Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan Sedekah
Nama: Ratna Miftakhul Jannah
NIM : 1617202118
Kelas : 4 Perbankan Syariah C
Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan Sedekah
Pendahuluan
Islam telah mengatur apa saja yang dibutuhkan oleh manusia, termasuk permasalahan ekonomi. Dalam Islam ekonomi dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan manusia yang bertujuan mencapai maslahah atau kesejahteraan ekonomi.
Negara merupakan peran yang penting dalam menjalankan perekonomian. Negara menguasai sumber ekonomi dan memperoleh hak untuk memungut pajak dan sekaligus membelanjakan uang dalam jumlah besar. Kekuasaan yang dimiliki pemerintah dapat mengurangi hambatan-hambatan perekonomian dan membantu masyarakat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi. Setiap negara mempunyai sistem yang berbeda-beda dalam mensejahterakan rakyatnya. Maka disini penulis mencoba membahas mengenai tafsir ayat dan hadis tentang kesejahteraan ekonomi agar kita semua mengetahui bagaimana kesejahteraan ekonomi dalam pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pembahasan
Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan Sedekah
Di dalam masyarakat Islam terdapat suatu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak mudah memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan dana semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat Islam.
Q.S At-Taubah ayat 60:
اِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالمَسَاكِيْنِ وَالعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ المُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَ الغَارِمِيْنَ وَفِى سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ، فَرِيْضَةً مِّنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah: 60).
Adapun pada ayat lainnya Allah SWT., berfirman:
يَسْئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ، قُلْ مَا اَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍفَلِلْوَالِدَيْنِ وَلْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتَامَى وَالمَسَاكِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah: 215)
Sedekah memiliki peran yang sangat signifikan di dalam masyarakat islam. Dan ini bukan hanya sekedar pemberian sukarela kepada orang lain namun merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam masyarakat islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat islam.
Dibanding amal sedekah yang sering dikeluarkan umat islam kepada mereka yang kurang beruntung, sesungguhnya lebih mudah mengestimasi zakat, satu kewajiban pembayaran transfer yang paling penting di negara muslim kini sedang diupayakan mengukur pendapatan dari zakat sebagai persentase dari GNP. Pengukuran ini akan sangat bermanfaat sebagi variabel kkebijakan di dalam pengambilan keputusan dibidang soosial dan ekonomi, sebagai bagian dari rancangan untuk mengentaskan kemiskinan. Pendayagunaan peran zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan di negara-negara muslim kini tengah menjadi agenda negara-negara tersebut.
Sedekah merupakan peran yang sangat penting didalam kehidupan bermasyarakat. Dengan bersedekah tanpa kita sadari kita telah memutar roda perekonomian dengan baik. Karena umat muslim memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung atau miskin. Sedekah juga termasuk investasi didalam Islam yaitu, investasi dunia dan akhirat. Perintah Allah SWT., tentang sedekah QS. Al-Baqarah: 261 yang berbunyi:
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ، وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَآءُ، وَالله وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:261).
Hubungan dengan Allah SWT., harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia. Rasulullah SAW., bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا
Artinya: “Sesungguhnya antara seseorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lainnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Maksud dari hadis di atas adalah, umat satu dengan umat lainnya adalah saling tolong menolong ketika sedang mengalami kesulitan dan bahu membahu dalam hal kebaikan.
Dalam hadis lain juga menerangkan, Rasulullah SAW. bersabda:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيْدَ عَنْ أَبِى الخَيْرِعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الاِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِف
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid dari Abu Al Khair dari Abdullah bin ‘Amru; Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW., “Islam manakah yang paling baik?” Nabi SAW., menjawab: “Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”. (H.R. Bukhari).
Metode tafsir tahlili
Penafsiran al-Quran dengan metode tahlili berarti penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yangditafsirkan, disertai penerangan makna-makna yang tercakup di dalamnya. Penerangan makna-makna tersebut bersesuaian dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkannya. Dalam prakteknya, mufassir biasanya menguraikan makna ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan yang terdapat di dalam mushaf Utsmani.
Muhammad Baqir as-Shadr (dalam Hamid, 1997:32) menyebut tafsir metode tahlili dengan tafsir tajzi’ie yang secara harfiah berarti tafsir yang penguraiannya berdasarkan bagian-bagian parsial.
Tafsir metode tahlili adalah penafsiran ayat al-quran dari segala seginya dengan mngikuti urutan mushaf dengan meneliti arti mufradat-nya, kandungan makna, dan tujuan pembicaraannya di dalam tiap-tiap susunan katanya, munasabat antar ayat-ayatnya menggunakan bantuan asbab al-nuzul, sunnah Rasul, aqwal sahabat dan tabi’in. kemudian diolah sesuai dengan kepandaian dan keahlian para mufassir dalam bidangnya masing-masing. Tafsir yang ditulis pada masa klasik pada umumnya menggunakan metode tahlili.
Tafsir dengan metode tahlili adalah tafsir yang berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dari berbagai segi, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat atau surah (munasabah), sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan, pendapat para mufassir terdahulu dan pendapat mufassir sendiri.
Metode tahlili banyak dipergunakan oleh ulama klasik, akan tetapi di antaramereka ada yang mengemukakan semua hal di atas secara panjang lebar (ithnab), seperti al-Alusy, al-Fakhr al-Razy, al-Qurthuby, dan al-Thabary, ada juga yang mengemukakannya dengan singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din al-Suyuthy, Jalal al-Dinal-Mahally dan as-Sayid Muhammad Farid Wajdy, dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (mutawassith), tidak ithnab dan tidak pula ijaz, seperti Imam al-Baidlawy, Syaikh Muhammad ‘Abduh, al-Naisabury dll. Sekalipun mereka sama-sama menafsirkan al-Quran dengan metode tahlili, akan tetapi corak atau warna tahlili masing-masing berbeda. Ada beberapa corak dari tafsir tahlili yaitu: tafsir fiqhy, tafsir shufy, tafsir falsafy, tafsir ’ilmy dan tafsir adaby-ijtima’iy.
Ciri-ciri Tafsir Tahlili
Untuk mengetahui ciri-ciri tafsir metode tahlili, diantaranya adalah dengan memperhatikan kitab-kitab tafsir tahlili, baik yang berbentuk ma’tsur maupun ra’y. Kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur di antaranya: Jami’ al-Bayan ‘anTa’wil Ayi Al-Quran(Ibn Jarir al-Thabari), Ma’alim al-Tanzil (al-Baghawi), Tafsir Al-Quranal-‘Azhim (Ibn Katsir), dan Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur (as-Suyuthi). Adapun kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y di antaranya:Tafsir al-Khazin (al-Khazin), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (al-Baidhawy), al-Kasysyaf (al-Zamakhsyari), Tafsir al-Manar (Muhammad Abduh dan MuhammadRasyid Ridha).
Dari beberapa kitab tersebut, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri tafsir metode tahlili di antaranya:
1. Mengemukakan korelasi (munasabah) antarayat maupun antarsurat (sebelum maupun sesudahnya).
2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.
3. Menganalisis mufradat dan lafadz dengan sudut pandang linguistic.
4. Memaparkan kandungan ayat beserta maksudnya secara umum.
5. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat yang ditafsirkan, baik yang berkaitan dengan hukum fiqh, tauhid, akhlak, atau hal lain.
Dengan demikian, tampak bahwa penafsiran al-Quran metode tahlili merupakanmerupakan penafsiran yang bersifat luas dan menyeluruh (komprehensif). Dan juga dapat dimengerti, bahwa ciri paling inti dari tafsir metode tahlili bukan pada penafsiran Al-Quran dari awal mushaf sampai akhir, melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya.
Kelebihan dan kekurangan Tafsir Metode Tahlili
Sebagaimana metode-metode yang ada lainnya, metode tahlili tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari tafsir metode tahlili di antaranya:
Mempunyai ruang lingkup yang luas.
Sebagaimana telah disebutkan di muka, tafsir metode tahlili memungkinkan mufassir membawanya ke dalam dua bentuk: ma’tsur dan ra’y. Bentuk ra’y sendiri masih dapat dikembangkan menjadi berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian dan kecederungan (kejiwaan) mufassirnya.
Dengan keluasan ruang lingkupnya,metode tahlili dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya penafsiranAl-Quran.
Memuat berbagai ide dan gagasan karena keluasan ruang lingkupnya,
Mufassir pun relatif mempunyai kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru. Sehingga dapat dipastikan, pesatnya perkembangan tafsir metode tahlili disebabkan oleh kebebasan tersebut. Selain mempunyai kelebihan, metode tahlili tak luput dari kekurangan.
Adapun kekurangan dari metode tahlili di antaranya:
Menyebabkan petunjuk Al-Quran (tampak) parsial
Metode tahlili memungkinkan mufassir memberi penafsiran yang berbeda padasatu ayat dengan ayat lain yang serupa. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap ayat-ayat atau lafadz-lafadz yang serupa. Dalam metode tahlili juga terdapatunsur ke tidak konsistenan mufassir. Meski demikian, ke tidak konsistenan ini merupakan konsekuensi logis dari penafsiran metode tahlili, karena dalam metode ini,mufassir tidak dibebani keharusan untuk mengomparasikan ayat dengan ayat.
