KONSEP ZAKAT DALAM PERSPEKTIF TAFSIR HADITS MAUDHU'I



Nama : Mei Karsiti
NIM : 1617202106
Fak/Prodi : FEBI / 4 Ps C
Mata Kuliah : Tafsir Hadits Ekonomi Makro

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Terdapat  beberapa perintah Allah untuk hamba-Nya di dalam Al-Quran yang disebutkan secara berulang-ulang. Di antara perintah itu setidaknya ada tiga amalan yang berhubungan dengan sesama makhluk (hablumminannaas) yang Allah wajibkan setelah amalan kepada-Nya (habbluminnallah) tertunaikan. Dalam hal ini menarik untuk disimak adalah kalimat yang digunakan dalam firman-Nya yang menggunakan kalimat majemuk setara. Ketiganya adalah beriman dan beramal shalih; tidak menyekutukan Allah dan berbuat baik kepada kedua orangtua; serta dirikan shalat dan tunaikan zakat.

Di dalam Al-Quran, Surat Al-Muzammil: 20, terdapat penggalan ayat yang berbunyi:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat”.



Allah SWT menerangkan zakat beriringan dengan shalat menunjukan bahwa zakat dan shalat mempunyai hubungan yang rapat sekali dalam hal keutamaannya. Shalat dipandang seutama-utama ibadah badaniyah, sedangkan zakat dipandang seutama-utama ibadah maliyah.

Zakat adalah bagian dari rukun Islam selain syahadat, shalat, shaum, dan haji. Setiap muslim pasti terikat dengan kewajiban untuk menunaikannya. Zakat menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya Syariat Islam. Maka semestinya zakat adalah istilah yang begitu akrab di kalangan umat Islam, mengingat setiap tahun minimal ibadah ini wajib ditunaikan dalam bentuk zakat fitrah di bulan Ramadhan. Rasulullah Muhammad saw bersabda:


عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْس شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Dari Ibnu Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda, Islam dibangun di atas lima dasar: bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, dan puasa Ramadhan’. (HR. Bukhari No. 8 dalam Kitabul Iman, dan HR. Muslim No. 16 dalam Kitabul Iman Bab Bayan Arkanil Islam)[1]

Menunaikan zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim sebagai penyuci harta mereka, yaitu bagi mereka, yaitu bagi yang mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta masa  haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga), atau saat hasil pertaniaan telah tiba.

Zakat diwajibkan dengan tujuan untuk meringankan beban penderitaan kaum dhu’afa fakir miskin atau meliputi oramh-orang yang sengsara dan membantu orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Di samping itu pemberian zakat dapat merekat tali kasih sehingga tidak timbul ketegangan atau gejolak di tengah-tengah masyarakat yang sering terjadi di antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin.

Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi: vertikal (ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah) dan horizontal (sebagai kewajiban kepada sesama manusia). Melalui makalah ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan zakat yang didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an al-Karim[2]

Pengkajian sebuah surat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh memang akan menghasilkan penafsiran yang memuaskan, apalagi di dalamnya dijelaskan misinya secara umum dan khusus, serta keterkaitan antara tema-tema yang ada sehingga akan nampak keseragamannya. Ulama yang menempuh metode penafsiran maudhu’i seperti ini diantaranya adalah Al-Alamah, Al-Fakr Razi yang amat berjasa dalam memulai penafsiran secara maudhu’i ini. Metode ini juga digunakan oleh DR. Muhammad Mahmud hijazi dalam Tafsir al-Wadhih, di dalam al-Muwafaqot, As-Syatibhi juga menulis sebuah kajian menarik tentang persoalan metode maudhu’i ini. Beliau berkata: “satu surat, walaupun memiliki hukum dan makna yang berbeda, tetapi sessungguhnya memiliki tujuan yang seragam”.

Dan menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.

Adapun untuk menghimpun seluruh ayat yang berkaitan dengan satu tema besar, dengan mengumpulkan ayat-ayat yang serupa maka digunakanlah metode maudhu’i ini.[3]

Tafsir maudhu’i atau tematik adalah tafsir berperan sangat penting khususnya pada zaman sekarang, karena tafsir maudhu’i dirasa sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dan mampu menjawab permasalahan yang ada. Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al-Qur’an ada berdasar subjek atau topik. Dengan adanya pemaparan di atas, penulis menganggap tafsir tematik adalah topik  yang menarik untuk dibahas, maka dari itu penulis menjadikan tafsir maudhu’i sebagai topik pembahasan dalam makalah ini.



B.     Rumusan Masalah

Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana Pengertian Tafsir Maudhu’I ?

2. Bagaimana Langkah-langakh Tafsir Maudhu’I ?

3. Apa Keistimewaan Tafsir Maudhu’I ?

4. Bagaimana Perbedaan Tafsir Maudhu’I ?



C.    Tujuan Penulisan

1.      Mahasiswa dapat mengerti dan memahami pengertian Metode Tafsir Maudhu’i dalam zakat.

2.      Mahasiswa dapat mengerti ciri-ciri, kekurangan, dan kelebihan  Metode Maudhu’i.

3.      Mahasiswa dapat memahami tahap-tahap analisis menggunakan Metode Maudhu’i.












BAB II

PEMBAHASAAN

A.    Pengertian Tafsir Maudhu’i

Tafsir Maudhu’i adalah menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki satu tujuan, satu topik dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan tertib masa turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasannya, hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat yang lain , dan meng-istinbat-kan hukum-hukumnya.

Selain itu, disebut juga tafsir maudhu’i adalah tafsir yang membahas satu surat al-Qur’an secara menyeluruh dengan memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan menghubungkan antara ayat yang satu dan ayat yang lain, dan atau satu pokok masalah dan pokok masalah yang lain.[4]

Secara etimologi tafsir berarti, menyikap maksud dari suatu lafal yang sulit untuk difahami. Menurut Manna’ Khalil al-Qathan pengertian etimologinya adalah menjelaskan, menyikap dan menerangkan makna yang abstrak.

