KONSEP ZAKAT DALAM PERSPEKTIF TAFSIR HADITS MAUDHU'I
Nama : Mei Karsiti
NIM : 1617202106
Fak/Prodi : FEBI / 4 Ps C
Mata Kuliah : Tafsir Hadits Ekonomi Makro
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Terdapat beberapa perintah Allah untuk hamba-Nya di
dalam Al-Quran yang disebutkan secara berulang-ulang. Di antara perintah itu
setidaknya ada tiga amalan yang berhubungan dengan sesama makhluk
(hablumminannaas) yang Allah wajibkan setelah amalan kepada-Nya
(habbluminnallah) tertunaikan. Dalam hal ini menarik untuk disimak adalah
kalimat yang digunakan dalam firman-Nya yang menggunakan kalimat majemuk
setara. Ketiganya adalah beriman dan beramal shalih; tidak menyekutukan Allah
dan berbuat baik kepada kedua orangtua; serta dirikan shalat dan tunaikan
zakat.
Di dalam
Al-Quran, Surat Al-Muzammil: 20, terdapat penggalan ayat yang berbunyi:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat serta
tunaikanlah zakat”.
Allah SWT
menerangkan zakat beriringan dengan shalat menunjukan bahwa zakat dan shalat
mempunyai hubungan yang rapat sekali dalam hal keutamaannya. Shalat dipandang
seutama-utama ibadah badaniyah, sedangkan zakat dipandang seutama-utama ibadah
maliyah.
Zakat adalah
bagian dari rukun Islam selain syahadat, shalat, shaum, dan haji. Setiap muslim
pasti terikat dengan kewajiban untuk menunaikannya. Zakat menjadi salah satu
unsur pokok bagi tegaknya Syariat Islam. Maka semestinya zakat adalah istilah
yang begitu akrab di kalangan umat Islam, mengingat setiap tahun minimal ibadah
ini wajib ditunaikan dalam bentuk zakat fitrah di bulan Ramadhan. Rasulullah
Muhammad saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْس شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Dari Ibnu Umar r.a. berkata:
Rasulullah SAW bersabda, Islam dibangun di atas lima dasar: bersaksi bahwa
tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan
shalat, membayar zakat, menunaikan ibadah haji, dan puasa Ramadhan’. (HR.
Bukhari No. 8 dalam Kitabul Iman, dan HR. Muslim No. 16 dalam Kitabul Iman Bab
Bayan Arkanil Islam)[1]
Menunaikan zakat merupakan salah satu rukun
Islam yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim sebagai penyuci harta mereka,
yaitu bagi mereka, yaitu bagi yang mereka yang telah memiliki harta sampai nishab
(batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta masa
haul (satu tahun bagi harta
simpanan dan niaga), atau saat hasil pertaniaan telah tiba.
Zakat diwajibkan dengan tujuan untuk
meringankan beban penderitaan kaum dhu’afa fakir miskin atau meliputi
oramh-orang yang sengsara dan membantu orang-orang yang sangat membutuhkan
pertolongan. Di samping itu pemberian zakat dapat merekat tali kasih sehingga
tidak timbul ketegangan atau gejolak di tengah-tengah masyarakat yang sering
terjadi di antara orang-orang kaya dengan orang-orang miskin.
Zakat adalah ibadah yang memiliki dua
dimensi: vertikal (ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah) dan horizontal
(sebagai kewajiban kepada sesama manusia). Melalui makalah ini akan dijelaskan
beberapa hal yang berkaitan dengan zakat yang didasarkan pada ayat-ayat
al-Qur’an al-Karim[2]
Pengkajian sebuah surat Al-Qur’an sebagai
satu kesatuan yang utuh memang akan menghasilkan penafsiran yang memuaskan,
apalagi di dalamnya dijelaskan misinya secara umum dan khusus, serta
keterkaitan antara tema-tema yang ada sehingga akan nampak keseragamannya.
Ulama yang menempuh metode penafsiran maudhu’i seperti ini diantaranya adalah
Al-Alamah, Al-Fakr Razi yang amat berjasa dalam memulai penafsiran secara
maudhu’i ini. Metode ini juga digunakan oleh DR. Muhammad Mahmud hijazi dalam Tafsir
al-Wadhih, di dalam al-Muwafaqot, As-Syatibhi juga menulis sebuah
kajian menarik tentang persoalan metode maudhu’i ini. Beliau berkata: “satu
surat, walaupun memiliki hukum dan makna yang berbeda, tetapi sessungguhnya
memiliki tujuan yang seragam”.