Melahirkan penafsiran subyektif
Keluasan ruang lingkup metode tahlili, selain merupakan kelebihan, juga merupakan kelemahan mufassir dalam menafsirkan Al-Quran secara subyektif. Terbukanya pintu penafsiran yang lebar pada metode ini terkadang menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsu dengan mengesampingkan kaidah-kaidah yang berlaku. Akibatnya, penafsiran menjadi kurang tepat, dan maksud ayat pun menjadi berubah. Sikap subyektif pada penafsiran metode tahlili mencapai dominasinya terutama pada bentuk tafsir ra’y. Umumnya, sikap subyektif tersebut berangkat darifanatisme madzhab secara berlebihan. Kuatnya dominasi penafsiran yang lain. Kondisi demikian akhirnya membuat metode ini dirasa kurang representatif dari sudut pandang objektivitas dan signifikansi keilmuan.
Membuka pintu masuk pemikiran Israiliyyat
Masuknya orang-orang Yahudi ke dalam lingkungan Islam, berandil besar dalam tersebar luasnya Israiliyyat beserta pengaruhnya di kalangan umat Islam, tak terkecuali di kalangan mufassir. Kaitannya dengan tafsir metode tahlili, keluasanruang lingkup metode tahlili berimbas pada keleluasaan mufassir dalam mengajukan ide, gagasan, dan pemikiran tak terkecuali pemikiran Israiliyyat. Sebenarnya tidak ada masalah dengan Israiliyyat sepanjang keberadaannya tidak dikaitkan dengan upaya pemahaman Al-Quran (penafsiran). Tapi bila terjalin hubungan antara Israiliyyat dengan penafsiran Al-Quran, terbentuklah opini tunggal: kisah Israiliiyat tersebut merupakan petunjuk Allah. Padahal, belum tentu ada kecocokan antara kisah Israiliyyat tersebut dengan maksud Allah.Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahlili itu, tidak lain kecuali dalam rangkaupaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatanAl-Qur’an.
Namun, sebenarnya kemukjizatan Al-Quran itu tidak ditujukan kepada ummat Islam, melainkan kepada mereka yang tidak percaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperlihatkan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnyaunsur tahaddiy (tantangan), sedangkan orang muslim tidak perlu ditantang karena telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang dimulai dengan kalimat “
Inkuntum fi raib” atau“ Inkuntum shadiqin”.
Kalau tujuan penggunaan metode tahlili seperti yang diungkapkan Malik di atas,maka untuk masyarakat muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagimerupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Sadr –Ulama Syi’ah Iraq– yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan parsial serta kontradiksi dalam kehidupan umat Islam. Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode Tafsir Bi ar-Ra’yidengan cara tahlili ini tidak mampu menjawab tuntas persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak mampu memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirnya.
Urgensi Metode Tahlili
Meskipun mengandung kekurangan, keberadaan metode tahlili harus diakui telah memberikan sumbangan besar bagi pelestarian dan pengembangan khazanah intelektual Islam, khususnya di bidang tafsir Al-Quran.
Berdasarkan fakta yang ada,metode ini telah melahirkan karya-karya besar dan monumental. Sehingga, urgensitas metode ini harus diakui. Karena metode tahlili menjelaskan kandungan Al-Quran dari berbagai segi, dapat dikatakan, metode tahlili lebih dapat diandalkan jika tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang luas (pemahaman dalam berbagai aspek) terhadap kandungan Al-Quran. Dengan kata lain, urgensi metode tahlili terletak pada keberadaannya yang mampu memberi pemahaman lebih luas (berbagai aspek) dibanding dengan metode tafsir yan lain.
Tafsir
Tafsir Q.S At-Taubah Ayat 60
Ayat ini turun ketika orang-orang munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang pembagian zakat, kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah-lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya, tidak ada campur tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut.
الصَّدَقَاتُ إِنَّمَا maksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.
Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’I dan sekelompok ulama’.
Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.
Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan mereka yang berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya.
Masharif Zakat
Pertama dan kedua, وَالْمَسَاكِين لِلْفُقَرَاءِ
Pada dasarnya kedua keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih memprihatinkan dari pada miskin, sehingganya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan fakir lebih dahulu dari pada miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan miskin. Imam Abu Ja’far berkata : Zakat hanyalah untuk orang fakir dan miskin. Para ulama’ berselisih pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan orang fakir dan miskin itu :
Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya”.
Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia meminta-minta.
Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.
Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya.
Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.
Ketiga, . اَلْعَا مِلِيْنَ
Masharif zakat yang ketiga adalah amil zakat, yaitu orang bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula. Mereka berhak mendapatkan bagian zakat. Seorang Amil tidak boleh dari kerabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka tidak berhak menerima zakat berdasarkan hadits shahih dari yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwa ia dan Fadl bin Abbas memohon kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “ Sesunguhnya zakat itu tidak dihalalkan bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarganya. Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran (harta) manusia.”
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai kadar yang diberikan kepada amil zakat :
Dlohak ia berpendapat bahwasanya amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat.
Yunus, Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa seorang amil mendapatkan sesuai dengan kadar apa yang dikerjakannya. Adapun pendapat yang paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’ul Bayan adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.
Keempat, قُلُوبُهُمْ الْمُؤَلَّفَةِ
Yaitu orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya kepada Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat supaya mereka menegetahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar dan shalih, dan supaya bertambah keimanannya. Diantara mereka yang dilunakkan hatinya pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Sufyan bin Harb, Uyainah bin Badr dan Aqra’ bin Habis.
Mereka ada tiga golongan :
Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam.
Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya.
Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.
Kelima, قَابِ لرِّا
Yaitu budak-budak yang sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari majikannya. Mereka dimerdekakan dan dibantu dengan harta zakat. Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri ,Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Zubar an-Nakha’I, az-Zuhri dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan riqab adalah “al-Mukatib” yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian bebas.
Keenam, َالْغَارِمِين
Yaitu orang yang terlilit utang tetapi bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian ia tidak bisa melunasi hutangnya tersebut. Mujahid berkata, “AlGharimin ialah orang yang terbakar rumahnya, kemudian ia berhutang untuk membangun kembali rumahnya.” Wajib bagi seorang Imam memerinya harta atau zakat dari Baitul Mal.
Dalam keadaan ini ada dua golongan :
Berhutang untuk kebaikan orang yang berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar utangnya.
Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.
Orang yang mempunyai tanggungan denda atu hutang yang harus dipenuhi, sedangkan untuk memenuhinya ia harus menguras harta kekayaannya atau ia harus berhutang kepada orang lain, atau berhutang dan melakukan kemaksiatan lalu ia bertaubat. Maka orang yang seperti ini diberi zakat.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari bu Sai’d Al-Khudri ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada seseorang yang menderita banyak kerugian karena buah-buahan yang barui saja dibelinya terkena hama, hingga hutangnya menumpuk. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bersedekahlah kepadanya,” maka orang-orangpun bersadaqah kepadanya, akan tetapi tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para piutang tersebut, “Ambillah apa yang kalian dapati, hanya itu saja bagaian yang kalian dapatkan. (HR. Muslim).
Ketujuh, للَّه ا سَبِيلِ وَفِي
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat tersebut :
Abu Yusuf berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di dalam peperangan (mujahidin) yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”
Muhammad, “Orang yang berhaji.”
Sebagian ulama’ berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu.
Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan orang-orang yang berada di jalan kebenaran. Wallahu ‘alam bi Shawab.
Kedelapan, السَّبِيلِ وَاِبْنِ
Ialah seorang musafir di suatu negeri yang bekalnya tidak mencukupi untuk dipakai pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia diberi bagian zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula dengan orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka ia diberi dari bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.
فَرِيضَةً مِن اللَّهِ Maksudnya ialah pembagian ini adalah langsung dari Allah SWT yang diwajibkan kepada orang yang mempunyai harta dari orang muslimin. Allah maha mengetahui kemaslahatan makhluknya terhadap apa saja yang diwajibkan kepada mereka. Tidak ada sesuatu apapun yang samar bagi-Nya. Tidak mungkin Allah SWT mewajibkan zakat pada kaum muslimin melainkan ada maslahat didalamnya. Dialah Maha Bijaksana yang mengatur segala sesuatu.
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dari kedelapan masharif zakat tersebut, bisa disimpulkan dalam dua hal :
Orang yang diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Orang yang diberi zakat dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin.
Surah Al Baqarah Ayat 261
Tafsir Ayat:
Ini merupakan anjuran yang agung dari Allah untuk hamba-hambaNya untuk menafkahkan harta mereka di jalan-Nya, yaitu jalan yang menyampaikannya kepada-Nya. Termasuk dalam hal ini adalah menafkahkan hartanya dalam meningkatkan ilmu yang bermanfaat, dalam mengadakan persiapan berjihad di jalan-Nya, dalam mempersiapkan para tentara maupun membekali mereka, dan dalam segala macam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kaum muslimin. Kemudian disusul berinfak kepada orang-orang yang membutuhkan, fakir miskin, dan kemungkinan saja dua cara itu dapat disatukan hingga menjadi nafkah untuk menolong orang-orang yang membutuhkan dan sekaligus bakti sosial dan ketaatan.