Sedangkan secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata موضوع  yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع  yang artinya masalah atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Qur’an.

Menurut al-Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif).

Defenisi di atas dapat difahami bahwa sentral dari metode tafsir maudhu’i   adalah menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain dan hal-hal lain yang dapat membantu memahami ayat lalu menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh

B.    Langkah-langkah Tafsir Maudhu’i

Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh musafir. Antara lain, sebagaimana diuangkapkan oleh al-Farmawi berikut ini:

1.      Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunannya. Hal ini di perlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukhah dan sebagainya.

2.      Menelusuri latar belakang turun (asbab nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun – (kalau ada)

3.      Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu, kemudian mengkajinya dari semua aspek yang berkaitan dengannya,seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, pemakaian kata ganti (dhamir) dan sebagainya.

4.      Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan pendapatan  para musafir, baik yang klasik maupun yang kontemporer.

5.      Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar, serta didukung oleh fakta (kalau ada), dan argumen-argumen dari Al-Qur’an, hadits, atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan. Artinya mufasir selalu berusaha menghindarkan diri dari pemikiran-pemikiran yang subjektif. Hal itu dimungkinkan bila ia membiarkan Al-Qur’an membicarakan suatu kasus tanpa diinvervensi oleh pihak-pihak lain diluar Al-Qur’an, termasuk penafsiran sendiri.

Selain tema tafsir tematik yang telah disebutkan di atas, contoh berikut dapat dijadikan perbandingan dalam menerapkan metode ini, khususnya berkenaan dengan sedekah “zakat”.[6]

A.    Zakat

Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh berkembang), al-barakah (anugrah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalahan). Semua makna tersebut telah dipergunakan, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits.[7]

Secara umum, syarat harta yang wajib dizakati adalah:

ü  Harta milik penuh,

ü  Terlepas dari lilitan utang (termasuk kredit) serta merupakan kelebihan dari kebutuhan hidup keluarganya.

ü  Merupakan penghasilan bersih setelah dikurangi biaya-biaya hidup (operasional).

Persyaratan-persyaratan ini berdasarkan petunjuk Rasulullah S.A.W:

لا صدقة إلا عن ظهر غنى.رواه أعمد

tidak ada kewajiban zakat kecuali dari kalangan orang kaya.” (HR Ahmad)[8]

Dalam al-Mu’jam al-Wasith ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘keberkahan’, al-namaa ‘pertumbuhan dan perkembangan’, ath-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shalatu ‘keberesan’. Sedangkan secara istilah zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT wajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.[9]

Lebih lanjut Hafidhuddin mengatakan hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan dengan pengertian menurut istilah, sangat nyata dan erat sekali, bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan beres (baik). Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam surat At-Taubah: 103 dan surat Ar-Ruum: 39.[10]

Kata zakat dan derivasinya dalam Al-Quran Al-Karim disebut pada 27 tempat, di antaranya dalam Surat Maryam: 31 dan Al-Baqarah: 43. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah, sebelum Allah membahas tentang haramnya riba’ (ayat ke 275-279), Allah membahas terlebih dahulu tentang masalah ZIS (Zakat, Infaq, dan Shadaqah),  yaitu dari ayat 261-274. Riba’ dan zakat adalah sesuatu yang sangat berseberangan dan kontradiktif. Riba’ adalah sesuatu yang tidak akan berkembang dan tidak akan memiliki berkah, sedangkan ZIS adalah sesuatu yang akan berkembang dan memberikan berkah. Didampingkannya ayat ZIS dengan riba’ adalah bahwa ZIS bisa membawa umat manusia keluar dari masalah ekonomi seperti kemiskinan. Sedangkan riba’ adalah  penyebab kemiskinan. Sebagaimana dalam Asbabun Nuzul ayat tentang pengharaman riba’ diketahui bahwa hal itu adalah untuk menghentikan praktik riba’ yang bisa memiskinkan orang.

Asal zakat itu adalah tumbuh/berkembang yang dihasilkan dari barakah Allah. Zakat adalah untuk apa-apa yang dikeluarkan sebagai hak Allah  untuk orang faqir. Dinamakan zakat karena mengharap barakah atau mensucikan jiwa, yaitu tumbuh dengan baik dan berkah atau kedua-keduanya karena kebaikan dan berkah ada pada keduanya. Dengan bersih dan sucinya jiwa orang menjadi layak di dunia disifati dengan sifat-sifat terpuji, sedangkan di akhirat ganjaran dan balasan telah menanti.

Syarat zakat adalah Islam. Maka tidak wajib zakat untuk selain orang Islam, karena ini menyangkut ibadah. Zakat sendiri berkaitan erat dengan nishab yang berarti bahwa harta tidak wajib padanya zakat kecuali apabila telah mencapai batas yang ditentukan. Batas yang ditentukan ini dinamakan nishab, dan batasnya berbeda tergantung harta. Selain itu tidak disyaratkan baligh dan berakal untuk wajib zakat, karena zakat adalah ibadah yang terletak pada harta.

B.     Infaq

الإنفاق menurut bahasa berarti melaksanakan dan membelanjakan. Infak menurut istilah menyerahkan harta dan yang lainnya untuk kebaikan.النفقة  adalah apa yang diinfakkan berupa dirham dan yang lainnya.

Kataنفق    dan derivasinya dalam Al-Quran Al-Karim disebut pada 73 tempat. Mereka mengatakan setiap kata infāq dalam al-Quran berarti shadaqah,, kecuali dalam QS. Al-Mumtahanah: 11. Dalam Al-Quran ditemukan ayat-ayat tentang memberikan infaq dengan arti yang umum mencakup investasi, konsumtif, dan derma. Contohnya QS. Al-Baqarah: 272, QS. Al-Kahfi: 42, QS. Al-Baqarah: 262. dan QS. Al-Furqan: 67.[11]

Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia disaat lapang maupun sempit. Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infaq boleh diberikan kepada siapapun juga, misalkan untuk kedua orang tua, anak yatim, anak asuh dan sebagainya.