Dan menjadi kewajiban semua umat Islam
untuk membumikan al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita
semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya
adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya
interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan
kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.
Adapun untuk menghimpun seluruh ayat yang
berkaitan dengan satu tema besar, dengan mengumpulkan ayat-ayat yang serupa
maka digunakanlah metode maudhu’i ini.[3]
Tafsir maudhu’i atau tematik adalah tafsir berperan sangat
penting khususnya pada zaman sekarang, karena tafsir maudhu’i dirasa
sangat sesuai dengan kebutuhan manusia dan mampu menjawab permasalahan yang
ada. Tafsir maudhu’i atau tematik ada berdasar surah al-Qur’an ada
berdasar subjek atau topik. Dengan adanya pemaparan di atas, penulis menganggap
tafsir tematik adalah topik yang menarik untuk dibahas, maka dari itu
penulis menjadikan tafsir maudhu’i sebagai topik pembahasan dalam
makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, dapat diambil beberapa rumusan
masalah yaitu:
1. Bagaimana
Pengertian Tafsir Maudhu’I ?
2. Bagaimana
Langkah-langakh Tafsir Maudhu’I ?
3. Apa Keistimewaan
Tafsir Maudhu’I ?
4. Bagaimana Perbedaan
Tafsir Maudhu’I ?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mahasiswa
dapat mengerti dan memahami pengertian Metode Tafsir Maudhu’i dalam zakat.
2.
Mahasiswa
dapat mengerti ciri-ciri, kekurangan, dan kelebihan Metode Maudhu’i.
3.
Mahasiswa
dapat memahami tahap-tahap analisis menggunakan Metode Maudhu’i.
BAB II
PEMBAHASAAN
A.
Pengertian Tafsir Maudhu’i
Tafsir Maudhu’i adalah
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki satu tujuan, satu topik dan
menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan tertib masa turunnya, kemudian
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasannya,
hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat yang lain , dan meng-istinbat-kan
hukum-hukumnya.
Selain itu, disebut juga tafsir maudhu’i adalah tafsir yang
membahas satu surat al-Qur’an secara menyeluruh dengan memperkenalkan dan
menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan
menghubungkan antara ayat yang satu dan ayat yang lain, dan atau satu pokok
masalah dan pokok masalah yang lain.[4]
Secara etimologi tafsir berarti, menyikap maksud dari suatu lafal yang
sulit untuk difahami. Menurut Manna’ Khalil al-Qathan
pengertian etimologinya adalah menjelaskan, menyikap dan menerangkan makna yang
abstrak.
Sedangkan secara bahasa kata maudhu’i
berasal dari kata موضوع yang merupakan isim
maf’ul dari kata وضع yang artinya
masalah atau pokok pembicaraan, yang
berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat
al-Qur’an.
Menurut al-Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk
mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut tema itu. Namun demikian, bila hal
itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang
mewakili (representatif).
Defenisi di atas dapat difahami bahwa
sentral dari metode tafsir maudhu’i adalah menjelaskan
ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan tertib
turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat
yang lain dan hal-hal lain yang dapat membantu memahami ayat lalu
menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh
Dalam penerapan
metode ini, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh musafir. Antara lain,
sebagaimana diuangkapkan oleh al-Farmawi berikut ini:
1.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan
turunannya. Hal ini di perlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang mansukhah
dan sebagainya.
2.
Menelusuri
latar belakang turun (asbab nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun –
(kalau ada)
3.
Meneliti
dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut,
terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu, kemudian
mengkajinya dari semua aspek yang berkaitan dengannya,seperti bahasa, budaya,
sejarah, munasabat, pemakaian kata ganti (dhamir) dan sebagainya.
4.
Mengkaji
pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan pendapatan para musafir, baik yang klasik maupun yang
kontemporer.
5.
Semua
itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif
melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar, serta didukung oleh fakta
(kalau ada), dan argumen-argumen dari Al-Qur’an, hadits, atau fakta-fakta
sejarah yang dapat ditemukan. Artinya mufasir selalu berusaha menghindarkan
diri dari pemikiran-pemikiran yang subjektif. Hal itu dimungkinkan bila ia
membiarkan Al-Qur’an membicarakan suatu kasus tanpa diinvervensi oleh
pihak-pihak lain diluar Al-Qur’an, termasuk penafsiran sendiri.
Selain tema
tafsir tematik yang telah disebutkan di atas, contoh berikut dapat dijadikan
perbandingan dalam menerapkan metode ini, khususnya berkenaan dengan sedekah
“zakat”.[6]
A.