Nafkah-nafkah seperti ini akan dilipat gandakan. Kelipatan ini dengan tujuh ratus kali lipat hingga berlipat ganda banyaknya lagi dari itu. Karena itu Allah berfirman, (يَشَآءُ لِمَن يُضَاعِفُ وَاللهُ) “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki”. Itu tentunya sesuai dengan apa yang ada dalam hati orang yang berinfak tersebut dari keimanan dan keikhlasan yang tulus, dan juga sesuai dengan kebaikan dan manfaat yang dihasilkan dari infaknya tersebut, karena beberapa jalan kebajikan dengan berinfak padanya akan mengakibatkan manfaat-manfaat yang terus menerus dan kemas-lahatan yang bermacam-macam, maka balasan itu tentunya sesuai dengan jenis perbuatannya.
Faidah Ayat:
1. Pemberian permisalan, yang mana hal tersebut adalah penyerupaan terhadap apa yang di pahami akal dengan sesuatu yang nampak, karena hal tersebut lebih mendekatkan kepada pemahaman.
2. Bahwa al-Qur-an mempunyai tata bahasa dan kefasihan yang sangat tinggi, dan kefasihan adalah kefasihan makna dan penjelasan, sedangkan memberikan permisalan adalah merupakan bentuk kefasihan dan penjelasan yang lebih baik, Allah Ta’ala berfirman: (الْعَالِمُونَ وَمَايَعْقِلُهَآإِلاَ لِلنَّاسِ نَضْرِبُهَا لأَمْثَالُا وَتِلْكَ) : “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu. (QS. Al-Ankabut :43)
3. Keutamaan berimfaq di jalan Allah Ta’ala, karena apa yang di infaqkan tersebut tumbuh menjadi berlipat ganda, (seperti) satu biji (tanaman) menjadi tujuh ratus biji.
4. Ayat ini mengisyaratkan kepada keikhlas kepada Allah dalam beramal, ini berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala: (اللهِ سَبِيلِ فِي) : “Di jalan Allah”, di maksudkan dengan mengharapkan wajah Allah Ta’ala.
5. Ayat ini juga mengisyaratkan agar amal yang di lakukan sesuai dengan aturan syari’at, ini di tunjukan oleh firman Allah Ta’ala: (اللهِ سَبِيلِ فِي) : “Di jalan Allah” , kata jalan di sisni bermakna syari’at, jadi makana ayat adalah bahwa infaq yang di keluarkan tidak keluar dari syari’at Allah, dan infaq yang sesuai dengan syari’at adalah seperti apa yang di firmankan allah Ta’ala: ( أنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُواوَكَا نَ بَيْن ذَ إِذا لِكَ قَوَا مًاينَ وَالَّذِ) : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” . (QS. Al-Furqan :67)
Makna infaq dalam syari’at Allah Ta’ala harus (terpenuhi dua syarat yang pertama -red) ikhlas untuk Allah ‘Azza wa jalla, dan (yang kedua-red) mengikuti syari’atNya, barangsiapa yang berniat dengan infaqnya itu selain Allah, maka dia bukan berinfaq di jalan Allah, seperti orang yang riya, yaitu seorang yang menginfaqkan hartanya untuk jihad di jalan Allah, atau seorang yang menginfaqkan hartanya sebagai shadaqah kepada orang-orang miskin, dan amal shaleh lainnya, namun dari infaq yang ia infaqkan tersebut ia ingin dikatakan sebagai orang yang dermawan, maka ini semua tidak terhitung di jalan Allah Ta’ala, karena orang yang berbuat riya tidak bermaksud dengan infaqnya tersebut wajah Allah Ta’ala, maka sesungguhnya ia tidak menginginkan jalan yang mengantarkannya kepada Allah Ta’ala, dan ia tidak memperdulikan apakah infaqnya di terima oleh Allah Ta’ala atau tidak, yang penting baginya adalah dia disanjung dan di katakan oleh manusia bahwa dia orang yang dermawan, dan penyantun.
Adapun syarat yang kedua (mengikuti syari’at/sesuai tuntunan syari’at), maka dari syarat ini, jika seseorang berinfaq di jalan yang tidak di ridhai Allah Ta’ala (tidak sesuai tuntunan syari’at-red), maka hal tersebut bukan di jalan AllahTa’ala walaupun ia ikhlas dalam berinfaq, seperti seseorang yang berinfaq terhadap hal yang tidak di perbolehkan di dalam agama (bid’ah), yang mana dia mengharapkan dari infaqnya tersebut wajah Allah Ta’ala, hal ini banyak kita temukan, seperti membangun tempat beribadah bagi orang sufi yang menyimpang, atau bagi perayaan maulidan, atau menerbitkan buku yang mengajarkan kebid’ahan (ajaran baru yang tidak ada contohnya dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ), ini semua bisa jadi mereka lakukan dengan niat mangharapkan wajah Allah Ta’ala, akan tetapi di karenakan hal tersebut tidak sesuai dengan syari’at maka apa yang mereka lakukan tersebut bukan di jalan Allah Ta’ala.
6. Penetapan hak kepemilikan bagi manusia, ini berdasarka firman Allah Ta’ala: (أَمْوَالَهُمْ): “Harta mereka”, karena penyandaran tersebut menunjukan kepada kepemilikan.
7. Balasan pahala dari Allah jauh lebih besar dari pada amal perbuatan yang di lakukan si pelaku, karena jika Allah membalas perbuatan dengan balasan sesuai dengan apa yang di lakukan maka tentunya balasan yang di dapat sama dengan amal perbuatan tersebut, akan tetapi Allah membalasnya dengan melebihkan dari kadar amal tersebut, maka jadi lah satu biji menjadi tujuh ratus biji, bahkan lebih dari itu, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: (عَلِيمٌ وَاسِعٌ وَاللهُ يَشَآءُ لِمَن يُضَاعِفُ وَاللهُ) : “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui”.
8. Penetapan “sifat perbuatan/ sifat amal” bagi Allah yang mana ini sesuai dengan kehendak Allah, ini berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala: (يُضَاعِفُ): “Allah melipat gandakan (ganjaran)”, kata “melipat gandakan” adalah perbuatan.
9. Penetapan keinginan bagi Allah, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: (يَشَآءُ لِمَن) : “Kepada siapa yang di kehendakinya” , akan tetapi apakah keinginan yang di maksudkan di sini adalah keiginan murni tanpa ada sebab, ataukah keinginan yang mempunyai sebab yang terdapat padanya kemaslahatan atau hikmah? Maka jawabannya adalah bahwasanya keinginan di sini adalah keinginan yang mempunyai sebab yang terdapat padanya kemaslahatan atau hikmah, maka jadikanlah ini sebagai sebuah qiyas, yaitu setiap apa yang saja yang Allah kaitkan dengan keinginanNya maka padanya terdapat hikmah, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: (حَكِيمًا عَلِيمًا كَانَ اللهَ إِنَّ اللهُ يَشَآءَ أَن إِلآ وَمَاتَشَآءُونَ) : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Insan: 30)
10. Bahwasanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap citaannya, dan tidak seorangpun yang ikut campur padanya, ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala (يَشَآءُ لِمَن يُضَاعِفُ) : “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki”.
c. Surat Al-Baqarah ayat 215
Maksud terjemah ini ayat :
Maksudnya, mereka bertanya kepadamu tentang nafkah, dan ini mencakup pertanyaan tentang apa yang diinfakkan dan siapa yang akan diberikan infak. Allah menjawab mereka tentang hal itu maka firmanNya, خَيْرٍ مِّن مَآأَنفَقْتُم قُلْ “Apa saja harta yang kamu nafkahkan”, artinya, harta yang sedikit atau banyak maka orang yang paling utama menerima harta itu dan yang paling berhak untuk di dahulukan serta paling besar hak mereka atasmu adalah kedua orang tua yang diwajibkan atasmu berbakti kepadanya dan haram bagimu dari durhaka kepadanya. Di antara cara berbakti paling agung kepada mereka adalah memberi nafkah kepada keduanya dan di antara kedurhakaan yang paling besar adalah meninggalkan nafkah bagi keduanya. Karena itu, memberi nafkah kepada keduanya adalah wajib atas seorang anak yang berada dalam kondisi lapang. Setelah kedua orang tua adalah sanak keluarga menurut tingkatannya, yang terdekat lalu yang lebih dekat menurut kedekatannya dan kebutuhannya. Karena memberi nafkah kepada mereka adalah sebuah sedekah dan silaturrahim.
وَالْيَتَامَى “Dan anak-anak yatim”. Mereka adalah anak-anak kecil yang tidak memiliki orang yang menafkahi mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang biasanya sangat membutuhkan, mereka tidak mampu mengurusi kemaslahatan diri mereka sendiri dan tidak ada orang yang mencari nafkah untuk mereka. Allah mewasiatkan mereka kepada hamba-hambaNya sebagai kasih sayang dariNya kepada mereka dan kemurahanNya.
