tafsir dan hadits ekonomi makro 2
NAMA : FIRMAN MAULANA
NIM : 1617202095
Mata Kuliah : Tafsir dan Hadits Ekonomi Makro
II
Dosen
Pengampu : Dr. Hj. Naqiyah, M.Ag.
Hari & Tanggal : Senin, 28 Mei 2018
METODE PENAFSIRAN AYAT AL-QUR’AN
TENTANG PERMINTAAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai sumber ajaran Islam, Al-Qur’an perlu ditafsirkan
untuk menghasilkan pemahaman yang tepat mengenai perilaku kehidupan manusia,
termasuk dalam bidang ekonomi. Pengembangan ilmu ekonomi Islam yang bersumber
dari Al-Qur’an mempunyai peluang yang sama dengan pengembangan keilmuan lainnya.
Sebagai sebuah metodologi, tafsir ekonomi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an memberi
peluang bagi pengembangan ilmu ekonomi Islam. Pilihan atas masalah ini
didasarkan pada analisis permintaan yang paling penting dalam mikroekonomi. Model
tahapan kerja yang akan digunakan yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang
terkait dengan permintaan.
Dalam makalah ini akan dijelaskan ayat Al-Qur’an dan
metode penafsiran yang mengharuskan seorang muslim untuk membeli dan
menggunakan komoditas yang halal dan thayyib, dan meninggalkan komoditas haram.
Dalam Islam sudah cukup jelas diklasifikasikan yang mana komoditas halal dan
haram, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Surah Al-Baqarah (2):168 telah
memberikan batasan dalam membeli dan menggunakan suatu komoditas.
- Rumusan Masalah
1. Apa
saja ayat yang menjelaskan tentang permintaan dalam teori hukum islam Islam?
2. Metode
apa yang digunakan dalam menafsirkan ayat yang terkait?
- Tujuan
1. Mahasiswa
dapat mengetahui ayat yang menjelaskan tentang permintaan dalam teori hukum
islam Islam.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui metode yang digunakan dalam menafsirkan ayat terkait.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat
tentang Teori Permintaan Konsumsi Dalam Perspektif Ekonomi Islam
QS Al-Baqarah [2]:168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا
فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ, إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Sebelum melangkah lebih
lanjut, selayaknya terlebih dahulu kita mengkaji metodologi Ibnu Katsir dalam
menafsirkan alquran. Sebab metodologinya merupakan sekian metodologi ideal yang
banyak digunakan dalam bidang tafsir.
Menurutnya,
metodologi yang paling tepat dalam menafsirkan Alqur’an adalah,
a. Tafsir
Alqur’an terhadap Alqur’an sendiri. Sebab banyak didapati kondisi umum dalam
ayat tertentu kemudian dijelaskan detail untuk ayat lain.
b. Alternatif
kedua ketika tidak dijumpai ayat lain yang menjelaskan, mufassir harus
menilisik Sunnah yang merupakan penjelasan Alqur’an. Bahkan Imam Syafi’i,
seperti ditulis Ibnu Katsir mengungkapkan, “Setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah
merupakan hasil pemahamannya terhadap Alqur’an. Firman Allah, Sesungguhnya kami
telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah
kamu menjadi penantang karena (membela) orang-orang yang khianat (QS An-Nisa
[4]:105).
Firman
Allah, Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-kitab (Alquran) ini, melainkan
agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (QS An-Nahl [16]:64).
Firman
Allah, Dan Kami turunkan Alqur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka agar supaya mereka memikirkan (QS An-Nahl
[16]:44).
Karenannya
Rasulullah. ”ketahuilah Alqur’an diturunkan kepadaku dan yang semisal
dengannya. “Yakni Sunnah yang diturunkan yang tidak beda dengan Alqur’an.
Perbedaanya terletak pada kenyataan bahwa Sunnah tidak dibaca sebagaimana
Alquran.
c. Selanjutnya
ketika tidak didapati tafsir baik dalam alquran dan hadits, kondisi ini
menunjuk kita untuk mnuntut kepada referensi sahabat. Sebab mereka lebih
mengetahui karena menyaksikan langsung kondisi dan latarbelakang penurunan
ayat. Disamping pemahaman, keilmuan an amal shaleh mereka. Lebih khusus,
kalangan ulama dan tokoh besar sahabat.
d. Referensi
thabi’in kemudiaan menjadi alternative selanjutnya jika tidak ditemukan tafsir
dalam alquran, hadits dan referensi sahabat. Sahabat-sahabat yang terkenal
adalah Mujahid bin Jabr. Kemudian Sa’id bin Jabir, Ikrimah, sahaya Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi
Rabbah, Hasan al-Bashri dll.