Zakat
Kata zakat semula
bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh berkembang), al-barakah
(anugrah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah
(kesalahan). Semua makna tersebut telah dipergunakan, baik di dalam Al-Qur’an
maupun hadits.[7]
Secara umum,
syarat harta yang wajib dizakati adalah:
ü Harta milik penuh,
ü Terlepas dari lilitan utang (termasuk kredit) serta merupakan
kelebihan dari kebutuhan hidup keluarganya.
ü Merupakan penghasilan bersih setelah dikurangi biaya-biaya hidup
(operasional).
Persyaratan-persyaratan
ini berdasarkan petunjuk Rasulullah S.A.W:
لا صدقة إلا عن ظهر غنى.رواه أعمد
“tidak ada kewajiban zakat kecuali dari kalangan orang kaya.”
(HR Ahmad)[8]
Dalam al-Mu’jam al-Wasith ditinjau dari segi bahasa, kata zakat
mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu ‘keberkahan’, al-namaa ‘pertumbuhan
dan perkembangan’, ath-thaharatu ‘kesucian’, dan ash-shalatu ‘keberesan’.
Sedangkan secara istilah zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan
tertentu, yang Allah SWT wajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada
yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula.[9]
Lebih lanjut Hafidhuddin mengatakan hubungan antara pengertian
zakat menurut bahasa dan dengan pengertian menurut istilah, sangat nyata dan
erat sekali, bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh,
berkembang dan bertambah, suci dan beres (baik). Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam surat At-Taubah: 103 dan surat Ar-Ruum: 39.[10]
Kata zakat dan derivasinya dalam Al-Quran Al-Karim disebut pada 27
tempat, di antaranya dalam Surat Maryam: 31 dan Al-Baqarah: 43. Dalam Al-Quran
Surat Al-Baqarah, sebelum Allah membahas tentang haramnya riba’ (ayat ke
275-279), Allah membahas terlebih dahulu tentang masalah ZIS (Zakat, Infaq, dan
Shadaqah), yaitu dari ayat 261-274.
Riba’ dan zakat adalah sesuatu yang sangat berseberangan dan kontradiktif.
Riba’ adalah sesuatu yang tidak akan berkembang dan tidak akan memiliki berkah,
sedangkan ZIS adalah sesuatu yang akan berkembang dan memberikan berkah.
Didampingkannya ayat ZIS dengan riba’ adalah bahwa ZIS bisa membawa umat
manusia keluar dari masalah ekonomi seperti kemiskinan. Sedangkan riba’
adalah penyebab kemiskinan. Sebagaimana
dalam Asbabun Nuzul ayat tentang pengharaman riba’ diketahui bahwa hal itu
adalah untuk menghentikan praktik riba’ yang bisa memiskinkan orang.
Asal zakat itu adalah tumbuh/berkembang yang dihasilkan dari
barakah Allah. Zakat adalah untuk apa-apa yang dikeluarkan sebagai hak
Allah untuk orang faqir. Dinamakan zakat
karena mengharap barakah atau mensucikan jiwa, yaitu tumbuh dengan baik dan
berkah atau kedua-keduanya karena kebaikan dan berkah ada pada keduanya. Dengan
bersih dan sucinya jiwa orang menjadi layak di dunia disifati dengan
sifat-sifat terpuji, sedangkan di akhirat ganjaran dan balasan telah menanti.
Syarat zakat adalah Islam. Maka tidak wajib zakat untuk selain
orang Islam, karena ini menyangkut ibadah. Zakat sendiri berkaitan erat dengan
nishab yang berarti bahwa harta tidak wajib padanya zakat kecuali apabila telah
mencapai batas yang ditentukan. Batas yang ditentukan ini dinamakan nishab, dan
batasnya berbeda tergantung harta. Selain itu tidak disyaratkan baligh dan
berakal untuk wajib zakat, karena zakat adalah ibadah yang terletak pada harta.
B.
Infaq
الإنفاق menurut bahasa berarti
melaksanakan dan membelanjakan. Infak menurut istilah menyerahkan harta dan
yang lainnya untuk kebaikan.النفقة adalah apa yang diinfakkan berupa dirham dan
yang lainnya.
Kataنفق
dan derivasinya dalam
Al-Quran Al-Karim disebut pada 73 tempat. Mereka mengatakan setiap kata infāq
dalam al-Quran berarti shadaqah,, kecuali dalam QS. Al-Mumtahanah: 11. Dalam
Al-Quran ditemukan ayat-ayat tentang memberikan infaq dengan arti yang umum
mencakup investasi, konsumtif, dan derma. Contohnya QS. Al-Baqarah: 272, QS.