Berdasarkan hukumnya infaq dikategorikan menjadi 2 bagian yaitu Infaq wajib dan sunnah. Infaq wajib diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dan lain-lain. Sedang Infaq sunnah diantaranya, seperti infaq kepada fakir miskin, sesama muslim, infaq bencana alam, infaq kemanusiaan, dan lain-lain

C.     Shadaqah

Shadaqah adalah apa yang dikeluarkan oleh sesorang dari hartanya untuk mendekatkan diri, seperti zakat. Akan tetapi shadaqah pada asalnya adalah untuk sesuatu yang disunnahkan, sedangkan zakat adalah wajib. Kadang dinamakan yang wajib (zakat) dengan shadaqah apabila pelakunya terbiasa jujur dalam mengerjakannya, seperti dalam QS. At-Taubah: 103 dan QS. At-Taubah: 60.[12]

نفق الشيء artinya habis, نفق البيع نفاقا benar-benar dagangannya laris,نفق البيع نفاقا binatang itu benar-benar mati. Infaq itu kadang juga pada harta dan yang lainnya. Infaq bisa wajib dan bisa juga sunnah. Terdapat dalam firman Allah SWT yakni QS. Al-Baqarah: 195, QS. Al-Baqarah: 254, QS. Ali ‘Imran: 192, QS. Saba: 39, dan QS. Al-Hadid 10.[13]

Orang yang suka bersedekah merupakan wujud dari bentuk kebenaran keimannya kepada sang Khaliq. Menurut terminologi syariat, pengertian sedekah sama dengan pengertian infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Hanya saja, jika infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut hal yang bersifat non materiil. Adapun shadaqah maknanya lebih luas dari zakat dan infak. Shadaqah dapat bermakna infak, zakat dan kebaikan non materi.

Zakat hukumnya wajib sedangkan infaq hukumnya sunnah, zakat ditentukan nisabnya sedangkan infaq tidak memiliki batas, zakat ditentukan siapa saja yang berhak menerimanya sedangkan infaq boleh diberikan kepada siapa saja. Infaq ada yang wajib ada juga yang sunnah. Infaq yang wajib diantaranya zakat, kafarat, nazar, dan lain-lain. Infaq sunah diantaranya, infaq kepada para fakir miskin, sesama muslim, infaq bencana alam, infaq kemanusiaan, dan lain-lain.

1.      Ayat-Ayat Zakat

QS. Al-Baqarah [2]:274

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٤)

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Kata yunfiquna terambil dari akar kata nafaqa yang memiliki beragam arti, di antaranya habis dan membelanjakan. Melalui ayat ini, Allah SWT menginformasikan metode terbaik dalam membelanjakan harta di jalan Allah, yaitu dengan berinfaq.[14]
HAMKA menjelaskan kandungan ayat ini, yaitu:
Karena hatinya yang lapang lantaran iman, dunia pun lapang di depannya. Di dalam dia tidak takut akan miskin karena dermawan, sebab tiap-tiap yang dibelanjakannya itulah merupakan keyakinannya yang sebenarnya kekayaannya. Yang masih belum dibelanjakan, belumlah tentu jadi kekayaan. Dan dia tidak akan berduka cita, sebab Tuhan berdaulat dalam hatinya, dan pintu surga Jannatun Na’im selalu terbuka, menunggu kedatangannya.

Alhasil, tidaklah dapat berkumpul dalam hati seorang mu’min di antara iman dengan bakhil. Dan bakhil adalah alamat yang sangat nyata daripada kosongnya iman. Sebab itu maka didikan iman dari Al-Quran yang kita terima langsung tidaklah dapat dipenuhi oleh kitab-kitab yang lain.[15]

Ayat ini merupakan yang terakhir dalam rangkaian ayat-ayat yang membicarakan masalah infak dalam surah Al-Baqarah ini. Allah SWT menegaskan lagi dalam ayat ini keuntungan yang akan didapat orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, baik di siang hari maupun pada waktu malam baik diberikan secara sembunyi maupun terang-terangan, bahwa mereka itu pasti akan memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak karena di dunia ini mereka dikasihi oleh masyarakat, terutama oleh fakir miskin dan siapa saja yang pernah menerima sedekah darinya, sedang di akhirat kelak mereka akan menerima pahala yang berlipat ganda dari sisi Allah SWT. Dan mereka pun tidak merasa sedih atas harta yang dinafkahkan itu, karena mereka yakin akan memperoleh ganti yang lebih besar dari Allah SWT, baik berupa tambahan rezeki dan kelapangan hidup di dunia ini, maupun berupa ridho Allah dan karunia-Nya.

QS. Al-Baqarah [2]:277

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٧)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Ayat ini menegaskan tentang perbuatan yang baik yang dapat menghindarkan diri dari perbuatan yang dimurkai Allah SWT.  Allah SWT menyebutkan bahwasanya orang yang mempunyai empat macam sifat, yang tersebut dalam ayat ini, tidak ada kekhawatiran atas diri mereka, dan mereka tidak bersedih hati terhadap segala cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Empat macam sifat tersebut ialah:

Ø  Beriman kepada Allah

Ø  Mengerjakan amal saleh

Ø  Menunaikan salat

Ø  Menunaikan zakat

Bahwa keempat macam sifat itu dapat menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit akibat memakan riba’.

Bila seseorang telah beriman kepada Allah SWT, dengan iman yang sebenarnya, sekalipun ia sebelumnya adalah pemakan riba’, maka iman itu akan mendorongnya ke arah perbuatan yang baik. Imannya itu akan mendorongnya mengerjakan shalat dan menunaikan zakat yang merupakan hak orang lain yang ada pada hartanya itu.

