KONSEP UANG DALAM ISLAM

KONSEP UANG DALAM ISLAM


Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester 4
Mata Kuliah Tafsir dan Hadis Iqtishad II
Dosen Pembimbing : Dr. Naqiyah Mukhtar, M.Ag.

Penyusun:
Cindi Yayang Savitri              16172022092




PRODI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO
2018





  1. Pendahuluan
            uang adalah alat tukar atau instrument yang cukup penting dalam proses transaksi ekonomi. Dengan hanya logam atau selembar saja, masalah ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Masalah kestabilan politik, kestabilan ekonomi, keluarga, sosial dan lain sebagainya. Bukan hanya penting tentunya, uang memang dibutuhkan manusia untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Islam sebagai agama yang mengatur keseluruhan hidup manusia memberikan informasi, landasan atau dasar-dasra mengenai konsep yang ada dalam islam, termasuk salah satunya adalah konsep uang dalam islam. Pada pembahasan kali ini penulis akan membahas salah dua dari konsep uang dalam islam. Yakni uang adalah public goods dan modal adalah private goods.

  1. B. Konsep Uang (Uang adalah Public Goods dan Modal adalah Private Goods)
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).
Rasulullah SAW mengatakan Manusia mempunyai hak bersama dalam tiga hal; air, rumput, dan api (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah)[1]
Dalam Islam, uang adalah public good, public good, berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang dinar dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan berarti menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu berakibat buruk bagi perekonomian. [2]
Ciri dari public good adalah dapat digunakan oleh masyarakat tanpa mengganggu orang lain. Contohnya jalan raya. Prasarana ini dapat digunakan oleh siapa saja dengan ketentuan masyarakat yang memilki kendaraan berpeluang lebih besar memanfaatkannya dibandingkan masyarakat yang tidak mempunyai kendaraan. Begitu pula uang, sebagai public goods, uang dimanfaatkan dalam jumlah yang lebih banyak oleh golongan kaya. Dalam hal ini, aset yang mereka miliki seperti rumah, mobil, dan saham digunakan di sektor produksi sehingga mendatangkan lebih banyak uang. Semakin tinggi tingkat produksi, semakin besar kesempatan memperoleh keuntungan dari public goods (uang) tersebut. Oleh karena itu, penimbunan (hoarding) dilarang karena menghalangi orang lain menggunakan public goods tersebut. Jadi, jika dan hanya jika private good dimanfaatkan pada sektor produksi, kita akan memperoleh keuntungan.[3]
Dalam pandangan Al-Qur’an, uang merupakan modal serta salah satu faktor produksi yang penting. Tetapi “bukan yang terpenting”. Manusia menduduki tempat di atas modal disusul sumber daya alam. Pandangan ini berbeda dengan pandangan sementara pelaku ekonomi modern yang memandang uang adalah segala sesuatu, sehingga tidak jarang manusia atau sumber daya alam dianiaya atau diterlantarakan. Modal tidak boleh diabaikan manusia berkewajiban meggunakannya dengan baik, agar ia terus produktif dan tidak habis digunakan.  Karena itu seorang dapat menjadikan modal sebagai private goods atau aset miliknya sendiri. Ketika uang dianggap sebagai modal, maka uang akan menjadi barang pribadi atau private goods, di mana orang dapat menyimpan, menimbun dan mengendapkan uang dari peredaran dan sirkulasi di masyarakat. Namun penimbunan (hoarding) dilarang karena menghalangi orang lain menggunakan public goods. Jadi,  dapat dikatakan modal adalah private goods jika dan hanya jika private good dimanfaatkan pada sektor produksi, karena jika tidak digunakan pada sektor produksi maka terjadilah penimbunan atau pengendapan sehingga sirkulasi uang di masyarakat terhambat.
Karena dalam konsep ekonomi Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods public). Barang siapa yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan, sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Implikasinya proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, uang sebaiknya tidak diendapkan dan dibaiarkan bergulir dan berputar di masyarakat, untuk dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari dan juga sebagai sarana ibadah, Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
"Pada akhir zaman, manusia dimasa itu semestinya memiliki dirham-dirham dan dinar-dinar untuk menegakkan urusan agamanya dan dunianya” (Hadits Riwayat Imam At-Tthabrani sebagaimana terdapat dalam kitab Jami'u As-Saghir karya Imam As-Sayuti)"

C.    Ayat Terkait dengan Konsep Uang
Di dalam konsep uang salah satunya adalah menyatakan uang adalah public goods dan modal adalah private goods.
Berikut adalah salah satu firman Allah yang berkaitan dengan konsep tersebut, yang tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 34 dan 35.