Al-Kahfi: 42, QS. Al-Baqarah: 262. dan QS. Al-Furqan: 67.[11]
Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang
berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia disaat lapang maupun sempit.
Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf) maka infaq boleh
diberikan kepada siapapun juga, misalkan untuk kedua orang tua, anak yatim,
anak asuh dan sebagainya.
Berdasarkan hukumnya infaq dikategorikan menjadi 2 bagian yaitu
Infaq wajib dan sunnah. Infaq wajib diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dan
lain-lain. Sedang Infaq sunnah diantaranya, seperti infaq kepada fakir miskin,
sesama muslim, infaq bencana alam, infaq kemanusiaan, dan lain-lain
C.
Shadaqah
Shadaqah adalah apa yang dikeluarkan oleh sesorang dari hartanya
untuk mendekatkan diri, seperti zakat. Akan tetapi shadaqah pada asalnya adalah
untuk sesuatu yang disunnahkan, sedangkan zakat adalah wajib. Kadang dinamakan
yang wajib (zakat) dengan shadaqah apabila pelakunya terbiasa jujur dalam
mengerjakannya, seperti dalam QS. At-Taubah: 103 dan QS. At-Taubah: 60.[12]
نفق الشيء artinya habis, نفق البيع نفاقا benar-benar dagangannya laris,نفق البيع نفاقا binatang itu benar-benar mati. Infaq itu
kadang juga pada harta dan yang lainnya. Infaq bisa wajib dan bisa juga sunnah.
Terdapat dalam firman Allah SWT yakni QS. Al-Baqarah: 195, QS. Al-Baqarah: 254,
QS. Ali ‘Imran: 192, QS. Saba: 39, dan QS. Al-Hadid 10.[13]
Orang yang suka bersedekah merupakan wujud dari bentuk kebenaran
keimannya kepada sang Khaliq. Menurut terminologi syariat, pengertian sedekah
sama dengan pengertian infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya.
Hanya saja, jika infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih
luas, menyangkut hal yang bersifat non materiil. Adapun shadaqah maknanya lebih
luas dari zakat dan infak. Shadaqah dapat bermakna infak, zakat dan kebaikan
non materi.
Zakat hukumnya wajib sedangkan infaq hukumnya sunnah, zakat
ditentukan nisabnya sedangkan infaq tidak memiliki batas, zakat ditentukan
siapa saja yang berhak menerimanya sedangkan infaq boleh diberikan kepada siapa
saja. Infaq ada yang wajib ada juga yang sunnah. Infaq yang wajib diantaranya zakat,
kafarat, nazar, dan lain-lain. Infaq sunah diantaranya, infaq kepada para fakir
miskin, sesama muslim, infaq bencana alam, infaq kemanusiaan, dan lain-lain.
1.
Ayat-Ayat
Zakat
QS. Al-Baqarah
[2]:274
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا
وَعَلانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا
هُمْ يَحْزَنُونَ (٢٧٤)
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari
secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.”
Kata yunfiquna terambil dari akar kata nafaqa yang memiliki beragam
arti, di antaranya habis dan membelanjakan. Melalui ayat ini, Allah SWT
menginformasikan metode terbaik dalam membelanjakan harta di jalan Allah, yaitu
dengan berinfaq.[14]
HAMKA menjelaskan kandungan ayat ini, yaitu:
Karena hatinya yang lapang lantaran iman, dunia pun lapang di
depannya. Di dalam dia tidak takut akan miskin karena dermawan, sebab tiap-tiap
yang dibelanjakannya itulah merupakan keyakinannya yang sebenarnya kekayaannya.
Yang masih belum dibelanjakan, belumlah tentu jadi kekayaan. Dan dia tidak akan
berduka cita, sebab Tuhan berdaulat dalam hatinya, dan pintu surga Jannatun
Na’im selalu terbuka, menunggu kedatangannya.
