METODE PENAFSIRAN TAHLILI AYAT AL-QURAN TENTANG ZAKAT (ihsan kurniawan) (1617202102)


METODE PENAFSIRAN TAHLILI AYAT AL-QURAN TENTANG ZAKAT



Diajukan Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester 4 :
                   Mata Kuliah              : Tafsir dan Hadits Ekonomi Makro
                   Dosen Pengampu      : Dr. Hj. Naqiyah, M.Ag.

                 Oleh :

                Ihsan Kurniawan (1617202102)



                    PROGAM STUDI PERBANKAN SYARIAH 
                   FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
                                        IAIN PURWOKERTO 
                                                         2018

A.    PENDAHULUAN
Berhubungan dengan zakat, di dalam Al-Qur’an disebutkan banyak ayat yang menunjukkan perintah wajibnya, Baik yang diungkapkan secara tegas dan langsung dengan shighat amar, atau dengan ungkapan berbentuk ancaman bagi yang tidak menunaikannya, maupun dalam bentuk ungkapan lain yang mengarah pada perintah. Dan zakat sendiri dalam Al-Qur’an maupun hadits sering juga diistilahkan dengan lafadz, صدقة  , حقّ  atau  نفقة  yang disertai qarinah, dan  yang dimaksud adalah shadaqah wajibah, haqq wajib dan nafaqah wajibah yang khusus diberikan kepada ashnaf delapan.
Akan tetapi pada umumnya ayat-ayat tersebut masih bersifat mujmal. Dengan demikian, perlu adanya penjelasan dari sumber-sumber lain yang menjelaskannya. Dalam hal ini peran Nabi sebagai Mubayyin Al-Qur’an dan para Ulama Tafsir sangatlah dibutuhkan. Ini penting untuk menjelaskan , ketentuan apa saja yang harus dizakati , waktu dan bagaimana tata cara pembayarannya, seberapa banyak kadarnya yang harus dikeluarkan, dan lain sebagainya.
Pembahasan  beberapa ayat penting yang biasa dijadikan dasar atas wajibnya zakat dalam Islam, dengan tafsir dan asbab an-nuzul yang dijadikan dasar pertimbangan dalam mengambil istimbath hukum dalam nash, serta penjelasannya berdasarkan argumentasi dan perbedaan pendapat para ulama dari beberapa literature tafsir dan kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer.

B.     PEMBAHASAN
KEWAJIBAN MEMBAYAR ZAKAT
Surat At-Taubah Ayat : 103 ;


Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah : 103)


1.      Azbab Al Nuzul Ayat
             Diantara penduduk Madinah, terdapat segolongan orang-orang munafik (seperti halnya Abdullah bin Ubay dan kawan-kawan), kemunafikan mereka sudah keterlaluan sehingga Nabi SAW tidak mengetahuinya, karena kepandaian mereka menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keihlasan. Tetapi Allah Maha mengetahui segala yang mereka tampakkan maupun yang mereka rahasiakan dalam hati, Allah membongkar rahasia itu. Mereka diancam dengan siksaan dua kali lipat oleh Allah SWT. Ketika tiba perintah saatnya perang mereka-mereka selalu beralasan dan bahkan mliper tidak ikut dalam satuan perang.
Setelah peristiwa perang tabuk ada segolongan diantara mereka (penduduk Madinah) – seperti Abu Lubab Marwan bin Abi Mundzir Aus Bin Tsa’labah, dan Wadi’ah bin Hazam – sadar dan mengakui segala dosa-dosanya, mereka menyatakan penyesalan sebab kesalahan yang telah mereka perbuat, mencampur baurkan yang  baik dan buruk dalam tiap-tiap perang bersama Rasulullah SAW, dan terakhir karena penyelewengan mereka tidak ikut perang Tabuk.
Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa ketika orang-orang yang mengakui dosa-dosanya itu diterima taubatnya oleh Allah mereka mendatangi Nabi dengan membawa harta-harta yang mereka miliki dan berkata ; “Wahai Rasul Allah, harta-harta kami ini yang menjadikan kami berpaling, maka sedekahkanlah harta ini dan mohonkanlah kami ampunan”. Rasulullah SAW menjawab : “Aku sama sekali tidak diperintah untuk mengambil harta-harta kalian itu”. Maka turunlah Ayat diatas. Kemudian Rasulullah SAW mengambil 1/3 dari harta mereka.