وَالْمَسَاكِينِ “Dan orang-orang miskin” mereka itu adalah orang-orang yang membutuhkan dan terdesak, yang dililit kekurangan, maka mereka itu diberi nafkah demi menutupi kebutuhan mereka dan mencukupkan mereka, السَّبِيلِ وَابْنَ “dan orang yang berada dalam perjalanan”, yaitu orang asing yang kehabisan bekal di negeri asing, dia diberi pertolongan untuk melanjutkan perjalanannya dengan memberikan nafkah agar sampai kepada tujuannya.
Ketika Allah mengkhususkan mereka yang telah disebutkan dalam ayat itu karena kebutuhan mereka yang sangat mendesak, maka Allah menyebutkan secara umum seraya berfirman, خَيْرٍ مِنْ تَفْعَلُوا وَمَا “Dan kebaikan apa saja yang kamu buat”, seperti bersedekah terhadap atau selain mereka, bahkan segala bentuk ketaatan dan pendekatan diri, karena itu termasuk dalam kategori kebaikan, عَلِيمُ بِهِ اللهَ فَإِنَّ “maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. Maka Allah membalasnya buat kalian dan menjaganya untuk kalian, sesuai dengan niat dan keikhlasannya, banyak dan sedikitnya nafkah yang diberikan, kebutuhan yang mendesak terhadapnya dan besarnya manfaat dan gunanya.
Sebab Turunya Ayat:
Amr’ bin Jamuuh (beliau adalah orang yang kaya dari kalangan sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apa yang harus di infakkan dan kepada siapa menghinfakkannya?, maka turunlah ayat tersebut diatas. Sebagai jawaban atas pertanyaannya tersebut. Dijelaskan bahwa yang di infakkan adalah harta, dan semua hal yang berupa materi (al-khairaat). Dan orang yang paling berhak menerima infak adalah :
Kedua orang tua, berdasarkan hadist rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : ketika menjelaskan tentang orang yang paling berhak mendapatkan infak, beliau bersabda, “Ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, setelah itu orang-orang yang lebih dekat (dalam hubungan kekerabatan).” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizdi, dan al-Hakim).
Para kerabat,
Anak-anak yatim,
Orang-orang miskin,
Dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang kehabisan bekal).
Pelajaran dari Ayat:
Dianjurkannya bertanya bagi siapa yang tidak tahu, sehingga ia menjadi tahu. Dan ini juga merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ilmu, sehingga para ulama salaf berkata, “Bertanya adalah separoh ilmu”.
Seutama-utama infak adalah kepada yang tersebut dalam ayat. Diriwayatkan ketika Maimun bin Mahran membaca ayat ini, maka beliau berkata, “Inilah tempat penyaluran infak. Tidak disebutkan didalam ayat itu, rebana, seruling, patung kayu, dan tirai dinding (barang yang haram dan sia-sia. Pent.)”. Apabila yang berinfak adalah orang yang kaya dan mereka fuqara dan membutuhkan.
Anjuran untuk selalu berbuat kebaikan, dan iming-iming pahala yang akan diberikan kepada mereka.
Adanya larangan untuk menyalurkan harta kepada hal-hal yang diharamkan dan perbuatan sia-sia.
Kesimpulan
Di dalam masyarakat Islam terdapat suatu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.
Sedekah memiliki peran yang sangat signifikan di dalam masyarakat islam. Dan ini bukan hanya sekedar pemberian sukarela kepada orang lain namun merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam masyarakat islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat islam.
Tafsir metode tahlili adalah penafsiran ayat al-quran dari segala seginya dengan mngikuti urutan mushaf dengan meneliti arti mufradat-nya, kandungan makna, dan tujuan pembicaraannya di dalam tiap-tiap susunan katanya, munasabat antar ayat-ayatnya menggunakan bantuan asbab al-nuzul, sunnah Rasul, aqwal sahabat dan tabi’in. kemudian diolah sesuai dengan kepandaian dan keahlian para mufassir dalam bidangnya masing-masing. Tafsir yang ditulis pada masa klasik pada umumnya menggunakan metode tahlili.
Dari beberapa kitab tersebut, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri tafsir metode tahlili di antaranya:
1. Mengemukakan korelasi (munasabah) antarayat maupun antarsurat (sebelum maupun sesudahnya).
2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.
3. Menganalisis mufradat dan lafadz dengan sudut pandang linguistic.
4. Memaparkan kandungan ayat beserta maksudnya secara umum.
5. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat yang ditafsirkan, baik yang berkaitan dengan hukum fiqh, tauhid, akhlak, atau hal lain.
Kelebihan tafsir tahlili, yaitu Memiliki ruang lingkup yang luas dan Memuat berbagai ide dan gagasan karena keluasan ruang lingkupnya, sedangkan kekurangannya yaitu Melahirkan penafsiran subyektif, Menyebabkan petunjuk Al-Quran (tampak) parsial, Membuka pintu masuk pemikiran Israiliyyat.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Ahmad Izzan, M. Ag. dan Syahri Tanjung, S. Ag. 2006. Referensi Ekonomi Syariah Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Nurul Huda, Handi Risza, dkk. 2008. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Jakarta: Prenadamedia Group.
Mukhtar, Naqiyah. 2013. Ulumul Quran. Purwokerto: STAIN Press.
HYPERLINK "http://wanitagelaskaca.blogspot.co.id/2014/03/ekonomi-makro-islam-pendapatannasional.html" http://wanitagelaskaca.blogspot.co.id/2014/03/ekonomi-makro-islam-pendapatannasional.html
HYPERLINK "https://www.scribd.com/doc/24854461/Tafsir-Tahlili" https://www.scribd.com/doc/24854461/Tafsir-Tahlili
HYPERLINK "https://vhocket.wordpress.com/2017/01/26/pendapatan-nasional/" https://vhocket.wordpress.com/2017/01/26/pendapatan-nasional/.
HYPERLINK "http://www.alsofwa.com/14885/113-quran-surat-al-baqarah-215.html" http://www.alsofwa.com/14885/113-quran-surat-al-baqarah-215.html
HYPERLINK "http://www.alsofwa.com/19240/tafsir-surat-al-baqarah--ayat-261-262.html" http://www.alsofwa.com/19240/tafsir-surat-al-baqarah--ayat-261-262.html
HYPERLINK "https://www.google.com/search?hlin-ID&ieUTF-8&source-android-browser&qtafsir+suratbat+taubah+ayat+60" https://www.google.com/search?hlin-ID&ieUTF-8&source-android-browser&qtafsir+suratbat+taubah+ayat+60
NIM : 1617202118
Kelas : 4 Perbankan Syariah C
Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan Sedekah
Pendahuluan
Islam telah mengatur apa saja yang dibutuhkan oleh manusia, termasuk permasalahan ekonomi. Dalam Islam ekonomi dilaksanakan semata-mata untuk kepentingan manusia yang bertujuan mencapai maslahah atau kesejahteraan ekonomi.
Negara merupakan peran yang penting dalam menjalankan perekonomian. Negara menguasai sumber ekonomi dan memperoleh hak untuk memungut pajak dan sekaligus membelanjakan uang dalam jumlah besar. Kekuasaan yang dimiliki pemerintah dapat mengurangi hambatan-hambatan perekonomian dan membantu masyarakat untuk mencapai kesejahteraan ekonomi. Setiap negara mempunyai sistem yang berbeda-beda dalam mensejahterakan rakyatnya. Maka disini penulis mencoba membahas mengenai tafsir ayat dan hadis tentang kesejahteraan ekonomi agar kita semua mengetahui bagaimana kesejahteraan ekonomi dalam pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pembahasan
Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan Sedekah
Di dalam masyarakat Islam terdapat suatu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak mudah memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan dana semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat Islam.
Q.S At-Taubah ayat 60:
اِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالمَسَاكِيْنِ وَالعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ المُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَ الغَارِمِيْنَ وَفِى سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ، فَرِيْضَةً مِّنَ اللهِ، وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At-Taubah: 60).
Adapun pada ayat lainnya Allah SWT., berfirman:
يَسْئَلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ، قُلْ مَا اَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍفَلِلْوَالِدَيْنِ وَلْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتَامَى وَالمَسَاكِيْنَ وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.” Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah: 215)
Sedekah memiliki peran yang sangat signifikan di dalam masyarakat islam. Dan ini bukan hanya sekedar pemberian sukarela kepada orang lain namun merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam masyarakat islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat islam.
Dibanding amal sedekah yang sering dikeluarkan umat islam kepada mereka yang kurang beruntung, sesungguhnya lebih mudah mengestimasi zakat, satu kewajiban pembayaran transfer yang paling penting di negara muslim kini sedang diupayakan mengukur pendapatan dari zakat sebagai persentase dari GNP. Pengukuran ini akan sangat bermanfaat sebagi variabel kkebijakan di dalam pengambilan keputusan dibidang soosial dan ekonomi, sebagai bagian dari rancangan untuk mengentaskan kemiskinan. Pendayagunaan peran zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan di negara-negara muslim kini tengah menjadi agenda negara-negara tersebut.