Ayat ini memberi pelajaran kepada pemakan riba’ yang tidak dapat menguasai dirinya menghentikan perbuatan itu. Seakan-akan Allah SWT berkata: "Hai, pemakan riba’, berhentilah dari memakan riba’. Jika kamu telah berniat menghentikannya, sedang kamu sendiri tidak dapat menguasai diri untuk menghentikannya, lakukanlah yang empat macam ini. Jika kamu melakukannya dengan benar-benar pasti dapat menghentikan riba’ itu."

Pada akhir ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa orang-orang yang mempunyai keempat sifat itu tenteram jiwanya, rela terhadap cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Hal yang demikian tidak akan diperoleh pemakan riba’. Yang mereka peroleh hanyalah kegelisahan hati, kewas-wasan, purbasangka, kebimbangan, seperti orang kemasukan setan.



QS. Ali ‘Imran [3]:92

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٩٢)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan. Maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Kata al-birr dimaknai berbuat baik. Pelakunya disebut sebagai orang yang suka berbuat baik. Dalam bahasa Indonesia, kata al-birr lebih sering diartikan dengan “kebajikan”, menurut Poerwadarminta dimaknai dengan sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Jika demikian seseorang yang ingin mencapai kebajikan seharusnya ia mendatangkan kebaikan, artinya harta atau apa pun yang diinfaqkan seharusnya memiliki faedah dan manfaat bagi si penerima.[16]

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seseorang tidak akan mencapai tingkat kebaikan di sisi Allah, sebelum ia dengan ikhlas menafkahkan di jalan Allah harta yang dicintainya. Para sahabat Nabi, setelah diturunkan ayat ini, berlomba-lomba berbuat kebaikan. Di antaranya, Thalhah seorang hartawan di kalangan Ansar datang kepada Nabi saw memberikan sebidang kebun kurma yang sangat dicintainya untuk dinafkahkan di jalan Allah.

Oleh Nabi saw pemberian itu diterima dengan baik dan memuji keikhlasannya itu. Lalu Rasulullah menasihatkan supaya harta itu dinafkahkan kepada karib kerabatnya, maka Thalhah membagi-bagikannya kepada karib kerabatnya, dengan demikian ia mendapat pahala sedekah dan pahala mempererat hubungan silaturrahmi dengan keluarganya itu. Setelah itu datang pula `Umar menyerahkan sebidang kebunnya yang ada di Khaibar, Nabi saw menyuruh pula supaya kebun itu tetap dipelihara, hanya hasil dari kebun itu merupakan wakaf dari `Umar.

QS. At-Taubah [9]:60

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٦٠)   

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk keperluan (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk keperluan jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Syekh Muhammad Rasyîd Ridhâ menjelaskan bahwa ayat ini memuat diktum (pernyataan) pembatasan sasaran distribusi/pendayagunaan zakat.[17] Hal yang sama dikemukakan oleh Ahmad Musthafa al-Marâgi dan Wahbah al-Zuhailiy.[18] Kesimpulan tersebut mereka ambil berdasarkan penggunaan kata innamâ yang mengandung makna pembatasan (li al-hasr).

Menurut Wahbah al-Zuhailiy, yang dimaksud kata al-sadaqât ialah zakat yang notabene hukumnya wajib.[19] Secara terminologis, kata al-sadaqah memang mengandung makna umum, yakni mencakup sadaqah wajib atau zakat, sadaqah sunnat, infaq, bahkan aneka perbuatan kebaikan. Sedangkan dalam ayat tersebut, kata al-sadaqah, yang dimaksudkan darinya ialah sadaqah wajib atau zakat. Hal ini didasarkan pada indikasi, antara lain, penggunaan kata farîdah.[20]

Penggunaan kata depan al-lam atau li (li al-istihqâq) yang disematkan pada kata al-fuqarâ’ mengandung makna bahwa harta zakat itu merupakan hak milik pihak-pihak yang menjadi mustahiq zakat. Dengan kata lain, harta zakat secara de jure (berdasarkan hukum) sekaligus de facto (pada kenyataannya) adalah milik penuh para mustahiq zakat.[21]

Terma al-fuqarâ’, bentuk jamak dari al-faqîr, dipahami maknanya secara berbeda-beda di kalangan ulama. Akan tetapi, pandangan mereka punya titik temu, yakni orang yang berketiadaan atau berkekurangan harta dan tidak punya usaha/pekerjaan sehingga tidak terpenuhi sama sekali kebutuhan hidup dasarnya.[22]

Terma al-masâkin, bentuk jamak dari al-miskîn, juga dipahami maknanya secara berbeda-beda di kalangan ulama. Namun, benang merah makna darinya ialah orang yang punya harta atau punya usaha/pekerjaan tetapi tidak terpenuhi secara sempurna kebutuhan hidup dasarnya.[23]

Terma al-fuqarâ’ dan al-masâkin tentu bisa diredefinisi dan direinterpretasi dengan pendekatan maslahah karena secara tekstual-syar’iy dan absolut tidak ditentukan di dalam al-Quran dan Hadits. Dalam kaitan ini, bisa diterapkan parameter standar kehidupan layak yang diakui secara umum untuk mengukur kriteria status sosial-ekonomi si fakir dan si miskin.

Terma al-’âmilîn ’alihâ mengandung makna orang yang mengumpulkan zakat.[24] Dalam kaitan ini, masih bisa diredefinisi dan direinterpretasi dengan pendekatan maslahah siapa dan bagaimana al-’âmilîn ’alihâ itu.

Terma al-mu’allafah qulûbuhum mengandung makna orang yang dijinakkan hatinya untuk memeluk atau mendukung agama Islam.[25] Dalam kaitan ini, juga masih bisa diredefinisi dan direinterpretasi dengan pendekatan maslahah siapa dan bagaimana al-mu’allafah qulûbuhum itu.