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ )٣٤(
يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ )٣٥(
D.    Makna, Kedudukan, dan Metode Tafsir
·         Makna Tafsir
Tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan dan menerangkan. Tafsir diambil dari kata al-fasr yang bermakna menjelaskan dan membuka. Dalam kamus dikatakan bahwa makna al-fasru  adalah menjelaskan dan membuka sesuatu yang tertutup. Dalam kitab al-Bahr al-Muhith, tafsir dapat pula berarti “menelanjangi” secara mutlak. Tsa’lab berakata, “Engkau katakan fasartu al-farsa’  aku menelanjangi kuda dari ikatan nya, sehingga ia keluar dari kandangnya.” Tafsir disini kembali ke makna “membuka” seakan-akan ia membuka punggung kuda itu agar ia berlari. Dari sini jelaslah bahwa kata tafsir digunakan dalam bahasa Arab dengan arti membuka secara indrawi, seperti dikatakan oleh Tsa’lab, dan dengan arti membuka secara maknawi dengan memperjelas arti-arti yang tertangkap dari zahir redaksional.
·         Metode Tafsir
Metode Tafsir yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an surat at-Taubah, 9:  ayat 34-35, yaitu Tafsir Ijmali. Tafsir Ijmali adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara global, dari ayat ke ayat mengikuti tertib mushaf. Pembahasannya secara populer tidak terlalu mendalam, yang dapat diserap oleh orang-orang yang hanya mempunyai bekal ilmu pengetahuan sedikit, sebagai konsumsi untuk orang awam. Diantara contohnya adalah Tafsir Jalalyn dan al-Bayan:Tafsir Penjelas al-Qur’anul Karim karya Teuku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy.
Adapun karakteristik tafsir ijmali adalah dibahas dengan mengikuti urutan mushaf  ayat-ayat Al-Qur’an secara global, dangkal, dan hanya meliputi yang ditunjuk oleh ayat sehingga dapat terdiri atas beberapa sesuai dengan ayat yang sedang dibahas dan dipaparkan secara deskriptif.