Sedekah merupakan peran yang sangat penting didalam kehidupan bermasyarakat. Dengan bersedekah tanpa kita sadari kita telah memutar roda perekonomian dengan baik. Karena umat muslim memberikan sedekah kepada mereka yang kurang beruntung atau miskin. Sedekah juga termasuk investasi didalam Islam yaitu, investasi dunia dan akhirat. Perintah Allah SWT., tentang sedekah QS. Al-Baqarah: 261 yang berbunyi:
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِى كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ، وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَآءُ، وَالله وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:261).
Hubungan dengan Allah SWT., harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia. Rasulullah SAW., bersabda:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُمْ بَعْضًا
Artinya: “Sesungguhnya antara seseorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lainnya.” (HR. Bukhari Muslim).
Maksud dari hadis di atas adalah, umat satu dengan umat lainnya adalah saling tolong menolong ketika sedang mengalami kesulitan dan bahu membahu dalam hal kebaikan.
Dalam hadis lain juga menerangkan, Rasulullah SAW. bersabda:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيْدَ عَنْ أَبِى الخَيْرِعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنْهُمَا أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الاِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِف
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Yazid dari Abu Al Khair dari Abdullah bin ‘Amru; Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW., “Islam manakah yang paling baik?” Nabi SAW., menjawab: “Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”. (H.R. Bukhari).
Metode tafsir tahlili
Penafsiran al-Quran dengan metode tahlili berarti penafsiran ayat-ayat Al-Quran dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yangditafsirkan, disertai penerangan makna-makna yang tercakup di dalamnya. Penerangan makna-makna tersebut bersesuaian dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkannya. Dalam prakteknya, mufassir biasanya menguraikan makna ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan urutan yang terdapat di dalam mushaf Utsmani.
Muhammad Baqir as-Shadr (dalam Hamid, 1997:32) menyebut tafsir metode tahlili dengan tafsir tajzi’ie yang secara harfiah berarti tafsir yang penguraiannya berdasarkan bagian-bagian parsial.
Tafsir metode tahlili adalah penafsiran ayat al-quran dari segala seginya dengan mngikuti urutan mushaf dengan meneliti arti mufradat-nya, kandungan makna, dan tujuan pembicaraannya di dalam tiap-tiap susunan katanya, munasabat antar ayat-ayatnya menggunakan bantuan asbab al-nuzul, sunnah Rasul, aqwal sahabat dan tabi’in. kemudian diolah sesuai dengan kepandaian dan keahlian para mufassir dalam bidangnya masing-masing. Tafsir yang ditulis pada masa klasik pada umumnya menggunakan metode tahlili.
Tafsir dengan metode tahlili adalah tafsir yang berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dari berbagai segi, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat atau surah (munasabah), sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan, pendapat para mufassir terdahulu dan pendapat mufassir sendiri.
Metode tahlili banyak dipergunakan oleh ulama klasik, akan tetapi di antaramereka ada yang mengemukakan semua hal di atas secara panjang lebar (ithnab), seperti al-Alusy, al-Fakhr al-Razy, al-Qurthuby, dan al-Thabary, ada juga yang mengemukakannya dengan singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din al-Suyuthy, Jalal al-Dinal-Mahally dan as-Sayid Muhammad Farid Wajdy, dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (mutawassith), tidak ithnab dan tidak pula ijaz, seperti Imam al-Baidlawy, Syaikh Muhammad ‘Abduh, al-Naisabury dll. Sekalipun mereka sama-sama menafsirkan al-Quran dengan metode tahlili, akan tetapi corak atau warna tahlili masing-masing berbeda. Ada beberapa corak dari tafsir tahlili yaitu: tafsir fiqhy, tafsir shufy, tafsir falsafy, tafsir ’ilmy dan tafsir adaby-ijtima’iy.
Ciri-ciri Tafsir Tahlili
Untuk mengetahui ciri-ciri tafsir metode tahlili, diantaranya adalah dengan memperhatikan kitab-kitab tafsir tahlili, baik yang berbentuk ma’tsur maupun ra’y. Kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk ma’tsur di antaranya: Jami’ al-Bayan ‘anTa’wil Ayi Al-Quran(Ibn Jarir al-Thabari), Ma’alim al-Tanzil (al-Baghawi), Tafsir Al-Quranal-‘Azhim (Ibn Katsir), dan Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur (as-Suyuthi). Adapun kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk ra’y di antaranya:Tafsir al-Khazin (al-Khazin), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (al-Baidhawy), al-Kasysyaf (al-Zamakhsyari), Tafsir al-Manar (Muhammad Abduh dan MuhammadRasyid Ridha).
Dari beberapa kitab tersebut, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri tafsir metode tahlili di antaranya:
1. Mengemukakan korelasi (munasabah) antarayat maupun antarsurat (sebelum maupun sesudahnya).
2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.
3. Menganalisis mufradat dan lafadz dengan sudut pandang linguistic.
4. Memaparkan kandungan ayat beserta maksudnya secara umum.
5. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat yang ditafsirkan, baik yang berkaitan dengan hukum fiqh, tauhid, akhlak, atau hal lain.
Dengan demikian, tampak bahwa penafsiran al-Quran metode tahlili merupakanmerupakan penafsiran yang bersifat luas dan menyeluruh (komprehensif). Dan juga dapat dimengerti, bahwa ciri paling inti dari tafsir metode tahlili bukan pada penafsiran Al-Quran dari awal mushaf sampai akhir, melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya.
Kelebihan dan kekurangan Tafsir Metode Tahlili
Sebagaimana metode-metode yang ada lainnya, metode tahlili tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari tafsir metode tahlili di antaranya:
Mempunyai ruang lingkup yang luas.
Sebagaimana telah disebutkan di muka, tafsir metode tahlili memungkinkan mufassir membawanya ke dalam dua bentuk: ma’tsur dan ra’y. Bentuk ra’y sendiri masih dapat dikembangkan menjadi berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian dan kecederungan (kejiwaan) mufassirnya.
Dengan keluasan ruang lingkupnya,metode tahlili dapat menampung berbagai ide dan gagasan dalam upaya penafsiranAl-Quran.
Memuat berbagai ide dan gagasan karena keluasan ruang lingkupnya,
Mufassir pun relatif mempunyai kebebasan dalam mengajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru. Sehingga dapat dipastikan, pesatnya perkembangan tafsir metode tahlili disebabkan oleh kebebasan tersebut. Selain mempunyai kelebihan, metode tahlili tak luput dari kekurangan.
Adapun kekurangan dari metode tahlili di antaranya:
Menyebabkan petunjuk Al-Quran (tampak) parsial
Metode tahlili memungkinkan mufassir memberi penafsiran yang berbeda padasatu ayat dengan ayat lain yang serupa. Hal ini disebabkan oleh kurangnya perhatian terhadap ayat-ayat atau lafadz-lafadz yang serupa. Dalam metode tahlili juga terdapatunsur ke tidak konsistenan mufassir. Meski demikian, ke tidak konsistenan ini merupakan konsekuensi logis dari penafsiran metode tahlili, karena dalam metode ini,mufassir tidak dibebani keharusan untuk mengomparasikan ayat dengan ayat.
Melahirkan penafsiran subyektif
Keluasan ruang lingkup metode tahlili, selain merupakan kelebihan, juga merupakan kelemahan mufassir dalam menafsirkan Al-Quran secara subyektif. Terbukanya pintu penafsiran yang lebar pada metode ini terkadang menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa nafsu dengan mengesampingkan kaidah-kaidah yang berlaku. Akibatnya, penafsiran menjadi kurang tepat, dan maksud ayat pun menjadi berubah. Sikap subyektif pada penafsiran metode tahlili mencapai dominasinya terutama pada bentuk tafsir ra’y. Umumnya, sikap subyektif tersebut berangkat darifanatisme madzhab secara berlebihan. Kuatnya dominasi penafsiran yang lain. Kondisi demikian akhirnya membuat metode ini dirasa kurang representatif dari sudut pandang objektivitas dan signifikansi keilmuan.
Membuka pintu masuk pemikiran Israiliyyat
Masuknya orang-orang Yahudi ke dalam lingkungan Islam, berandil besar dalam tersebar luasnya Israiliyyat beserta pengaruhnya di kalangan umat Islam, tak terkecuali di kalangan mufassir. Kaitannya dengan tafsir metode tahlili, keluasanruang lingkup metode tahlili berimbas pada keleluasaan mufassir dalam mengajukan ide, gagasan, dan pemikiran tak terkecuali pemikiran Israiliyyat. Sebenarnya tidak ada masalah dengan Israiliyyat sepanjang keberadaannya tidak dikaitkan dengan upaya pemahaman Al-Quran (penafsiran). Tapi bila terjalin hubungan antara Israiliyyat dengan penafsiran Al-Quran, terbentuklah opini tunggal: kisah Israiliiyat tersebut merupakan petunjuk Allah. Padahal, belum tentu ada kecocokan antara kisah Israiliyyat tersebut dengan maksud Allah.Pemikir Aljazair kontemporer, Malik bin Nabi menilai bahwa upaya para ulama menafsirkan Al-Quran dengan metode tahlili itu, tidak lain kecuali dalam rangkaupaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukjizatanAl-Qur’an.