Terma wa fi al-riqâb mengandung makna tersendiri. Penggunaan kata depan fi (harf al-jarr), bukan kata depan al-lam atau li, mengandung makna bahwa dalam hal mustahiq budak, yang dijadikan sasaran bukanlah pribadi si budak semata tetapi juga pranata perbudakan itu sendiri sebagai suatu pranata sosial yang ada di tengah-tengah kehidupan suatu masyarakat.[26] Dengan demikian, porsi harta zakat untuk golongan ini bisa didayagunakan untuk program-program pemberdayaan status sosial orang-orang pinggiran, misalnya. Dalam kaitan ini bisa dilakukan redefinisi dan reinterpretasi dengan pendekatan maslahah.

Terma al-ghârimîn mengandung makna orang yang punya utang, yang tidak berkemampuan membayarnya/melunasinya.[27] Redefinisi dan reinterpretasi dengan pendekatan maslahah atas terma ini masih dimungkinkan. Sebab, secara tekstual-syar’iy dan absolut tidak ditentukan di dalam al-Quran dan Hadits.

Terma wa fi sabîl lillah mengandung makna tersendiri seperti halnya terma wa fi al-riqâb. Penggunaan kata depan fi (harf al-jarr), bukan kata depan al-lam atau li, mengandung makna bahwa dalam hal mustahiq sabîl lillah yang dijadikan sasaran bukanlah orang pribadi yang melakukan tugas misi keagamaan, tetapi juga pranata kelembagaan sosial yang melakukan tugas misi kebaikan secara luas.[28] Dalam konteks ini terbuka untuk melakukan redefinisi dan reinterpretasi dengan pendekatan maslahah.

Terma ibn al-sabîl mengandung makna orang musafir yang kehabisan dukungan finansial.[29] Redefinisi dan reinterpretasi dengan pendekatan maslahah atas terma ini juga masih dimungkinkan. Hal demikian karena secara tekstual-syar’iy dan absolut tidak ditentukan di dalam al-Quran dan Hadits. Dapat disimpulkan bahwa isu interpretasi dan aplikasi berorientasi maslahah terhadap nash zakat punya peran signifikan bagi redefinisi dan reinterpretasi asnâf mustahiq zakat dalam rangka optimalisasi pendayagunaan zakat di era globalisasi ini.

Dalam Tafsir Jalalain[30] disebutkan bahwa ayat tersebut di atas menyatakan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang-orang selain mereka, dan tidak boleh pula mencegah zakat dari sebagian golongan di antara mereka bilamana golongan tersebut memang ada. Selanjutnya imamlah yang membagi-bagikannya kepada golongan-golongan tersebut secara merata. Akan tetapi imam berhak mengutamakan individu tertentu dari suatu golongan atas yang lainnya. Huruf lam yang terdapat pada lafazh “lil fuqara” memberikan pengertian wajib meratakan pembagian zakat kepada setiap individu-individu yang berhak. Hanya saja tidak diwajibkan kepada pemilik harta yang dizakati, bilamana ia membaginya sendiri, meratakan pembagiannya kepada setiap golongan, karena hal ini amat sulit untuk dilaksanakan. Akan tetapi cukup baginya memberikannya kepada tiga orang dari setiap golongan. Tidak cukup baginya bilamana ternyata zakatnya hanya diberikan kepada kurang dari tiga orang. Demikianlah pengertian yang disimpulkan dari ungkapan jamak pada ayat ini. Sunnah telah memberikan penjelasannya, bahwa syarat bagi orang yang menerima zakat itu, antara lain ialah muslim, hendaknya ia bukan keturunan dari Bani Hasyim dan tidak pula dari Bani Muthalib.

As-Sa’di menambahkan, bahwa   إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ yaitu zakat dengan alasan bahwa shadaqah yang sunnah tidak dikhususkan dengannya seorang di bawah seseorang. Yaitu bahwa shadaqah ini hanya bagi yang disebutkan tadi bukan selain mereka karena dibatasi oleh mereka dan mereka itu ada 8 asnaf.[31]

Para ulama berikhtilaf menngenai delapan golongan ini, apakah zakat itu harus dibagikan kepada semua golongan atau kepada sebagiannya saja? Menurut pendapat yang paling shahih tidak wajib mmeberikan zakat kepada semua golongan, namun cukup menyerahkan kepada salah satu dari delapan golongan itu dan seluruh zakat dapat diberikan kepadanya walaupun masih terdapat golongan yang lain. Inilah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama salaf serta khalaf.[32]

Pertama dan yang kedua fuqara dan miskin. Pada posisi ini mereka adalah dua jenis yang sama rata. Orang fakir itu lebih mmebutuhkan dari orang miskin, karena Allah memulai dengan mereka. Tidak dimulai kecuali dengan yang terpenting lalu penting. Ditafsirkan dengan yang tidak mendapatkan sesuatu atau mendapatkan sebagian keperluannya tapi tidak sebagiannya.

Sedangkan al-miskin yang mendapatkan setengahnya atau lebih tepat tidak mendapatkan kebutuhnnya secara sempurna, karena kalau ia mendapatkannya pasti keadannya kaya. Mereka diberi zakat untuk menghilangkan kefakiran dan kemiskinan mereka.[33]

Yang dimaksud dengan amylin ialah orang yang mengumpulkan dan mengupayakan zakat. Mereka berhak memperoleh bagian zakat atas upayanya itu.

Orang yang dibujuk hatinya (muallaf) terbagi kedalam beberapa kategori. Ada yang diberi supaya masuk Islam sebagaimana Nabi memberi kepada Sofwan bin Umayyah. Golongan muallaf lainnya ialah orang yang diberi zakat supaya Islamnya bagus dan hatinya kokoh, seperti Nabi memberikan seratus unta dalam peristiwa Hunain kepada sekelompok orang yang menjadi teman dan pemuka kaum ‘yang membebaskan diri’. Sehubungan dengan hamba sahaya, maka diriwayatkan dari sebagian tabi’in yang dimaksud adalah hamba sahaya mukatab. Ibn Abbas dan ulama lainnya berkata: boleh saja hamba sahaya yang baru dibebaskan itu diberi zakat.