Dalam menafsirkan ayat QS
Al-Baqarah [2]:168 Ibnu Katsir menggunakan metode tahlili. Metode tahlili
adalah penafsiran ayat Al Qur’an dari segala segi-seginya dengan mengikuti
urutan mushaf dengan meniliti arti mufrodat-nya, kandungan makna, dan tujuan
pembicaranya didalam susunan tiap-tiap katanya, munasabat antar ayat-ayatnya,
menggunakan bantuan asbab al-nuzul, sunnah rasul, aqwal sahabat dan tabi’in.
kemudian diolah sesuai dengan kepandaian dan keahlian para mufassir dalam
bidangnya masig-masing. Tafsir yang ditulis pada masa klasik pada umumnya
menggunakan metode tahili.[2]
1. Asbab Al-Nuzul
Setelah Allah
SWT menjelaskan bahwasanya tiada sembahan yang hak kecuali dia dan bahwasanya
dia sendiri yang menciptakannya, diapun menjelaskan bahwa dia memberi rizki
bagi seluruh makhluk-Nya. Dalam hal pemberian nikmat, dia menyebutkan bahwa dia
telah membolehkan manusia untuk makan segala yang ada dimuka bumi, yaitu
manfaat manfaat yang baik, halal, dan bermanfaat bagi dirinya serta tidak
membahayakan bagi tubuh dan akal pikiranya. Dan dia juga melarang mereka untuk
mengikuti langkah dan jalan syaitan, dalam tindakan-tindakannya yang
menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan bahirah, saibah, washilah,
dan lain-lainya, yang ditanamkan syaitan kepada mereka pada masa jahiliyah.
Dalam menafsirkan ayat diatas Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
makna ayat Al Baqarah ayat 168 maksudnya adalah Allah swt telah
membolehkan (menghalalkan) seluruh manusia agar memakan apa saja yang ada
dimuka bumi, yaitu makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi dirinya
sendiri yang tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikiranya.
Segala apa saja yang akan dikonsumsi sudahlah mendapatkan
standar kelayakan dari Allah swt. Standar itu adalah Halal dan Baik, apa saja
yang hendak orang beriman konsumsi entah itu makanan, minuman, pakaian,
kendaraan haruslah berstatus halal dan baik.
2. Arti Mufrodat dan Kandungan Makna
Sebagaimana firman Allah SWT,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا
فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ, إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Tafsir
dan arti perkata:
a) يَا
أَيُّهَا النَّاسُ
Artinya, Hai sekalian manusia. Dalam kaidah ulumul Qur’an jika ada ayat nida’
(orang yang dipanggil) menunjukan keumuman sepertiالنَّاسُ manusia, maka ayat ini ditunjukan oleh Allah
kepada seluruh manusia tidak hanya orang islam saja. Meski sedemikian setiap nida’
yang berlafaz umum lebih berlaku khusus untuk orang beriman (orang islam), jadi
ayat ini secara lafaz menunjukan keumuman dan secara makna lebih ditekankan
kepada kaum muslimin.
b) كُلُواْ
فِي الأَرْضِ
Disini secara bahasa artinya
memakan, atau lebih spesifiknya segala sesuatu yang dimasukan keperut
melalui mulut dinamakan makan. Jika ada seorang yang ludahnya tertelan
berarti orang itu telah memakan air ludah meski ia tidak sengaja memakanya. Dan
juga jika ada seseorang memasukan roti kemulutnya dan kemudian ditelan dan
masuk keperut maka ia telah makan,namun jika ia hanya mengunyah dan tidak
memasukanya kedalam perut maka orang itu tidak makan. Inilah makna dari كُلُواْ dalam arti sempit . Namun كُلُواْ disini tidak
hanya berarti makan atu memakan semata melainkan كُلُواْ disini bisa ditafsirkan dengan makna
lebih luas yaitu كُلُواْ disini artinya adalah mengkonsumsi,
oleh sebab jika dimaknai hanya cukup memakan saja maka akan menyempitkan makna.