2.      Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang penulis ambil berdasarkan QS. At-Taubah ayat 103 tersebut adalah Metode Tafsir Tahlili.Tafsir tahlili adalah penafsirann ayat al-Quran dari segala segi dengan mengikuti urutan mushaf dengan meneliti arti mufrodat-nya, kandungan makna, dan tujuan pembicaraannya di dalam tiap-tiap susunan katanya, munasabat antar ayar-ayatnya, menggunakan bantuan asbab al-nuzul, sunah rosul, aqwal sahabah dan tabi’in. kemudian diolah sesuai dengan kepandaian dan keahlian para mufasir dalam bidangnya masing-masing. Tafsir yang ditulis pada masa klasik pada umumnya menggunakan metode tahlili[1]
Metode Tahlili adalah penafsiran al-Qur'an secara ayat per ayat, surat per surat, sejalan dengan urutannya dalam mushaf. Untuk itu mufasir menguraikan kosa kata dan lapal, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran dituju dan kandungannya, yaitu unsur ’ijaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistimbathkan dari dari ayat dengan merujuk kepada asbabun nuzul, hadits Nabi, riwayat para sahabat, tabi'in dan tabiit tabiin.
          Metode tahlili adalah metode yang dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Meskipun mereka menempuh pendekatan yang sama, namun ternyata corak masing-masing penafsiran berbeda. Sebagai contoh, ada diantara mereka yang mengemukakan penafsiran dengan metode ini melalui ithnab atau panjang lebar, seperti al-Alussy, al Fakhr al-Raazy, al-Qurthuby, dan Ibn Jarir at-Thabary. Di lain pihak ada diantara mereka yang mengemukakannya dengan yaz atau singkatan, seperti Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din at-Sayuthy, kitab tafsir mereka berdua lebih dikenal dengan tafsir Jalalain: Selain itu ada pula yang mengambil jalan pertengahan (musawah) seperti Imam al-Baidlawy, alNaisabury, dan lain-lain.

3. Tafsir & Analisis Bahasa
a)      خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً   ambillah (wahai Muhammad) sebagian dari harta mereka (orang-orang yang mengakui dosa-doasanya dan bertaubat dari padanya) sebagai shadaqah. Khitab dari amar di sini Rasulullah SAW.

Huruf(مِنْ)  berfungsi littab’idl, karena shadaqah yang difardlukan tidaklah semua harta. Kat(أَمْوَالِهِمْ)  disebutkan dalam bentuk jama’, mencakup semua jenis harta, dan dlamir (هُم) bersifat umum, kembali kepada seluruh kaum muslimin. Sedangkan (صَدَقَةً) yang diperintahkan itu ialah shadaqah fardlu ; yakni zakat. Jadi, ayat ini menunjukkan wajibnya diambil zakat sebagian dari harta-harta kaum muslimin secara keseluruhan karena kesamaan mereka dalam hukum agama.
Bagi Mufassir yang berkelit dengan asbab al-nuzul, maka dlamir  (هُمْ)  diberlakukan khusus untuk orang-orang yang bertaubat dan tidak ikut serta dalam perang Tabuk seperti dalam peristiwa di atas, dan yang dimaksud dari (صَدَقَةً)  dalam ayat tersebut adalah hak sebagai kaffarah (tebusan) setelah mereka bertaubat, bukan sebagai zakat  fardlu.
b)        تُطَهِّرُهُمْ  dibaca rafa’, menerangkan sifat dari lafadz (صَدَقَةً) . huruf  (ت)  tata’nist ghaibah dan dlamir mustatir-nya lafadz (صَدَقَةً), jadi artinya; “yang membersihkan mereka”. Atau jika ta’ tersebut untuk khitab dan ‘aid yang terbuang menunjuk pada lafadz sebelumnya, kalau di nampakkan berbunyi ; (  تُزَكِّيْهِمْ بِهَا), artinya; “yang dengan shadaqah itu engkau membersihkan mereka”. Atau bisa pula kalimat tersebut sebagai hal dari dlamir mukhatab.

c)       وَ تُزَكِّيْهِمْ بِهَا ; mensucikan diri atau harta mereka. dalam artian bertambah
keberkahnya. Dengan kata lain, adanya shadaqah itu harta mereka menjadi bersih, dan merupakan hak Allah terhadap orang-orang fakir yakni berupa zakat. Jika jumlah ini ath
af  pada lafadz sebelumnya maka huruf (ت)  adalah ta’ ta’nist ghaibah atau bisa mukhâtab. Jika berdasarkan bacaan jazm pada lafadz (تطهّرهم)  maka  huruf (و)  di sini sebagai permulaan kalimat (isti’nafiyah), maksudnya : و أنت تزكّيهم .
d)     وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ ; berdo’alah dan mohonlah ampunan untuk mereka (dari segala dosa-dosa). Secara bahasa (صلاة) berarti do’a, Orang yang menerima zakat dalam hal ini Rasulullah diperintah untuk mendo’akan mereka yang memberikannya.
e)      إِنَّ صَلوتَكَ ; sesungguhnya doamu (Muhammad). Dibaca dalam bentuk mufrad , ada sebagian yang membaca (إنّ صلواتك), dalam shighat jama’.
f)       سَكَنٌ لَهُمْ ; ketenangan, kasih sayang dan kemulyaan bagi mereka. (سكن)  bisa berarti apa saja yang dapat membuat perasaan menjadi tenang dan    jiwa menjadi tentram. Ayat ini menunjukkan anjuran mendoakan mereka.
g)      وَ اللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ; Allah Maha mendengar atas do’a-do’a mu, Maha mengetahui  
     
siapa yang berhak dan pantas menerima shadaqah (zakat) dari mu.[2]