Yang dimaksud gharimin terbagi ke dalam beberapa kelompok. Di antara mereka ada orang yang memikul beban berat atau menanggung unta yang wajib dibayar sehingga melunaskan hartanya atau dia bangkrut untuk membayar utangnya, atau dia menghabiskan hartanya dalam kemaksiatan kemudian dia bertobat, maka orang-orang demikian dapat menerima zakat.

Adapun fi sabilillah di antaranya ialah orang yang berperang sedang mereka tidak memiliki bagian dari pembagian untuk dewan pimpinan. Menurut Imam Ahmad, Al-Hasan, dan Ishak, bahwa orang yang berhaji juga termasuk fi sabilillah, karena ada hadits yang menerangkan hal itu.

Adapun Ibn sabil ialah orang yang berpergian melintasi berbagai negeri. Dia tidak memiliki bekal dalam perjalanannya. Dia berhak menerima zakat sekedar untuk memenuhi kebutuhannya hingga sampai di negerinya.[34]

QS. At-Taubah [9]: 103

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٠٣)

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

تُطَهِّرُهُمْ maksudnya zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda.

تُزَكِّيهِمْ maksudnya zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

Menurut riwayat Ibn Jarir bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang mengikatkan diri di tiang-tiang mesjid datang kepada Rasulullah saw seraya berkata: "Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang merintangi kami untuk turut berperang. Ambillah harta itu dan bagi-bagikanlah, serta mohonkanlah ampun untuk kami atas kesalahan kami." Rasulullah menjawab: "Aku belum diperintahkan untuk menerima hartamu itu." Maka turunlah ayat ini. Perintah Allah SWT pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, yaitu agar Rasulullah saw mengambil sebagian dari harta benda mereka itu sebagai sedekah atau zakat untuk menjadi bukti tentang benarnya tobat mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk menyucikan dari mereka dari sifat "cinta harta" yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dengki, dan sebagainya.

Di samping itu juga dapat dikatakan, bahwa penunaian zakat adalah juga membersihkan harta benda yang tinggal sebab pada harta benda seseorang ada hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka bersihlah harta tersebut dari hak orang lain.

Juga terkandung suatu pengertian, bahwa menunaikan zakat itu akan menyebabkan timbulnya keberkatan pada harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkatan dan tidak akan berkembang biak dengan baik, bahkan kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan menyusut sehingga lenyap sama sekali dari tangan pemiliknya sebagai hukuman Allah SWT terhadap pemiliknya.

Perlu diketahui, bahwa walaupun perintah Allah swt. dalam ayat ini pada lahirnya ditujukan kepada Rasul-Nya dan turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun ia juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat kaum Muslimin untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk menunggu zakat tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat dan kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat itu, mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat karena doa tersebut akan menenangkan jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah SWT benar-benar telah menerima tobat mereka. Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah SWT Maha Mendengar setiap ucapan hamba-Nya, antara lain ucapan pengakuan dosa serta ucapan doa. Dan Allah Maha Mengetahui semua yang tersimpan dalam hati sanubari hamba-Nya antara lain ialah rasa penyesalan dan kegelisahan yang timbul karena kesadaran atas kesalahan yang telah diperbuatnya.

2.      Hadits-Hadits Zakat

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ قَالَ تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومُ رَمَضَانَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا أَزِيدُ عَلَى هَذَا فَلَمَّا وَلَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا

Dari Abu Hurairah ra.: Ada seorang Arab Badui menemui Nabi saw lalu berkata, "Tunjukkan kepadaku suatu amal yang bila aku kerjakan akan memasukkan aku ke dalam surga". Nabi saw bersabda: "Kamu menyembah Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Kamu mendirikan shalat yang diwajibkan. Kamu tunaikan zakat yang wajib. Kamu mengerjakan shaum (puasa) bulan Ramadhan”. Kemudian orang Badui itu berkata, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak akan menambah dari perintah-perintah ini". Ketika hendak pergi, Nabi saw bersabda: "Siapa yang berkeinginan melihat laki-laki penghuni surga maka hendaklah dia melihat orang ini". (HR. Bukhari, No. 1397)[35]

Hadits sebagaimana redaksi di atas disebutkan dalam Shahih al-Bukhari kitab Zakat, Bab wujub al-Zakat (Kewajban berzakat) hadits Nomor 1397, beliau meriwayatkan hadis ini dari dua jalur. Pertama: dari jalur Muhammad bin Abdurrahman beliau berkata; Affan bin Muslim memberitahukan kepada kami dan berkata; Wuhaib memberi tahukan kepada kami (bahwa hadis ini) dari Yahya bin Sa'id bin Hayyan dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah. Kedua: dari jalur Musaddad, dari Yahya bin Hayyan beliau berkata; Abu Zur'ah memberitahukan kepada kami dari Nabi Saw.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ

Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw telah bersabda: "Barangsiapa yang bershadaqah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung". (HR. Bukhari, No. 1410 dan HR. Muslim, No. 1014)[36]

Hadits ini juga dikuatkan oleh Sulaiman dari Ibn Dinar dan berkata, Warqa' dari Ibn Dinar dari Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. Dan diriwayatkanoleh Muslim bin Abu Maryam dan Zaid bin Aslam dan Suhail dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw.

Hadits tersebut disimpulkan oleh para ulama zakat memiliki syarat bahwa ia haruslah berasal dari harta yang didapatkan dengan cara yang halal. Hadits diatas merupakan syarat yang harus di penuhi bagi mereka yang ingin menunaikan zakat.