Alhasil, tidaklah dapat berkumpul dalam hati seorang mu’min di
antara iman dengan bakhil. Dan bakhil adalah alamat yang sangat nyata daripada
kosongnya iman. Sebab itu maka didikan iman dari Al-Quran yang kita terima
langsung tidaklah dapat dipenuhi oleh kitab-kitab yang lain.[15]
Ayat ini merupakan yang terakhir dalam rangkaian ayat-ayat yang
membicarakan masalah infak dalam surah Al-Baqarah ini. Allah SWT menegaskan
lagi dalam ayat ini keuntungan yang akan didapat orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah, baik di siang hari maupun pada waktu malam baik
diberikan secara sembunyi maupun terang-terangan, bahwa mereka itu pasti akan
memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak
karena di dunia ini mereka dikasihi oleh masyarakat, terutama oleh fakir miskin
dan siapa saja yang pernah menerima sedekah darinya, sedang di akhirat kelak
mereka akan menerima pahala yang berlipat ganda dari sisi Allah SWT. Dan mereka
pun tidak merasa sedih atas harta yang dinafkahkan itu, karena mereka yakin
akan memperoleh ganti yang lebih besar dari Allah SWT, baik berupa tambahan
rezeki dan kelapangan hidup di dunia ini, maupun berupa ridho Allah dan
karunia-Nya.
QS. Al-Baqarah
[2]:277
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا
الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ
يَحْزَنُونَ (٢٧٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.”
Ayat ini menegaskan tentang perbuatan yang baik yang dapat
menghindarkan diri dari perbuatan yang dimurkai Allah SWT. Allah SWT menyebutkan bahwasanya orang yang
mempunyai empat macam sifat, yang tersebut dalam ayat ini, tidak ada
kekhawatiran atas diri mereka, dan mereka tidak bersedih hati terhadap segala
cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya. Empat macam sifat tersebut ialah:
Ø Beriman kepada Allah
Ø Mengerjakan amal saleh
Ø Menunaikan salat
Ø Menunaikan zakat
Bahwa keempat macam sifat itu dapat menjadi obat untuk menyembuhkan
penyakit akibat memakan riba’.
Bila seseorang telah beriman kepada Allah SWT, dengan iman yang
sebenarnya, sekalipun ia sebelumnya adalah pemakan riba’, maka iman itu akan
mendorongnya ke arah perbuatan yang baik. Imannya itu akan mendorongnya
mengerjakan shalat dan menunaikan zakat yang merupakan hak orang lain yang ada
pada hartanya itu.
Ayat ini memberi pelajaran kepada pemakan riba’ yang tidak dapat
menguasai dirinya menghentikan perbuatan itu. Seakan-akan Allah SWT berkata:
"Hai, pemakan riba’, berhentilah dari memakan riba’. Jika kamu telah
berniat menghentikannya, sedang kamu sendiri tidak dapat menguasai diri untuk
menghentikannya, lakukanlah yang empat macam ini. Jika kamu melakukannya dengan
benar-benar pasti dapat menghentikan riba’ itu."
Pada akhir ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa orang-orang yang
mempunyai keempat sifat itu tenteram jiwanya, rela terhadap cobaan yang
ditimpakan Allah kepadanya. Hal yang demikian tidak akan diperoleh pemakan
riba’. Yang mereka peroleh hanyalah kegelisahan hati, kewas-wasan, purbasangka,
kebimbangan, seperti orang kemasukan setan.
QS. Ali ‘Imran
[3]:92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (٩٢)
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan. Maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Kata al-birr dimaknai berbuat baik. Pelakunya disebut sebagai orang
yang suka berbuat baik. Dalam bahasa Indonesia, kata al-birr lebih sering
diartikan dengan “kebajikan”, menurut Poerwadarminta dimaknai dengan sesuatu
yang mendatangkan kebaikan. Jika demikian seseorang yang ingin mencapai
kebajikan seharusnya ia mendatangkan kebaikan, artinya harta atau apa pun yang
diinfaqkan seharusnya memiliki faedah dan manfaat bagi si penerima.[16]
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seseorang tidak akan mencapai
tingkat kebaikan di sisi Allah, sebelum ia dengan ikhlas menafkahkan di jalan
Allah harta yang dicintainya. Para sahabat Nabi, setelah diturunkan ayat ini,
berlomba-lomba berbuat kebaikan. Di antaranya, Thalhah seorang hartawan di
kalangan Ansar datang kepada Nabi saw memberikan sebidang kebun kurma yang
sangat dicintainya untuk dinafkahkan di jalan Allah.
Oleh Nabi saw pemberian itu diterima dengan baik dan memuji
keikhlasannya itu. Lalu Rasulullah menasihatkan supaya harta itu dinafkahkan
kepada karib kerabatnya, maka Thalhah membagi-bagikannya kepada karib
kerabatnya, dengan demikian ia mendapat pahala sedekah dan pahala mempererat
hubungan silaturrahmi dengan keluarganya itu. Setelah itu datang pula `Umar
menyerahkan sebidang kebunnya yang ada di Khaibar, Nabi saw menyuruh pula
supaya kebun itu tetap dipelihara, hanya hasil dari kebun itu merupakan wakaf
dari `Umar.