E.     Tafsir Al-Qur’an surat at-Taubah, 9:  ayat 34-35
Tafsir Ibnu Katsir
      As- Suddi berkata “ Al- Albar adalah sebutan bagi pendeta drai kalangan orang-orang yahudi, dan ar-rubban adalah pendeta dari kalangan Nasrani.” Dan memang benar, bahwa abbar adalah orang alim dari kalangan Yahudi, seperti dalam firman Allah :
لَوۡلَا يَنۡهَىٰهُمُ ٱلرَّبَّٰنِيُّونَ وَٱلۡأَحۡبَارُ عَن قَوۡلِهِمُ ٱلۡإِثۡمَ وَأَكۡلِهِمُ ٱلسُّحۡتَۚ َ
            Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram (Al-maaidah :63)
            Dari rubban (pendeta)adalah para ahli ibadah dari kalangan orang-orang Nasrani, sementara al-qissun  (uskup) adalah orang alim mereka, seperti  firman Allah dalam surat Al-maaidah ayat 82 :
ذَٰلِكَ بِأَنَّ مِنۡهُمۡ قِسِّيسِينَ وَرُهۡبَانٗ
”yang demikian itu karena diantara mereka itu ()orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahub-rahib."
Maksudnya, suatu peringatan akan bahaya para ulama su’ (orang alim yang mengajak keada keburukan) dan para ahli ibadah yangsalah jalan,seperti yang dikatakan oleh Sufyan bin ‘Uyainah : “barang siapa diantara ulama kita rusak akhlaknya, maka mereka menyerupai orang-orang Yahudi. Dan barang siapa yang diantara para ahli ibadah kita yang rusak akhlaknya, maka mereka menyerupai orang –orang Nasrani,”
             Dalam hadits shaih disebutkan :
(لَتَركَبُنَّ سَنَنَ مَن كَانَ قَبَلَهُم حَذوَالقُذَّةِ بِا لقُذَّةِ)
 “ kalian benar-benar akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian seperti apa adanya (serupa/persis).”
            Para sahabat bertanya :” Yahudi dan Nasrani? Rasulullah SAW menjawab : lantas siapa lagi ?”. Dalam suatu riwayat disebutkan : “ orang-orang Persia dan Romawi?” Rasulullah SAW menjawab : “ siapa lagi orang nya kalau bukan mereka ?”
            Jadi ini adalah peringatan bagi kita untuk tidak ber-tasyabbuh (menyerupai) dengan mereka, baik dalam ucapan  maupun perbuatan.
            Allah berfirman : 
لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ “ benar-benar (mereka) memakan harta orang dengan jalan yang bathil, dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” Hal itu karena mereka memakan harta dunia dengan mengorbankan agama dan sarana jabatan mereka. Seperti halnya para orang alim Yahudi pada zaman jahiliyyah, dimana mereka mempunyai kedudukan di masyarakat dan mendapatkan pajak serta sumbangan dari rakyat. Ketika Rasulullah SAW diutus, mereka tetap dalam kesesesatan dan kekafiran karena tidak mau kehilangan jabatan mereka, maka Allah menghapus ketamakan mereka dengan cahaya kenabian dan menggantinya dengan kehinaan dan kerendahan serta mereka akan mendapatkan amarah dan murka dari Allah.
            FirmanNya   وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ  “ dan menghalangi manusia dari jalan Allah” yakni, di samping memakan makanan yang haram, mereka juga menghalangi manusia dari mengikuti kebenaran, mencampur kebenaran dengan kebathilan dan berpura-pura dihadapan para pengikut mereka sebagai orang-orang yang menyeru pada kebaikan, padahal perbuatan mereka tidak seperti apa yang  ereka teriakan. Mereka adalah para  penyeru yang mengajak ke dalam api neraka dan di hari kiamat tidak akan mendapat pertolongan.
            firmanNya وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ  “dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, dan tidak menafkahkannya di jalan Allah.” Mereka adalah jenis ketiga dari golongan orang-orang yang dipandang oleh masyarakat (tokoh masyarakat). Dimana masyarakat akan membutuhkan para ulama, para ahli ibadah dan orang-orang kaya. Jika ketiga kelompok orang ini rusak, maka rusaklah (keadaan) masyarakat,seperti yang dikatakan Ibnu Mubarak :
"dan agama itu tidaklah menjadi rusak melainkan karena perbuatan para raja, ulama bejat, dan para pendeta".
            Sedangkan yang dimaksud dengan al-kanzu (harta yang ditimbun) Imam Malik berkat dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar “ adalah harta yang zakatnya tidak ditunaikan.”
            Ats-TSauri dan yang lainnya berkata sari ‘Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “harta yang sudah dikeluarkan zakatnya, maka tidak termasuk al-kanzu, meskipun berada dibawah lapisan bumi yang ketujuh, sedangkan harta yang terlihat dan belum dikeluarkan zakatnya,  maka harta tersebut termasuk al-kanzu.” Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas,Jabir dan Abu Hurairah secara mauquf dan  marfu.
Firman-Nya
يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ ٣٥
 “ pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi merekaa, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : ‘inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”  Yakni, dikatakan kepada mereka perkataan ini sebagai cercaan dan penghinaan terhadap mereka,  seperti dalam firman-Nya dalam QS Ad-Dukhan;48-49 (( ثُمَّ صُبُّواْ فَوۡقَ رَأۡسِهِۦ مِنۡ عَذَابِ ٱلۡحَمِيمِ ذُقۡ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡكَرِيمُ٨ ))“ kemudian tuangkanlah diatas kepalanya siksaan dari air yang amat panas. Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. Yakni ini adalah sebagai balasan dari perbuatan tersebut dan inlah yang kamu timbun untuk dirimu.