3.      IMPLEMENTASI ZAKAT

Di Indonesia potensi zakat sangat besar sekali, yaitu mencapai 217 trilyun rupiah. Hal ini berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Asian Development Bank (ADB) dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Menurut Ketua Umum Baznas, Didin Hafidhuddin, dana sebesar itu tentu bisa sangat bermanfaat untuk mengatasi berbagai masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial di negara ini (m.koran-jakarta.com, 19/8/2011).

Pada tahun 2009 dana zakat yang dikelola BAZNAS sebesar Rp1,2 triliun, naik menjadi Rp 1,5 triliun tahun 2010 dan naik lagi menjadi Rp 1,7 triliun tahun berikutnya, 2011. Menurut Ketua Umum BAZNAS, Didin Hafidhuddin, zakat dapat digunakan untuk memotong mata rantai kemiskinan. BAZNAS mempunyai banyak program kepedulian yang bukan saja bersifat konsumtif, namun juga produktif (rmol.co, 15/7/2012). Lebih lanjut, Didin Hafidhuddin meyakinkan bahwa zakat bisa menjadi solusi dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia (beritabogor.com, 15/12/2011).[37]

Ada beberapa alasan mengapa zakat perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan fiskal:

Ø  Zakat dalam bidang moral mengikis habis ketamakan dan keserakahan orang kaya;

Ø  Keadilan distributif dan mencegah penumpukkan kekayaan pada segelintir orang;

Ø  Zakat adalah lembaga pertama dalam sejarah yang menjamin kehidupan kemasyarakatan;

Ø  Ada kemiripan antara instrumen zakat dengan pajak;

Ø  Zakat dipandang sebagai bentuk ibadah yang tidak dapat digantikan oleh model sumber pembiayaan negara apa pun dimana pun juga. Dalam sejarahnya khalifah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat;

Ø  Zakat hukumnya wajib, satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak;

Ø  Potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar;

Ø  Zakat berpengaruh besar terhadap berbagai sifat dan cara pemilikan harta benda. Harta yang tidak dizakati adalah harta yang kotor dan tidak memiliki berkah;

Ø  Zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional;

Ø  Agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat;

Ø  Memberikan kontrol kepada pengelola negara;

Ø  Memperluas basis muzakki;

Ø  Meringankan APBN;

Ø  Mayoritas penduduk Indonesia adalah Umat Muslim.

Dengan membayar zakat maka tingkat output yang menghasilkan laba maksimum akan semakin kecil, sehingga secara mikro output yang dihasilkan akan menurun dari Q* menuju Qz. Disinsentif inilah yang akan mendorong mereka untuk memilih tingkat laba bersih yang paling tinggi. Jika tingkat laba antar usaha relatif sama maka masyarakat akan memilih berpindah dari sektor dengan tarifzakat tinggi menuju sektor dengan tarif zakat rendah. Secara umum tarif zakat ini membawa misi transformasi ekonomi agar perekonomian bergerak dari sektor primer yaitu pertambangan dan pertanian dasar menuju industri dan perdagangan.

Penerapan zakat akan membawa perekonomian dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yaitu dari masyarakat pemburu (sektor primer) menuju masyarakat pengolah (sektor industri manufaktur).

Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, instrumen zakat dikelola oleh suatu badan yang terlembaga dan terorganisir. Disanalah semua ihwal dan kompleksitas permasalahan yang berkenaan dengan zakat diselesaikan. Jadi, mengikut apa yang dilakukan oleh Rasul tersebut akan lebih baik karena terbukti bahwa pengelolaan zakat pada masa itu sukses dan lancar. Kesejahteraan Rakyat dapat dirasakan. Atas dasar pertimbangan itulah keberadaan Badan Amil Zakat  (BAZ) dan lembaga-lembaga partikularis semacam LAZIS, DD, Rumah Zakat, dan lainnya, dapat digunakan untuk mengatur pelaksanaan zakat secara baik dan benar.

Perkembangan teranyar saat ini, zakat telah mengalami reformasi konsepsi operasional zakat. Dana zakat tidak hanya dibagikan secara terbatas kepada delapan golongan penerimaan zakat saja (mustahiq), tapi segmentasi dan cover area-nya diperluas, meliputi segala upaya produktif, yang tidak hanya diperuntukkan sebagai kaum dhu’afa, tetapi juga telah dikembangkan sebagai upaya pemberdayaan ekonomi. Seyogianya, dalam aras implementasinya, mesti mendapat supporting kuat secara multi dimensional, baik aspek politik, hukum, dan ekonomi. Artinya, efektifitas zakat dapat berjalan jika ia didukung secara multiaspek, sehingga suatu saat menjadi instumen kultural, yang tentunya sudah membatin atau terinternalisasi dalam diri umat. Usaha mikro adalah bagian dari gerakan ekonomi rakyat dan zakat adalah instrumen strategis dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, menjadi penting alokasi dan distribusi dana zakat diarahkan pada penguatan usaha mikro. Hanya persoalannya, penguatan usaha mikro membutuhkan dua aspek, yakni aspek finansial dan pendampingan. Dua aspek ini membutuhkan mekanisme kelembagaan.

Umat Islam percaya bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Maka pastilah mampu menata seluruh sistem kehidupan dari masa kenabian hingga akhir zaman kelak. Maka, kepercayaan itu pastilah bukan sekadar keyakinan tanpa pembuktian. Allah SWT telah menyediakan sistem tersebut. Manusialah yang dituntut menerapkannya sehingga terlihat hasilnya dan terbukti bahwa sistem itu benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.

Maka tantangan zakat ke depan adalah, pertama, sudahkah sistem pengelolaan harta ini menjadi ruh umat Islam untuk kemudian diterapkan bukan sekadar menjalankan kewajiban namun karena kesadaran untuk menjadi rahmat seluruh alam?

Kedua, penyaluran zakat dituntut membangun mental mandiri sehingga mustahik bisa menjadi muzakki, bukan sekadar memberi ikan tanpa memahami bagaimana menggunakan kail. Ini menuntut kerja-kerja pemberdayaan umat agar mampu membawa mereka pada kemandirian ekonomi (qodirun ‘alal kasbi).