Namun, sebenarnya kemukjizatan Al-Quran itu tidak ditujukan kepada ummat Islam, melainkan kepada mereka yang tidak percaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperlihatkan rumusan definisi mukjizat dimana terkandung di dalamnyaunsur tahaddiy (tantangan), sedangkan orang muslim tidak perlu ditantang karena telah menerima. Bukti kedua dapat dilihat dari teks ayat-ayat yang berbicara tentang keluarbiasaan Al-Quran yang dimulai dengan kalimat “
Inkuntum fi raib” atau“ Inkuntum shadiqin”.
Kalau tujuan penggunaan metode tahlili seperti yang diungkapkan Malik di atas,maka untuk masyarakat muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagimerupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini, pengembangan metode penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Baqir Al-Sadr –Ulama Syi’ah Iraq– yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan parsial serta kontradiksi dalam kehidupan umat Islam. Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode Tafsir Bi ar-Ra’yidengan cara tahlili ini tidak mampu menjawab tuntas persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak mampu memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektifitas mufassirnya.
Urgensi Metode Tahlili
Meskipun mengandung kekurangan, keberadaan metode tahlili harus diakui telah memberikan sumbangan besar bagi pelestarian dan pengembangan khazanah intelektual Islam, khususnya di bidang tafsir Al-Quran.
Berdasarkan fakta yang ada,metode ini telah melahirkan karya-karya besar dan monumental. Sehingga, urgensitas metode ini harus diakui. Karena metode tahlili menjelaskan kandungan Al-Quran dari berbagai segi, dapat dikatakan, metode tahlili lebih dapat diandalkan jika tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang luas (pemahaman dalam berbagai aspek) terhadap kandungan Al-Quran. Dengan kata lain, urgensi metode tahlili terletak pada keberadaannya yang mampu memberi pemahaman lebih luas (berbagai aspek) dibanding dengan metode tafsir yan lain.
Tafsir
Tafsir Q.S At-Taubah Ayat 60
Ayat ini turun ketika orang-orang munafik yang bodoh itu mencela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang pembagian zakat, kemudian Allah menjelaskan bahwa Allah-lah yang mengatur pembagian zakat tersebut dan tidak mewakilkan hak pembagian itu kepada selain-Nya, tidak ada campur tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah membaginya hanya untuk mereka yang disebutkan dalam ayat tersebut.
الصَّدَقَاتُ إِنَّمَا maksud dari ayat ini adalah zakat-zakat yang wajib, berbeda dengan sadaqah mustahabah yang bebas diberikan kepada semua orang tanpa ada pengkhususan.
Para ulama’ berbeda pendapat berkaitan dengan delapan kelompok ini, apakah pembagian zakat harus meliputi semuanya, atau sebatas yang memungkinkan. Dalam hal ini terdapat dua pendapat :
Pertama, harus meliputi semuanya. Ini adalah pendapat Imam As-Syafi’I dan sekelompok ulama’.
Kedua, tidak harus semuanya. Harta zakat boleh diberikan kepada satu kelompok saja, meskipun terdapat kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama’ salaf dan khalaf, di antaranya, Umar, Hudzaifah, Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Said bin Zubair dan Mimun bin Mihran. Ibnu Jabir berkata, “Ini adalah pendapat sebagian besar ulama’.
Penyebutan kelompok-kelompok dalam ayat tersebut adalah untuk menjelaskan mereka yang berhak, bukan karena keharusan memenuhi semuanya.
Masharif Zakat
Pertama dan kedua, وَالْمَسَاكِين لِلْفُقَرَاءِ
Pada dasarnya kedua keadaan tersebut adalah sama dan sejenis, akan tetapi fakir keadaannya lebih memprihatinkan dari pada miskin, sehingganya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan fakir lebih dahulu dari pada miskin dalam ayat tersebut. Di bawah ini kami akan sebutkan beberapa perbedaan dan pengertian antara fakir dan miskin. Imam Abu Ja’far berkata : Zakat hanyalah untuk orang fakir dan miskin. Para ulama’ berselisih pendapat mengenai siapakah yang disebut dengan orang fakir dan miskin itu :
Waqi, Ibnu Jarir, As’as dan Hasan berpendapat, “Bahwasanya yang disebut dengan fakir ialah orang yang tidak punya apa-apa sedangkan ia hanya berpangku tangan dirumahnya, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya tetapi ia masih berusaha untuk mencukupi kehidupannya”.
Mujahid, “Fakir ialah orang tidak punya tetapi ia tidak minta-minta, sedangkan miskin ialah orang tidak punya dan ia meminta-minta.
Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.
Fakir ialah orang yang tidak mendapatkan apa-apa, atau hanya mendapatkan sebagian kecil dari kebutuhannya.
Miskin ialah seseorang yang mendapatkan atau bisa memenuhi sebagian besar dari kebutuhannya, namun tidak mencukupi secara keseluruhan. Jika ia dapat mencukupi secara kesuluruhan maka ia bisa dikatakan sebagai orang yang kaya.
Ketiga, . اَلْعَا مِلِيْنَ
Masharif zakat yang ketiga adalah amil zakat, yaitu orang bertugas mengelola atau mengambil zakat dari orang-orang yang berhak mengeluarkan zakat kemudian membagikannya kepada orang yang berhak pula. Mereka berhak mendapatkan bagian zakat. Seorang Amil tidak boleh dari kerabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka tidak berhak menerima zakat berdasarkan hadits shahih dari yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdul Muthalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwa ia dan Fadl bin Abbas memohon kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “ Sesunguhnya zakat itu tidak dihalalkan bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan keluarganya. Sesungguhnya zakat itu adalah kotoran (harta) manusia.”
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai kadar yang diberikan kepada amil zakat :
Dlohak ia berpendapat bahwasanya amil zakat mendapatkan seperdelapan dari zakat.
Yunus, Ibnu Wahab dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa seorang amil mendapatkan sesuai dengan kadar apa yang dikerjakannya. Adapun pendapat yang paling shahih dan mendekati kebenaran menurut Ibnu Jarir dalam kitabnya Jami’ul Bayan adalah pendapat yang kedua, yaitu seorang amil diberikan zakat sesuai dengan kadar apa yang telah diperbuatnya.
Keempat, قُلُوبُهُمْ الْمُؤَلَّفَةِ
Yaitu orang-orang yang perlu dilunakkan hatinya kepada Islam, supaya mereka memberikan sumbangsinya kepada Islam, atau Rais kaum yang baru masuk Islam dan dia diberikan zakat supaya mereka menegetahui bahwasanya agama Islam adalah agama yang benar dan shalih, dan supaya bertambah keimanannya. Diantara mereka yang dilunakkan hatinya pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Sufyan bin Harb, Uyainah bin Badr dan Aqra’ bin Habis.
Mereka ada tiga golongan :
Yang dilunakkan hatinya supaya masuk Islam.
Mereka yang masih lemah keislamannya atau lmannya.
Mereka yang diberi zakat untuk mencegah kejelekan yang mereka timbulkan buat kaum mukminin.
Kelima, قَابِ لرِّا
Yaitu budak-budak yang sedang dalam proses memerdekakan diri, atau membeli diri mereka dari majikannya. Mereka dimerdekakan dan dibantu dengan harta zakat. Diriwaytakan dari Hasan al-Bashri ,Muqatil bin Hayyan, Umar bin Abdul Aziz, Said bin Zubar an-Nakha’I, az-Zuhri dan Ibnu Zaid bahwa yang dimaksud dengan riqab adalah “al-Mukatib” yaitu hamba sahaya yang mengadakan perjanjian bebas.
Keenam, َالْغَارِمِين
Yaitu orang yang terlilit utang tetapi bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian ia tidak bisa melunasi hutangnya tersebut. Mujahid berkata, “AlGharimin ialah orang yang terbakar rumahnya, kemudian ia berhutang untuk membangun kembali rumahnya.” Wajib bagi seorang Imam memerinya harta atau zakat dari Baitul Mal.
Dalam keadaan ini ada dua golongan :
Berhutang untuk kebaikan orang yang berselisih sehinga diberi sesuai dengan kadar utangnya.
Berutang untuk pribadi, yakni menanggung banyak utang tapi tidak mampu membayarnya.
Orang yang mempunyai tanggungan denda atu hutang yang harus dipenuhi, sedangkan untuk memenuhinya ia harus menguras harta kekayaannya atau ia harus berhutang kepada orang lain, atau berhutang dan melakukan kemaksiatan lalu ia bertaubat. Maka orang yang seperti ini diberi zakat.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari bu Sai’d Al-Khudri ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada seseorang yang menderita banyak kerugian karena buah-buahan yang barui saja dibelinya terkena hama, hingga hutangnya menumpuk. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bersedekahlah kepadanya,” maka orang-orangpun bersadaqah kepadanya, akan tetapi tidak mencukupi untuk melunasi hutangnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para piutang tersebut, “Ambillah apa yang kalian dapati, hanya itu saja bagaian yang kalian dapatkan. (HR. Muslim).