Selain itu setelah lafaz كُلُواْ diiringi lafaz makna yang memiliki
sifat makna luas فِي الأَرْضِ yaitu “Di muka
Bumi”. Jadi كُلُواْ maknanya tidak
hanya makan atau memakan saja namun bisa dimaknai mengkonsumsi sebab semua
barang yang ada dimuka bumi sifatnya tidak hanya barang yang hanya bisa dimakan
semata namun banyak barang yang bisa dinikmati, dan kesemuanya bersifat kearah
makna konsumsi. Seperti menaiki kendaraan, memakai pakaian dan perhiasan maka
juga harus bersifat halal dan baik oleh sebab semua itu adalah barang yang
sifatnya barang konsumsi manusia. Maka yang disifatkan Allah atas manusia yang
halal dan baik tidak hanya makanan semata melainkan semua barang yang
dikonsusmi haruslah halal dan baik sifatnya, entah itu kendaraan, makanan,
pakaian, perhiasan dan sawah ladang semuanya harus berstatus halal dan baik.
kemudian كُلُوا ini
dari segi bahasa juga termasuk fiil Amr atau kalimat perintah, maka ini
artinya Allah memerintahkan atas suatu hal, yaitu perintah untuk mengkonsumsi apa-apa
yang halal dan baik.
c) حَلاَلا
Kemudian maknaحَلاَلاً yaitu segala sesuatu yang cara memperolehnya
dibenarkan oleh syariat dan juga wujud barangnya juga yang dibenarkan oleh
syariat. Gula, dari segi barang adalah barang yang dihalalkan syariat namun
bisa jadi haram jika cara memperolehnya dengan cara mencuri. Dan khamer
(miras) adalah barang yang sifatnya haram meski khamer itu dibeli dengan
uang yang halal maka khamer itu akan tetap haram. Inilah makna dari حَلاَلاً.
d) طَيِّباً
Dan kemudian maknaطَيِّباً (tayyiban) adalah lawan dari khabitsan atau
jelek/menjijikan, perkara yang baik adalah perkara yang secara akal dan fitrah
dianggap baik. secara akal (ilmu/pengetahuan) tembakau itu jelek oleh sebab
membahayakan kesehatan, maka ini bukanlah perkara yang bukan tayyib
namun jelek dan juga kecoa secara fitrah adalah hewan menjijikan meski ada
sebagian orang yang tidak jijik, maka kecoa ini adalah hewan yang jelek/khabits
dan bukan perkara tayyib. Maka dari itu mengkonsumsi kecoa dn tembakau
berarti mengkonsumsi barang yang jelek/Khabits atau bukan yang tayyib
sebagaimana Allah perintahkan.[3]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا
فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ, إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya:
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat
di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Setelah Allah SWT menjelaskan bahwasanya tiada sembahan yang
hak kecuali dia dan bahwasanya dia sendiri yang menciptakannya, diapun
menjelaskan bahwa dia memberi rizki bagi seluruh makhluk-Nya. Dalam hal
pemberian nikmat, dia menyebutkan bahwa dia telah membolehkan manusia untuk
makan segala yang ada dimuka bumi, yaitu manfaat manfaat yang baik, halal, dan
bermanfaat bagi dirinya serta tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikiranya.
Dan dia juga melarang mereka untuk mengikuti langkah dan jalan syaitan, dalam
tindakan-tindakannya yang menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan
bahirah, saibah, washilah, dan lain-lainya, yang ditanamkan syaitan kepada mereka
pada masa jahiliyah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang
terdapat dalam kitab shahih muslim, yang diriwayatkan dari “Iyadh bin Hamad,
dari Rasulullah SAW, beliau bersabda “Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
setia harta yang aku anugerahkan kepada hamba-hambaku adalah halal bagi
mereka.’–selanjutnya disebutkan-‘Dan Akupun menciptakan hamba-hamba-Ku
berada dijalan yang lurus, lalu datang Syaitan kepada mereka dan menyesatkan
mereka dari agama mereka serta mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku
halalkan bagi mereka.”
Dan firman Allah SWT :
(إِنَّهُ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ ) ”Sesungguhnya
sayitan adalah musuh yang nyata bagi kamu.” Hal itu agar manusia menjauhi dan
waspada terhadapnya.