Ketiga, amil zakat yang profesional tentu menjadi kebutuhan yang penting untuk menjamin dua poin di atas terlaksana, yakni penyadaran dan pemberdayaan. Amil zakat tidak hanya memungut zakat, namun mampu menyadarkan dan memberdayakan masyarakat.

Bila zakat sebagai salah satu sistem kehidupan Islam mampu menjawab tantangan ini, pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak akan membutuhkan waktu yang lama. Jauh dari itu semua, konsep Islam akan semakin terbuka untuk diterima sebagai sistem hidup seluruh manusia.[38]


C.     Perbedaan Metode Maudhu’i (Tematik) Dengan Metode Tafsir Lainnya.


1.      Perbedaan Metode Maudhu’i (Tematik) dengan Metode Tahlili

Metode Tahlili
Metode Maudhu’i (Tematik)
Mufassir terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
Mufassir berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
Mufassir berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat.
Sulit ditemukan tema-tema tertentu yang utuh
Sudah dikenal sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada.
Mufassir tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
Mufassir tidak berbicara tema lain  selain tema ysng sedang dikaji. Oleh  karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang masing-masing berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan tema-tema lain.
Mufassir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Mudah untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
Walaupun benihnya ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran yang jelas dan utuh baru dikenal belakangan saja.


2.      Perbedaan Metode Maudhu’i (Tematik) dengan Metode Muqaran

Metode Muqaran
Metode Maudhu’i
Mufassir menjelaskan al-Qur’an dengan apa saja yang ditulis oleh para mufassir.
Mufassir terikat dengan uraian para mufassir
Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
Mufassir tidak terikat dengan uraian para mufassir

D.      Kekurangan Dan Kelebihan Tafsir Maudhu’i

Ø  Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain:

1.      Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.

2.      Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode  tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.

3.      Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata sosial.

4.      Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.

Ø  Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain:

1.      Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.

2.      Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.[40]

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perkembangan studi tentang al-Qur'an, yang bertujuan untuk menggali isi dan maksud dari al-Qur'an sebagai pedoman dan aturan hidup manusia. Ternyata sudah berlangsung berabad-abad dan terus saja berkelanjutan sampai sekarang ini.

Tafsir maudhu’i sebagai metode terbaru, ternyata lebih relevan mengantarkan kita untuk mendapatkan solusi  yang diperlukan bagi masalah-masalah praktis di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, hasil tafsir ini memberikan kemungkinan bagi kita untuk menjawab tantangan hidup yang selalu berubah dan berkembang.

Kelebihan metode tafsir maudhu’i antara lain Menjawab tantangan zaman,Praktis dan sistematis,Dinamis,Membuat pemahaman menjadi utuh. Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain Memenggal ayat al-Qur’an,Membatasi pemahaman ayat.


[1] http://pirac.org/wp-content/uploads/2012/05/Press-Release-Seminar-Zakat.pdf, diakses pada hari selasa 22 Mei 2018 pukul 12.00 WIB
[3] https://acehkrak.blogspot.co.id/2016/01/makalah-tafsir-maudhui.html diakses pada hari Selasa, 22 Mei 2018 pukul 15.00 WIB
[4] Mukhtar Naqiyah, Ulumul Qur’an , hlm 174-175
[5] Baidan nashruddin,. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an., hlm 152
[6] Baidan nashruddin,. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an., hlm 153
[7] Lisan al-Arab, Juz 6 hlm 6).
[8] Hadzami syafi’i,. Taudhihul Adillah 5 – Penjelasan tentang dalil-dalil Zakat, Puasa, hlm 5
[10] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[16] Depag RI, Tafsir Al-Quran Tematik, hlm. 76-77.
[19] Ibid
[20] al-Marâgi, Tafsîr al-Marâgi, hlm. 142. 
[21] Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, hlm. 370.
[22] al-Zuhailiy, al-Tafsîr al-Munîr, hlm. 259.
[23]Ibid.
[24] al-Marâgi, Tafsîr al-Marâgi, hlm. 146.
[25] al-Zuhailiy, al-Tafsîr al-Munîr, hlm. 259. 
[26] ]Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, hlm. 370.
[27] al-Marâgi, Tafsîr al-Marâgi, hlm. 146.
[28] al-Zuhailiy, al-Tafsîr al-Munîr, hlm. 259. 
[29] Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, hlm. 381.
[31] Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah as-Sa’di, Taisirul Karim Rahman Fi Tafsiril Kalamil Manan, (Arab Saudi: Muassasah Risalah, 2000), hlm. 341
[32] Muhammad Nasib ar-Rifai, Taysir Al-Aliyyil Qadhir Li Ikhtishar Tafsir Ibn Katsir. Terj. Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 623.
[33] as-Sa’di, Taisirul Karim, hlm. 341.
[34] ar-Rifai, Taysir Al-Aliyyil, hlm. 623-624.
[35] Shahih Bukhari, Kitab az-Zakat, Bab Wujub az-Zakat, dan Hadits Riwayat Imam Muslim, Kitab al-Aiman, Bab al-Aiman al-Ladzi Yadkhulul Zannata, No. 15.
[38] Di Mana Peran Zakat dalam Mengentas Kemiskinan?”, http://zakat.pkpu.or.id diakses pada hari kamis 24 Mei 2018 pukul 09.00 WIB
[39] https://acehkrak.blogspot.co.id/2016/01/makalah-tafsir-maudhui.html diakses pada hari Selasa, 22 Mei 2018 pukul 15.00 WIB
[40] Baidan Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an,hlm 165-168

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS UNIVARIAT, BIVARIAT DAN MULTIVARIAT

Penerapan Statistika Dalam Kehidupan Sehari-hari (Fitri Hidayatuz Zahroh)

Distribusi Poisson dan Penerapannya Dalam Kehidupan Sehari-hari