QS. At-Taubah
[9]:60
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ (٦٠)
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk keperluan
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk keperluan jalan Allah
dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Syekh Muhammad Rasyîd Ridhâ menjelaskan bahwa ayat ini memuat
diktum (pernyataan) pembatasan sasaran distribusi/pendayagunaan zakat.[17] Hal
yang sama dikemukakan oleh Ahmad Musthafa al-Marâgi dan Wahbah al-Zuhailiy.[18]
Kesimpulan tersebut mereka ambil berdasarkan penggunaan kata innamâ yang
mengandung makna pembatasan (li al-hasr).
Menurut Wahbah al-Zuhailiy, yang dimaksud kata al-sadaqât ialah
zakat yang notabene hukumnya wajib.[19] Secara
terminologis, kata al-sadaqah memang mengandung makna umum, yakni mencakup
sadaqah wajib atau zakat, sadaqah sunnat, infaq, bahkan aneka perbuatan
kebaikan. Sedangkan dalam ayat tersebut, kata al-sadaqah, yang dimaksudkan
darinya ialah sadaqah wajib atau zakat. Hal ini didasarkan pada indikasi,
antara lain, penggunaan kata farîdah.[20]
Penggunaan kata depan al-lam atau li (li al-istihqâq) yang
disematkan pada kata al-fuqarâ’ mengandung makna bahwa harta zakat itu
merupakan hak milik pihak-pihak yang menjadi mustahiq zakat. Dengan kata lain,
harta zakat secara de jure (berdasarkan hukum) sekaligus de facto (pada
kenyataannya) adalah milik penuh para mustahiq zakat.[21]
Terma al-fuqarâ’, bentuk jamak dari al-faqîr, dipahami maknanya
secara berbeda-beda di kalangan ulama. Akan tetapi, pandangan mereka punya
titik temu, yakni orang yang berketiadaan atau berkekurangan harta dan tidak
punya usaha/pekerjaan sehingga tidak terpenuhi sama sekali kebutuhan hidup
dasarnya.[22]
Terma al-masâkin, bentuk jamak dari al-miskîn, juga dipahami
maknanya secara berbeda-beda di kalangan ulama. Namun, benang merah makna
darinya ialah orang yang punya harta atau punya usaha/pekerjaan tetapi tidak
terpenuhi secara sempurna kebutuhan hidup dasarnya.[23]
Terma al-fuqarâ’ dan al-masâkin tentu bisa diredefinisi dan
direinterpretasi dengan pendekatan maslahah karena secara tekstual-syar’iy dan
absolut tidak ditentukan di dalam al-Quran dan Hadits. Dalam kaitan ini, bisa
diterapkan parameter standar kehidupan layak yang diakui secara umum untuk
mengukur kriteria status sosial-ekonomi si fakir dan si miskin.
Terma al-’âmilîn ’alihâ mengandung makna orang yang mengumpulkan
zakat.[24] Dalam
kaitan ini, masih bisa diredefinisi dan direinterpretasi dengan pendekatan
maslahah siapa dan bagaimana al-’âmilîn ’alihâ itu.
Terma al-mu’allafah qulûbuhum mengandung makna orang yang
dijinakkan hatinya untuk memeluk atau mendukung agama Islam.[25] Dalam
kaitan ini, juga masih bisa diredefinisi dan direinterpretasi dengan pendekatan
maslahah siapa dan bagaimana al-mu’allafah qulûbuhum itu.
Terma wa fi al-riqâb mengandung makna tersendiri. Penggunaan kata
depan fi (harf al-jarr), bukan kata depan al-lam atau li, mengandung makna
bahwa dalam hal mustahiq budak, yang dijadikan sasaran bukanlah pribadi si
budak semata tetapi juga pranata perbudakan itu sendiri sebagai suatu pranata
sosial yang ada di tengah-tengah kehidupan suatu masyarakat.[26] Dengan
demikian, porsi harta zakat untuk golongan ini bisa didayagunakan untuk
program-program pemberdayaan status sosial orang-orang pinggiran, misalnya.
Dalam kaitan ini bisa dilakukan redefinisi dan reinterpretasi dengan pendekatan
maslahah.