Ketujuh, للَّه ا سَبِيلِ وَفِي
Para ulama’ berselisih pendapat mengenai pengertian fi sabilillah dalam ayat tersebut :
Abu Yusuf berkata, “Yang dimaksud adalah orang yang berjihad atau di dalam peperangan (mujahidin) yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dan melawan musuh-musuh-Nya.”
Muhammad, “Orang yang berhaji.”
Sebagian ulama’ berpendapat mereka adalah orang yang sedang menuntut ilmu.
Adapun yang paling mendekati kebenaran adalah setiap orang yang berusaha untuk taat kepada Allah dan orang-orang yang berada di jalan kebenaran. Wallahu ‘alam bi Shawab.
Kedelapan, السَّبِيلِ وَاِبْنِ
Ialah seorang musafir di suatu negeri yang bekalnya tidak mencukupi untuk dipakai pulang ke negerinya meskipun ia orang kaya, maka ia diberi bagian zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu pula dengan orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka ia diberi dari bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Namun ia tidak diperbolehkan mengambil lebih dari kebutuhannya.
فَرِيضَةً مِن اللَّهِ Maksudnya ialah pembagian ini adalah langsung dari Allah SWT yang diwajibkan kepada orang yang mempunyai harta dari orang muslimin. Allah maha mengetahui kemaslahatan makhluknya terhadap apa saja yang diwajibkan kepada mereka. Tidak ada sesuatu apapun yang samar bagi-Nya. Tidak mungkin Allah SWT mewajibkan zakat pada kaum muslimin melainkan ada maslahat didalamnya. Dialah Maha Bijaksana yang mengatur segala sesuatu.
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Dari kedelapan masharif zakat tersebut, bisa disimpulkan dalam dua hal :
Orang yang diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya.
Orang yang diberi zakat dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi Islam dan muslimin.
Surah Al Baqarah Ayat 261
Tafsir Ayat:
Ini merupakan anjuran yang agung dari Allah untuk hamba-hambaNya untuk menafkahkan harta mereka di jalan-Nya, yaitu jalan yang menyampaikannya kepada-Nya. Termasuk dalam hal ini adalah menafkahkan hartanya dalam meningkatkan ilmu yang bermanfaat, dalam mengadakan persiapan berjihad di jalan-Nya, dalam mempersiapkan para tentara maupun membekali mereka, dan dalam segala macam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kaum muslimin. Kemudian disusul berinfak kepada orang-orang yang membutuhkan, fakir miskin, dan kemungkinan saja dua cara itu dapat disatukan hingga menjadi nafkah untuk menolong orang-orang yang membutuhkan dan sekaligus bakti sosial dan ketaatan.
Nafkah-nafkah seperti ini akan dilipat gandakan. Kelipatan ini dengan tujuh ratus kali lipat hingga berlipat ganda banyaknya lagi dari itu. Karena itu Allah berfirman, (يَشَآءُ لِمَن يُضَاعِفُ وَاللهُ) “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki”. Itu tentunya sesuai dengan apa yang ada dalam hati orang yang berinfak tersebut dari keimanan dan keikhlasan yang tulus, dan juga sesuai dengan kebaikan dan manfaat yang dihasilkan dari infaknya tersebut, karena beberapa jalan kebajikan dengan berinfak padanya akan mengakibatkan manfaat-manfaat yang terus menerus dan kemas-lahatan yang bermacam-macam, maka balasan itu tentunya sesuai dengan jenis perbuatannya.
Faidah Ayat:
1. Pemberian permisalan, yang mana hal tersebut adalah penyerupaan terhadap apa yang di pahami akal dengan sesuatu yang nampak, karena hal tersebut lebih mendekatkan kepada pemahaman.
2. Bahwa al-Qur-an mempunyai tata bahasa dan kefasihan yang sangat tinggi, dan kefasihan adalah kefasihan makna dan penjelasan, sedangkan memberikan permisalan adalah merupakan bentuk kefasihan dan penjelasan yang lebih baik, Allah Ta’ala berfirman: (الْعَالِمُونَ وَمَايَعْقِلُهَآإِلاَ لِلنَّاسِ نَضْرِبُهَا لأَمْثَالُا وَتِلْكَ) : “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu. (QS. Al-Ankabut :43)
3. Keutamaan berimfaq di jalan Allah Ta’ala, karena apa yang di infaqkan tersebut tumbuh menjadi berlipat ganda, (seperti) satu biji (tanaman) menjadi tujuh ratus biji.
4. Ayat ini mengisyaratkan kepada keikhlas kepada Allah dalam beramal, ini berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala: (اللهِ سَبِيلِ فِي) : “Di jalan Allah”, di maksudkan dengan mengharapkan wajah Allah Ta’ala.
5. Ayat ini juga mengisyaratkan agar amal yang di lakukan sesuai dengan aturan syari’at, ini di tunjukan oleh firman Allah Ta’ala: (اللهِ سَبِيلِ فِي) : “Di jalan Allah” , kata jalan di sisni bermakna syari’at, jadi makana ayat adalah bahwa infaq yang di keluarkan tidak keluar dari syari’at Allah, dan infaq yang sesuai dengan syari’at adalah seperti apa yang di firmankan allah Ta’ala: ( أنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُواوَكَا نَ بَيْن ذَ إِذا لِكَ قَوَا مًاينَ وَالَّذِ) : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” . (QS. Al-Furqan :67)
Makna infaq dalam syari’at Allah Ta’ala harus (terpenuhi dua syarat yang pertama -red) ikhlas untuk Allah ‘Azza wa jalla, dan (yang kedua-red) mengikuti syari’atNya, barangsiapa yang berniat dengan infaqnya itu selain Allah, maka dia bukan berinfaq di jalan Allah, seperti orang yang riya, yaitu seorang yang menginfaqkan hartanya untuk jihad di jalan Allah, atau seorang yang menginfaqkan hartanya sebagai shadaqah kepada orang-orang miskin, dan amal shaleh lainnya, namun dari infaq yang ia infaqkan tersebut ia ingin dikatakan sebagai orang yang dermawan, maka ini semua tidak terhitung di jalan Allah Ta’ala, karena orang yang berbuat riya tidak bermaksud dengan infaqnya tersebut wajah Allah Ta’ala, maka sesungguhnya ia tidak menginginkan jalan yang mengantarkannya kepada Allah Ta’ala, dan ia tidak memperdulikan apakah infaqnya di terima oleh Allah Ta’ala atau tidak, yang penting baginya adalah dia disanjung dan di katakan oleh manusia bahwa dia orang yang dermawan, dan penyantun.
Adapun syarat yang kedua (mengikuti syari’at/sesuai tuntunan syari’at), maka dari syarat ini, jika seseorang berinfaq di jalan yang tidak di ridhai Allah Ta’ala (tidak sesuai tuntunan syari’at-red), maka hal tersebut bukan di jalan AllahTa’ala walaupun ia ikhlas dalam berinfaq, seperti seseorang yang berinfaq terhadap hal yang tidak di perbolehkan di dalam agama (bid’ah), yang mana dia mengharapkan dari infaqnya tersebut wajah Allah Ta’ala, hal ini banyak kita temukan, seperti membangun tempat beribadah bagi orang sufi yang menyimpang, atau bagi perayaan maulidan, atau menerbitkan buku yang mengajarkan kebid’ahan (ajaran baru yang tidak ada contohnya dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ), ini semua bisa jadi mereka lakukan dengan niat mangharapkan wajah Allah Ta’ala, akan tetapi di karenakan hal tersebut tidak sesuai dengan syari’at maka apa yang mereka lakukan tersebut bukan di jalan Allah Ta’ala.
6. Penetapan hak kepemilikan bagi manusia, ini berdasarka firman Allah Ta’ala: (أَمْوَالَهُمْ): “Harta mereka”, karena penyandaran tersebut menunjukan kepada kepemilikan.
7. Balasan pahala dari Allah jauh lebih besar dari pada amal perbuatan yang di lakukan si pelaku, karena jika Allah membalas perbuatan dengan balasan sesuai dengan apa yang di lakukan maka tentunya balasan yang di dapat sama dengan amal perbuatan tersebut, akan tetapi Allah membalasnya dengan melebihkan dari kadar amal tersebut, maka jadi lah satu biji menjadi tujuh ratus biji, bahkan lebih dari itu, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: (عَلِيمٌ وَاسِعٌ وَاللهُ يَشَآءُ لِمَن يُضَاعِفُ وَاللهُ) : “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui”.
8. Penetapan “sifat perbuatan/ sifat amal” bagi Allah yang mana ini sesuai dengan kehendak Allah, ini berdasarkan kepada firman Allah Ta’ala: (يُضَاعِفُ): “Allah melipat gandakan (ganjaran)”, kata “melipat gandakan” adalah perbuatan.