3.        Munasabah Ayat
Ayat 103 dari surat At-Taubah di atas merupakan rentetan peristiwa yang dijelaskan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dari ayat sebelumnya yaitu :
وَمِمَّنْ حَوْلَكُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ ۖوَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ۖمَرَدُوا عَلَى النِّفَاقِ لَا تَعْلَمُهُمْ ۖنَحْنُ نَعْلَمُهُمْ ۚسَنُعَذِّبُهُمْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ يُرَدُّونَ إِلَىٰ عَذَابٍ عَظِيمٍ
وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ۚإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(QS. At-Taubah : 101-102)

Artinya : “Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) kamilah yang mengetahui mereka. nanti mereka akan kami siksa dua kali Kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar. Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima Taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. At-Taubah : 101-102)
Ayat ini mengungkap tentang keadaan orang-orang munafik Madinah, dimana diantara mereka ada segolongan yang kemunafikannya telah mencapai tingkat kakap sehingga Rasulullah SAW tidak mengetahuinya. Sementara, yang lain ada kemunafikannya setengah-setengah mereka mencampur adukkan kebenaran dan kesalahan, berbuat taat ketika dipandang menguntungkan, dan berbuat maksiat ketika dipandang merugikan. Setiap kali diseru untuk perang mereka selalu enggan dan menghindar dengan alasan yang bermacam-macam. Pada akhirnya ketika rahasia mereka terbongkar, mereka menyatakan bersalah dan taubat. Ketika taubatnya diterima mereka hendak menebus diri, dan menyerahkan harta-hartanya yang membuat mereka menyeleweng itu kepada Rasulullah, namun Rasulullah SAW enggan menerimanya. Maka turunlah ayat 103.
Oleh karena ayat di atas bersifat umum (mujmal), maka mengundang beberapa penafsiran yang berbeda di kalangan ulama. Seperti dalam memaknai lafadz  (صدقة) atau kembalinya dhamîr هُمْ misalnya. Bagi ulama yang menggunakan prinsip; (العبرة بخصوص السّبب لا بعموم اللّفظ) , maka ayat tersebut kontek shadaqah tersebut khusus dalam peristiwa yang melatarbelakanginya, bukan dimaksudkan sebagai zakat yang difardlukan untuk kaum muslimin secara umum. Bagi golongan ini sabâb an-nuzul menjadi pengikat untuk memahami hukum yang dikandungnya.
Sedangkan yang memegangi prinsip; (العبرة بعموم اللّفظ لا  بخصوص السّبب)   bagi sejumlah Ulama ushul, menyatakan bahwa kewajiban itu tidaklah khusus pada mereka yang telah bertaubat dari dosa sebagaimana dalam dalam sabab an-nuzul, karena zakat merupakan kewajiban dalam Islam. Pendapat ini didukung oleh Imam Ath-Thabari, dan beliau menuqilnya dari sejumlah ahli Takwil. Hal ini juga diperkuat oleh banyak Mufassir yang memegangi pendapat pertama, bahwa yang dimaksudkan shadaqah dalam ayat itu adalah zakat. Demikian pula Jumhûr Salaf maupun Khalaf, dengan ayat tersebut mereka gunakan sebagai dasar atas sejumlah permasalahan hukum dalam bab-bab zakat.
Hubungan ayat sesudah dan sebelumnya tidaklah tetap kecuali berdasarkan dalil. Meski demikian, menurut para ulama ushul khususnya; dengan adanya sebab bukan berarti harus menafikan umumnya lafadz.
Secara zahir ayat di atas memang menghendaki diambilnya bagian dari tiap-tiap harta. Untuk memahaminya perlu ada korelasi dengan ayat-ayat lain yang sepadan, juga perlu adanya penjelasan hadits-hadits maupun sunnah Rasulullah SAW. Ini penting  untuk megetahui secara pasti mengenai rincian; berapa kadarnya yang ditentukan, batasan nishab, waktu pelaksanaan dan jenis harta apa saja yang wajib dikeluarkan sebagai shadaqah wajib (zakat) atasnya.

