siapa dinafkahkannya? (Katakanlah) kepada mereka (Apa saja harta yang kamu nafkahkan) 'harta' merupakan penjelasan bagi 'apa saja' dan mencakup apa yang dinafkahkan yang merupakan salah satu dari dua sisi pertanyaan, tetapi juga jawaban terhadap siapa yang akan menerima nafkah itu, yang merupakan sisi lain dari pertanyaan dengan firman-Nya, (maka bagi ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan), artinya mereka lebih berhak untuk menerimanya. (Dan apa saja kebaikan yang kamu perbuat) baik mengeluarkan nafkah atau lainnya, (maka sesungguhnya Allah mengetahuinya) dan akan membalasnya.


E.            Refleksi Penafsiran Penulis Terhadap Surat Al-Baqarah: 215
Dalam Surat Al-Baqarah: 215 ini dijelaskan bahwa ketika nabi Muhammad SAW ditanyakan tentang apa yang akan dinafkahkan dan kepada siapa saja yang dinafkahkan, Nabi SAW diperintahkan untuk menjawab “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dalam pertanyaan tersebut ditanyakan kepada Nabi SAW “apa yang akan dinafkahkan” kemudian Nabi SAW diperintah untuk menjawab “apa saja harta yang kamu nafkahkan”, artinya dalam bentuk apapun harta yang dimiliki dapat diberikan dapat berupa uang, makanan maupun barang yang lain sebagainya yang merupakan harta.
Selanjutnya dalam pertanyaan tersebut ditanyakan kepada Nabi SAW “kepada siapa saja yang dinafkahkan” kemudian Nabi SAW diperintah untuk menjawab “hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”, artinya hendaknya kita memberikan harta kita kepada orang yang paling dekat dengan kita terlebih dahulu seperti ibu dan bapak kita. Setelah kedua orang tua, hendaknya harta yang dimiliki diberikan kepada kerabat dekat. Setelah kerabat dekat, hendaknya yang disedekahkan adalah anak yatim, barulah setelah itu kepada orang-orang miskin. Alasan mengapa lebih diutamakan anak yatim terlebih dahulu sebelum orang-orang yang miskin karena anak-anak yatim sudah tidak lagi memiliki seseorang yang dapat menafkahinya, sedangkan orang-orang miskin masih dapat berusaha untuk mendapatkan harta. Selanjutnya, hendaknya kita menyedekahkan harta kita kepada orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Disini, yang dimaksud orang-orang yang sedang dalam perjalanan adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanan dengan tujuan yang baik bukan untuk maksiat, seperti dengan maksud tujuan untuk menyambung tali silaturahmi. Orang-orang yang sedang dalam perjalanan dapat juga diartikan orang yang sedang berjuang di jalan Allah seperti orang yang sedang berpuasa, apabila seseorang sedang berpuasa, alangkah baiknya jika kita memberikan makanan untuk ia berbuka.
Pada akhir ayat disebutkan “Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”, artinya selain menyedekahkan harta kita, perbuatan baik kita kepada orang lain juga merupakan bentuk santunan, dan Allah dapat mengetahui apa yang kita perbuat.
PENUTUP

Untuk mencapai kesejahteraan ekonomi yang tidak merata Islam mengajarkan konsep untuk berbagi, membagi nikmat, membagi kebahagiaan dan ketenangan kepada saudara-sarudara kita yang membutuhkannya. Di dalam masyarakat Islam terdapat suatu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Sedekah merupakan peran yang sangat penting di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam bersedekah, Allah menerangkan siapa saja yang dinafkahkan, yaitu kepada ibu-bapak, karib kerabat yang miskn, anak-anak yatim dan orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.


DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Imam. (2014). Asbabun An-Nuzul. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Halim, Abdul Hasan. (2006). Tafsir Al-Ahkam. Jakarta: Prenadamedia Group.
Huda, Nurul,  Risza, H., dkk, (2008). Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Jakarta: Prenadamedia Group.
Mukhtar, Naqiyah. (2013). Ulumul Qur’an. Purwokerto: STAIN PRESS.



[1] Nurul Huda, Handi Risza, dkk, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2008), hlm 21.
[2] Imam As-Suyuthi, Asbabun An-Nuzul, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2014), Hlm. 65
[3] Naqiyah Mukhtar, Ulumul Qur’an,. (Purwokerto: STAIN PRESS, 2013), Hlm. 173
[4] Naqiyah Mukhtar, Ulumul Qur’an,. (Purwokerto: STAIN PRESS, 2013), Hlm. 174
[5] Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm.76-77.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS UNIVARIAT, BIVARIAT DAN MULTIVARIAT

Penerapan Statistika Dalam Kehidupan Sehari-hari (Fitri Hidayatuz Zahroh)

Distribusi Poisson dan Penerapannya Dalam Kehidupan Sehari-hari