Sebagaimana Dia juga berfirman dalam
ayat lain:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ
عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ
أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan
itu hanya mengajak golongannya supaya
mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (QS, Faathir:6).
Mengenai
firman-Nya: ( وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ )
“Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan,”. Qotadah dan as-Sudi
mengatakan:“Setiap perbuatan maksiat kepada Allah termasuk langkah syaitan.”
Sedangkan
ikrimah mengemukakan: “Yaitu bisikan-bisikan syaitan.” Dan Abu Majlaz
mengatakan: “Yaitu nadzar dalam kemaksiatan”.
Asy-Syabi’ menuturkan: ”Ada
seseorang bernadzar akan berkorban dengan menyembelih anaknya, lalu Masruq
memberinya fatwa agar menyembelih kambing, dan ia berpendapat bahwa yang
demikian itu termasuk langkah syaitan.”[5]
Dan selanjutnya dimana tadi Allah
memanggil manusia secara umum untuk mengkonsumsi apa-apa yang ada dimuka bumi
ini atas perkara yang halal dan baik, kemudian Allah tegaskan dalam ayat lain
atas orang-orang beriman akan perkara ini. yaitu dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ
مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu”.(QS.Al
Baqarah.172)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah memerintahkan
hamba-Nya yang beriman untuk memakan makanan yang baik atas rizki yang Allah
berikan agar mereka senantiasa-dianggap-bersyukur atas rizqi Allah yang
diberikan tersebut, jika benar mereka itu hamba-hamba Allah yang beriman.
Mengkonsumsi perkara halal adalah sarana terkabulnya doa dan diterimanya ibadah
sebagaimana mengkonsumsi perkara haram menghalangi doa dan tertolaknya amal
ibadah.
PENUTUP
- KESIMPULAN
Allah SWT mengharuskan seorang muslim untuk membeli
dan menggunakan komoditas yang halal dan thayyib, dan meninggalkan komoditas
haram. Dalam Islam sudah cukup jelas diklasifikasikan yang mana komoditas halal
dan haram, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam QS. Surah
Al-Baqarah (2):168 yang telah memberikan batasan dalam membeli dan menggunakan
suatu komoditas.
Setelah Allah SWT menjelaskan bahwasanya tiada
sembahan yang hak kecuali dia dan bahwasanya dia sendiri yang menciptakannya,
diapun menjelaskan bahwa dia memberi rizki bagi seluruh makhluk-Nya. Dalam hal pemberian
nikmat, dia menyebutkan bahwa dia telah membolehkan manusia untuk makan segala
yang ada dimuka bumi, yaitu manfaat manfaat yang baik, halal, dan bermanfaat
bagi dirinya serta tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikiranya. Dan dia
juga melarang mereka untuk mengikuti langkah dan jalan syaitan, dalam
tindakan-tindakannya yang menyesatkan para pengikutnya, seperti mengharamkan
bahirah, saibah, washilah, dan lain-lainya, yang ditanamkan syaitan kepada
mereka pada masa jahiliyah.
DAFTAR PUSTAKA
Alu
Syaikh, Abdullah bin Muhammad. 1994. Lababut Tafsir Min Ibni Katsir. Kairo:
Muassasah Dar al- Hilal Kairo.
Mahmud,
Mani’ Abd Halim. 2006. METODOLOGI
TAFSIR Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT
RAJAGRAFINDO PERSADA.
Mukhtar, Naqiyah. 2013. ULUMUL QUR’AN.
Purwokwerto: STAIN Press.
[1] Mani’ Abd Halim Mahmud, METODOLOGI
TAFSIR Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: PT
RAJAGRAFINDO PERSADA, 2006, Hlm:60-61
[2]Naqiyah Mukhtar, ULUMUL
QUR’AN, Purwokwerto: STAIN Press, 2013, Hlm: 174
[3] Http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-168.html.
diakses pada tanggal 25 mei 2018 pukul 21.00 WIB.
[4]Abdullah bin Muhammad Alu
Syaikh, Lababut Tafsir Min Ibni Katsir, Kairo: Muassasah Dar al- Hilal
Kairo, 1994, Hlm: 404-405
[5] Ibid, Hlm: 404-405
Komentar
Posting Komentar