Dalam menafsirkan ayat ini al-Bukhari menyebutkan sebuah kisah yang diriwayatkan dari Hushain, dari Zaidbin Wahb, ia berkata: " aku meminta Abu Dzar di ar-Rabdzah,dan kemudian aku bertanya kepadanya: 'apa yang telah membuatmu sampai ditempat seperti ini ?' ia menjawab " ketika itu kami berada di Syam, lalu aku membaca firman Allah :
وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ  " dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah mereka akan adanya siksa yang pedih." Maka Muawiyah berkata :'yang deikian ini tidak ditunjukan pada kita, tapi hanya ditunjukan pada ahli kitab.' Aku berkata :''ini ditunjukan kepada kita dan kepada mereka." Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari hadits 'Ubaid bin al-Qasim, dari Hushain, dari Zaid bin Wahb, dari Abi Dzar ra. Ia menyebutkan hadits tersebut dengan tambahan: "... hingga perselisihan antara kami berdua semakin tajam. Maka ia mengirim surat kepad Utsman ra yang mengadukan perkaraku. Lalu Utsman ra mengirim surat kepadaku, agar aku datang kepadanya. Lalu aku datang  kepadanya. Ketika aku sampai di kota Madina, orang-orang mengikutiku seakan mereka belum pernah melihatku. Hal itu aku adukan kepada 'Utsman ra, ia berkata kepadaku :' bergeserlah sedikit!' aku menjawab: 'Demi Allah aku tidak akan mundur dari apa yang pernah aku katakan.'"
Diantara pendapat Abu Dzar ra adalah, haramnya menyimpan harta yang melebihi pemberian nafkah kepada keluarga. Ia fatwakan hal ini, sekaligus menyeru dan memberikan dorongan untuk melaksanakan fatwa ini. Ia juga bersikap keras kepada orang yang tidak menerima fatwa teersebut. Sehingga muawiyah mencegahnya, akan tetapi ia tetap bersikukuh dengan pendapatnya. Muawiyah khawatir kalau hal ini akan berdampak negatif pada masyarakat, maka ia mengadukannya kepada amirul mukminin, 'Utsman ra, agar  memanggilnya. Kemudian 'Utsmn meminta ia agar datang ke Madinah dan ia di tempatkan di Rabdzah sendirian. Dan di tempat inilah ia wafat, ketika itu masih dalam pemerintahan 'Utsman. Muawiyah pun mengujinya untuk mengetahuiapakah ucapan Abu Dzar itu sesuai dengan perbuatannya. Ia mengutus seseorang untuk memberikan 1000 dinar kepada Abu Dzar, maka Abu Dzar lagsung menginfakkannya, kemudian setelah itu Muawiyah mengutus si pembawa dinar tersebut kepada Abu Dzar dan berkata: "sesungguhnya aku diutus Muawiyah kepada orang lain tapi aku keliru, oleh karena itu kembalikanlah dinar yang seperti demikian." Abu Dzar berkata:"dinar tersebut telah diinfakkan. Jika nanti aku memiliki harta, akan aku ganti.
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Dzar, yang artinya : " aku tidak suka jika aku memiliki emas sebesar (gunung) Uhud dan setelah lewat tiga hari aku masih memiliki sebagiannya, kecuali satu dinar yang aku simpan uantukmembayar hutang." Inilah yang membuat Abu Dzar bependapat seperti itu.  Wallahu a'lam.
  1. PENUTUP
Konsep uang dalam islam salah duanya adalah uang adalah public goods dan modal adalah stock concept. uang sebagai public goods artinya uang harus mengalir sebagai mana mestinya guna melancarkan laju perekonomian, dan dalam QS at-Taubah ayat 34-35 telah dijelaskan larangan menimbun uang sebagai barang pribadi, hal ini di maksudkan agar uag tetap mengalir dari masyarakat ke masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya juga untuk menstabilkan laju perekonomian. Lazimnya modal itu berupa uang, namun ketika modal menjadi stock concept uang yang kita miliki sebagai milik pribadi itu dibelikan barang penunjang produksi atau diinvestasikan, maka barang tersebut yang dinamakan sebagai stock concept.

REFERENSI
            Karim, Adiwarman Azwar. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. IIITIndonesia. Jakarta.2002
            Suprayitno,eko. Ekonomi Islam. Yogyakarta.Graha Ilmu.2005
            Ahmad Mansur Konsep Uang dalam Perspektif Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional. Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1, Juni 2009



[1]  Suprayitno,eko. Ekonomi Islam. Yogyakarta.Graha Ilmu.2005.hlm 79
[2] Ahmad Mansur Konsep Uang dalam Perspektif Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional. Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1, Juni 2009
[3] Karim, Adiwarman Azwar. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. IIITIndonesia. Jakarta.2002 hlm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS UNIVARIAT, BIVARIAT DAN MULTIVARIAT

Penerapan Statistika Dalam Kehidupan Sehari-hari (Fitri Hidayatuz Zahroh)

Distribusi Poisson dan Penerapannya Dalam Kehidupan Sehari-hari