Terma al-ghârimîn mengandung makna orang yang punya utang, yang
tidak berkemampuan membayarnya/melunasinya.[27]
Redefinisi dan reinterpretasi dengan pendekatan maslahah atas terma ini masih
dimungkinkan. Sebab, secara tekstual-syar’iy dan absolut tidak ditentukan di
dalam al-Quran dan Hadits.
Terma wa fi sabîl lillah mengandung makna tersendiri seperti halnya
terma wa fi al-riqâb. Penggunaan kata depan fi (harf al-jarr), bukan kata depan
al-lam atau li, mengandung makna bahwa dalam hal mustahiq sabîl lillah yang
dijadikan sasaran bukanlah orang pribadi yang melakukan tugas misi keagamaan, tetapi
juga pranata kelembagaan sosial yang melakukan tugas misi kebaikan secara luas.[28] Dalam
konteks ini terbuka untuk melakukan redefinisi dan reinterpretasi dengan
pendekatan maslahah.
Terma ibn al-sabîl mengandung makna orang musafir yang kehabisan
dukungan finansial.[29]
Redefinisi dan reinterpretasi dengan pendekatan maslahah atas terma ini juga
masih dimungkinkan. Hal demikian karena secara tekstual-syar’iy dan absolut
tidak ditentukan di dalam al-Quran dan Hadits. Dapat disimpulkan bahwa isu
interpretasi dan aplikasi berorientasi maslahah terhadap nash zakat punya peran
signifikan bagi redefinisi dan reinterpretasi asnâf mustahiq zakat dalam rangka
optimalisasi pendayagunaan zakat di era globalisasi ini.
Dalam Tafsir Jalalain[30] disebutkan
bahwa ayat tersebut di atas menyatakan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada
orang-orang selain mereka, dan tidak boleh pula mencegah zakat dari sebagian
golongan di antara mereka bilamana golongan tersebut memang ada. Selanjutnya
imamlah yang membagi-bagikannya kepada golongan-golongan tersebut secara
merata. Akan tetapi imam berhak mengutamakan individu tertentu dari suatu
golongan atas yang lainnya. Huruf lam yang terdapat pada lafazh “lil fuqara”
memberikan pengertian wajib meratakan pembagian zakat kepada setiap individu-individu
yang berhak. Hanya saja tidak diwajibkan kepada pemilik harta yang dizakati,
bilamana ia membaginya sendiri, meratakan pembagiannya kepada setiap golongan,
karena hal ini amat sulit untuk dilaksanakan. Akan tetapi cukup baginya
memberikannya kepada tiga orang dari setiap golongan. Tidak cukup baginya
bilamana ternyata zakatnya hanya diberikan kepada kurang dari tiga orang.
Demikianlah pengertian yang disimpulkan dari ungkapan jamak pada ayat ini.
Sunnah telah memberikan penjelasannya, bahwa syarat bagi orang yang menerima
zakat itu, antara lain ialah muslim, hendaknya ia bukan keturunan dari Bani
Hasyim dan tidak pula dari Bani Muthalib.
As-Sa’di menambahkan, bahwa
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ yaitu zakat dengan
alasan bahwa shadaqah yang sunnah tidak dikhususkan dengannya seorang di bawah
seseorang. Yaitu bahwa shadaqah ini hanya bagi yang disebutkan tadi bukan
selain mereka karena dibatasi oleh mereka dan mereka itu ada 8 asnaf.[31]
Para ulama berikhtilaf menngenai delapan golongan ini, apakah zakat
itu harus dibagikan kepada semua golongan atau kepada sebagiannya saja? Menurut
pendapat yang paling shahih tidak wajib mmeberikan zakat kepada semua golongan,
namun cukup menyerahkan kepada salah satu dari delapan golongan itu dan seluruh
zakat dapat diberikan kepadanya walaupun masih terdapat golongan yang lain.
Inilah pendapat Imam Malik dan sekelompok ulama salaf serta khalaf.[32]
Pertama dan yang kedua fuqara dan miskin. Pada posisi ini mereka
adalah dua jenis yang sama rata. Orang fakir itu lebih mmebutuhkan dari orang
miskin, karena Allah memulai dengan mereka. Tidak dimulai kecuali dengan yang
terpenting lalu penting. Ditafsirkan dengan yang tidak mendapatkan sesuatu atau
mendapatkan sebagian keperluannya tapi tidak sebagiannya.