4.   Penjelasan
    Refleksi dari penafsiran Q.S. At-Taubah ayat 103
Surat At-Taubah ayat : 103 dengan munasabah sekian banyak ayat di atas menunjukkan  bahwa setiap kaum Muslimin wajib menunaikan zakat. Dikhususkannya khitab kepada Rasul dalam hal ini bukanlah berarti menunjukkan kekhususan hukum bahwa zakat hanya terhadap Rasul (yang menariknya), karena banyak hukum-hukum syara’ berlaku yang mana khithâb-nya kepada Rasul.
Hal ini karena Rasul adalah orang yang menyerukan risalah Allah dan sebagai penjelas apa yang dimaksudkannya, maka didahulukan penyebutannya supaya jalan bagi umat dalam syari’at agama sesuai dengan jalan yang ditempuhnya.
Kepastian wajibnya zakat ini juga didasarikan pada ayat-ayat lain dalam AlQur’an yang menyebutkannya dengan shigat yang beragam. Diantaranya, zakat sering diistilahkan juga dengan kata صدقة  , حقّ atau نفقة . tetapi yang dimaksud adalah shadaqah wajibah, haqq wajib dan nafaqah wajibah yang khusus diberikan kepada ashnaf delapan.
Seperti ayat mengenai wajibnya zakat emas dan perak menggunakan shigât ”infaq”[3]  
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS. At-Taubah : 34)
Dan shigat “haqq”, pada ayat mengenai wajibnya zakat tanaman atau buah-buahan ;
كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya : “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (Al-An’am : 141)

C.      PENUTUP
  KESIMPULAN
Membayar zakat merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang harus ditunaikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, kewajiban ini bersifat pasti didasarkan pada nash Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’ ulama, yang harus ditunaikan sebagai rukun Islam yang ketiga.
Hikmah yang bisa diambil adalah :
1. Membantu orang-orang lemah yang tertimpa kesusahan dan memerlukam bantuan
2. Membersihkan diri daripada sifat kikir dan ahlak yang tercela, serta mendidik diri berjiwa sosial, memiliki sifat mulia dan pemurah,
3.  Sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas segala nikmat kekayaan yang  
    diberikan oleh Allah SWT kepadanya.
4. Mengantisipasi kemungkinan terjadinya kejahatan-kejahatan yang timbul antar sesama manusia.
5. Mendekatkan hubungan kasih sayang dan saling mencintai antara yang miskin dan kaya, eratnya hubungan akan membuahkan beberapa kebaikan dan kemajuan serta  ketentraman hidup dalam masyarakat.
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”. (QS. Al-Baqarah : 43)
بُنيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ  لاَ إلٰهَ إلَّا اللهُ وَ أَنَّ محُمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ ، وَ إقَامِ الصَّلاَةِ ، وَ إِيْتاَءِ الزَّكَاةِ ، وَ صَوْمِ رَمَضَانَ ، وَ حِجِّ الْبَيْتِ لمِنْ اسْتَطَاعَ إلَيْهِ سَبِيْلاً . (متّفق عليه)
“Islam dibangun atas lima perkara : Persaksian bahwa sesungguhnya tiada Tuhan Selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadlan dan hajji ke Baitullah bagi yang mampu jalannya”. (HR. Bukhari Muslim)
Dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud ;
أُمِرْتُمْ بِإِقَامَةِ الصّلَاةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ مَنْ لَمَ يُزَكِّ فَلَا صَلَاةَ لَهُ .
“Kalian diperintah untuk mengerjakan shalat dan membayar zakat, oleh karenanya siapa yang tidak berzakat maka tiada artinya baginya shalat”










DAFTAR PUSTAKA

Mukhtar Naqiyah, M.Ag. 2013. Ulumul Qur’an. Purwokerto: Penerbit  STAIN Press.     
Multahim, dkk.  2007. Agama Islam: Penuntun Akhlak. Jakarta : Penerbit Yudhistira.
http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-at-taubah-ayat-103.html




[1] Naqiyah Mukhtar, 2013, Ulumul Qur’an, Purwokerto : Penerbit STAIN Press. Hlm. 174.
[2] http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-at-taubah-ayat-103.html. diakses pada tanggal 25 Mei 2018 , pukul 14.32.
[3] Multahim, dkk, Agama Islam: Penuntun Akhlak, (Jakarta : Penerbit Yudhistira, 2007), hlm.93-98

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS UNIVARIAT, BIVARIAT DAN MULTIVARIAT

Penerapan Statistika Dalam Kehidupan Sehari-hari (Fitri Hidayatuz Zahroh)

Distribusi Poisson dan Penerapannya Dalam Kehidupan Sehari-hari