9. Penetapan keinginan bagi Allah, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: (يَشَآءُ لِمَن) : “Kepada siapa yang di kehendakinya” , akan tetapi apakah keinginan yang di maksudkan di sini adalah keiginan murni tanpa ada sebab, ataukah keinginan yang mempunyai sebab yang terdapat padanya kemaslahatan atau hikmah? Maka jawabannya adalah bahwasanya keinginan di sini adalah keinginan yang mempunyai sebab yang terdapat padanya kemaslahatan atau hikmah, maka jadikanlah ini sebagai sebuah qiyas, yaitu setiap apa yang saja yang Allah kaitkan dengan keinginanNya maka padanya terdapat hikmah, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: (حَكِيمًا عَلِيمًا كَانَ اللهَ إِنَّ اللهُ يَشَآءَ أَن إِلآ وَمَاتَشَآءُونَ) : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Insan: 30)
10. Bahwasanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap citaannya, dan tidak seorangpun yang ikut campur padanya, ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala (يَشَآءُ لِمَن يُضَاعِفُ) : “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki”.
c. Surat Al-Baqarah ayat 215
Maksud terjemah ini ayat :
Maksudnya, mereka bertanya kepadamu tentang nafkah, dan ini mencakup pertanyaan tentang apa yang diinfakkan dan siapa yang akan diberikan infak. Allah menjawab mereka tentang hal itu maka firmanNya, خَيْرٍ مِّن مَآأَنفَقْتُم قُلْ “Apa saja harta yang kamu nafkahkan”, artinya, harta yang sedikit atau banyak maka orang yang paling utama menerima harta itu dan yang paling berhak untuk di dahulukan serta paling besar hak mereka atasmu adalah kedua orang tua yang diwajibkan atasmu berbakti kepadanya dan haram bagimu dari durhaka kepadanya. Di antara cara berbakti paling agung kepada mereka adalah memberi nafkah kepada keduanya dan di antara kedurhakaan yang paling besar adalah meninggalkan nafkah bagi keduanya. Karena itu, memberi nafkah kepada keduanya adalah wajib atas seorang anak yang berada dalam kondisi lapang. Setelah kedua orang tua adalah sanak keluarga menurut tingkatannya, yang terdekat lalu yang lebih dekat menurut kedekatannya dan kebutuhannya. Karena memberi nafkah kepada mereka adalah sebuah sedekah dan silaturrahim.
وَالْيَتَامَى “Dan anak-anak yatim”. Mereka adalah anak-anak kecil yang tidak memiliki orang yang menafkahi mereka, sehingga mereka adalah orang-orang yang biasanya sangat membutuhkan, mereka tidak mampu mengurusi kemaslahatan diri mereka sendiri dan tidak ada orang yang mencari nafkah untuk mereka. Allah mewasiatkan mereka kepada hamba-hambaNya sebagai kasih sayang dariNya kepada mereka dan kemurahanNya.
وَالْمَسَاكِينِ “Dan orang-orang miskin” mereka itu adalah orang-orang yang membutuhkan dan terdesak, yang dililit kekurangan, maka mereka itu diberi nafkah demi menutupi kebutuhan mereka dan mencukupkan mereka, السَّبِيلِ وَابْنَ “dan orang yang berada dalam perjalanan”, yaitu orang asing yang kehabisan bekal di negeri asing, dia diberi pertolongan untuk melanjutkan perjalanannya dengan memberikan nafkah agar sampai kepada tujuannya.
Ketika Allah mengkhususkan mereka yang telah disebutkan dalam ayat itu karena kebutuhan mereka yang sangat mendesak, maka Allah menyebutkan secara umum seraya berfirman, خَيْرٍ مِنْ تَفْعَلُوا وَمَا “Dan kebaikan apa saja yang kamu buat”, seperti bersedekah terhadap atau selain mereka, bahkan segala bentuk ketaatan dan pendekatan diri, karena itu termasuk dalam kategori kebaikan, عَلِيمُ بِهِ اللهَ فَإِنَّ “maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya”. Maka Allah membalasnya buat kalian dan menjaganya untuk kalian, sesuai dengan niat dan keikhlasannya, banyak dan sedikitnya nafkah yang diberikan, kebutuhan yang mendesak terhadapnya dan besarnya manfaat dan gunanya.
Sebab Turunya Ayat:
Amr’ bin Jamuuh (beliau adalah orang yang kaya dari kalangan sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apa yang harus di infakkan dan kepada siapa menghinfakkannya?, maka turunlah ayat tersebut diatas. Sebagai jawaban atas pertanyaannya tersebut. Dijelaskan bahwa yang di infakkan adalah harta, dan semua hal yang berupa materi (al-khairaat). Dan orang yang paling berhak menerima infak adalah :
Kedua orang tua, berdasarkan hadist rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : ketika menjelaskan tentang orang yang paling berhak mendapatkan infak, beliau bersabda, “Ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, setelah itu orang-orang yang lebih dekat (dalam hubungan kekerabatan).” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizdi, dan al-Hakim).
Para kerabat,
Anak-anak yatim,
Orang-orang miskin,
Dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang kehabisan bekal).
Pelajaran dari Ayat:
Dianjurkannya bertanya bagi siapa yang tidak tahu, sehingga ia menjadi tahu. Dan ini juga merupakan salah satu cara untuk mendapatkan ilmu, sehingga para ulama salaf berkata, “Bertanya adalah separoh ilmu”.
Seutama-utama infak adalah kepada yang tersebut dalam ayat. Diriwayatkan ketika Maimun bin Mahran membaca ayat ini, maka beliau berkata, “Inilah tempat penyaluran infak. Tidak disebutkan didalam ayat itu, rebana, seruling, patung kayu, dan tirai dinding (barang yang haram dan sia-sia. Pent.)”. Apabila yang berinfak adalah orang yang kaya dan mereka fuqara dan membutuhkan.
Anjuran untuk selalu berbuat kebaikan, dan iming-iming pahala yang akan diberikan kepada mereka.
Adanya larangan untuk menyalurkan harta kepada hal-hal yang diharamkan dan perbuatan sia-sia.
Kesimpulan
Di dalam masyarakat Islam terdapat suatu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi.
Sedekah memiliki peran yang sangat signifikan di dalam masyarakat islam. Dan ini bukan hanya sekedar pemberian sukarela kepada orang lain namun merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam masyarakat islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat islam.
Tafsir metode tahlili adalah penafsiran ayat al-quran dari segala seginya dengan mngikuti urutan mushaf dengan meneliti arti mufradat-nya, kandungan makna, dan tujuan pembicaraannya di dalam tiap-tiap susunan katanya, munasabat antar ayat-ayatnya menggunakan bantuan asbab al-nuzul, sunnah Rasul, aqwal sahabat dan tabi’in. kemudian diolah sesuai dengan kepandaian dan keahlian para mufassir dalam bidangnya masing-masing. Tafsir yang ditulis pada masa klasik pada umumnya menggunakan metode tahlili.
Dari beberapa kitab tersebut, dapat disebutkan bahwa ciri-ciri tafsir metode tahlili di antaranya:
1. Mengemukakan korelasi (munasabah) antarayat maupun antarsurat (sebelum maupun sesudahnya).
2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat.
3. Menganalisis mufradat dan lafadz dengan sudut pandang linguistic.
4. Memaparkan kandungan ayat beserta maksudnya secara umum.
5. Menjelaskan hal-hal yang bisa disimpulkan dari ayat yang ditafsirkan, baik yang berkaitan dengan hukum fiqh, tauhid, akhlak, atau hal lain.
Kelebihan tafsir tahlili, yaitu Memiliki ruang lingkup yang luas dan Memuat berbagai ide dan gagasan karena keluasan ruang lingkupnya, sedangkan kekurangannya yaitu Melahirkan penafsiran subyektif, Menyebabkan petunjuk Al-Quran (tampak) parsial, Membuka pintu masuk pemikiran Israiliyyat.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Ahmad Izzan, M. Ag. dan Syahri Tanjung, S. Ag. 2006. Referensi Ekonomi Syariah Ayat-ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Nurul Huda, Handi Risza, dkk. 2008. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Jakarta: Prenadamedia Group.
Mukhtar, Naqiyah. 2013. Ulumul Quran. Purwokerto: STAIN Press.
HYPERLINK "http://wanitagelaskaca.blogspot.co.id/2014/03/ekonomi-makro-islam-pendapatannasional.html" http://wanitagelaskaca.blogspot.co.id/2014/03/ekonomi-makro-islam-pendapatannasional.html
HYPERLINK "https://www.scribd.com/doc/24854461/Tafsir-Tahlili" https://www.scribd.com/doc/24854461/Tafsir-Tahlili
HYPERLINK "https://vhocket.wordpress.com/2017/01/26/pendapatan-nasional/" https://vhocket.wordpress.com/2017/01/26/pendapatan-nasional/.
HYPERLINK "http://www.alsofwa.com/14885/113-quran-surat-al-baqarah-215.html" http://www.alsofwa.com/14885/113-quran-surat-al-baqarah-215.html
HYPERLINK "http://www.alsofwa.com/19240/tafsir-surat-al-baqarah--ayat-261-262.html" http://www.alsofwa.com/19240/tafsir-surat-al-baqarah--ayat-261-262.html
HYPERLINK "https://www.google.com/search?hlin-ID&ieUTF-8&source-android-browser&qtafsir+suratbat+taubah+ayat+60" https://www.google.com/search?hlin-ID&ieUTF-8&source-android-browser&qtafsir+suratbat+taubah+ayat+60
Komentar
Posting Komentar