Sedangkan al-miskin yang mendapatkan setengahnya atau lebih tepat
tidak mendapatkan kebutuhnnya secara sempurna, karena kalau ia mendapatkannya
pasti keadannya kaya. Mereka diberi zakat untuk menghilangkan kefakiran dan
kemiskinan mereka.[33]
Yang dimaksud dengan amylin ialah orang yang mengumpulkan dan
mengupayakan zakat. Mereka berhak memperoleh bagian zakat atas upayanya itu.
Orang yang dibujuk hatinya (muallaf) terbagi kedalam beberapa
kategori. Ada yang diberi supaya masuk Islam sebagaimana Nabi memberi kepada
Sofwan bin Umayyah. Golongan muallaf lainnya ialah orang yang diberi zakat
supaya Islamnya bagus dan hatinya kokoh, seperti Nabi memberikan seratus unta
dalam peristiwa Hunain kepada sekelompok orang yang menjadi teman dan pemuka
kaum ‘yang membebaskan diri’. Sehubungan dengan hamba sahaya, maka diriwayatkan
dari sebagian tabi’in yang dimaksud adalah hamba sahaya mukatab. Ibn Abbas dan
ulama lainnya berkata: boleh saja hamba sahaya yang baru dibebaskan itu diberi
zakat.
Yang dimaksud gharimin terbagi ke dalam beberapa kelompok. Di
antara mereka ada orang yang memikul beban berat atau menanggung unta yang
wajib dibayar sehingga melunaskan hartanya atau dia bangkrut untuk membayar
utangnya, atau dia menghabiskan hartanya dalam kemaksiatan kemudian dia
bertobat, maka orang-orang demikian dapat menerima zakat.
Adapun fi sabilillah di antaranya ialah orang yang berperang sedang
mereka tidak memiliki bagian dari pembagian untuk dewan pimpinan. Menurut Imam
Ahmad, Al-Hasan, dan Ishak, bahwa orang yang berhaji juga termasuk fi sabilillah,
karena ada hadits yang menerangkan hal itu.
Adapun Ibn sabil ialah orang yang berpergian melintasi berbagai
negeri. Dia tidak memiliki bekal dalam perjalanannya. Dia berhak menerima zakat
sekedar untuk memenuhi kebutuhannya hingga sampai di negerinya.[34]
QS. At-Taubah [9]: 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١٠٣)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.”
تُطَهِّرُهُمْ maksudnya zakat itu
membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta
benda.
تُزَكِّيهِمْ maksudnya zakat itu
menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta
benda mereka.
Menurut riwayat Ibn Jarir bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang
mengikatkan diri di tiang-tiang mesjid datang kepada Rasulullah saw seraya
berkata: "Ya Rasulullah, inilah harta benda kami yang merintangi kami
untuk turut berperang. Ambillah harta itu dan bagi-bagikanlah, serta
mohonkanlah ampun untuk kami atas kesalahan kami." Rasulullah menjawab:
"Aku belum diperintahkan untuk menerima hartamu itu." Maka turunlah
ayat ini. Perintah Allah SWT pada permulaan ayat ini ditujukan kepada
Rasul-Nya, yaitu agar Rasulullah saw mengambil sebagian dari harta benda mereka
itu sebagai sedekah atau zakat untuk menjadi bukti tentang benarnya tobat
mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari
dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk menyucikan
dari mereka dari sifat "cinta harta" yang mendorong mereka untuk mangkir
dari peperangan itu. Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan
diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda,
seperti kikir, tamak, dengki, dan sebagainya.
Di samping itu juga dapat dikatakan, bahwa penunaian zakat adalah
juga membersihkan harta benda yang tinggal sebab pada harta benda seseorang ada
hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan
sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat. Selama zakat itu belum
dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya
tetap bercampur dengan hak orang lain yang haram untuk dimakannya. Akan tetapi,
bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka bersihlah harta tersebut
dari hak orang lain.
Juga terkandung suatu pengertian, bahwa menunaikan zakat itu akan
menyebabkan timbulnya keberkatan pada harta yang masih tinggal, sehingga ia
tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka
harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkatan dan tidak akan
berkembang biak dengan baik, bahkan kemungkinan akan ditimpa malapetaka dan
menyusut sehingga lenyap sama sekali dari tangan pemiliknya sebagai hukuman
Allah SWT terhadap pemiliknya.
Perlu diketahui, bahwa walaupun perintah Allah swt. dalam ayat ini
pada lahirnya ditujukan kepada Rasul-Nya dan turunnya ayat ini ialah berkenaan
dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun ia juga berlaku terhadap
semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat kaum Muslimin untuk
melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu untuk menunggu zakat
tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat dan kemudian
membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerimanya. Dengan demikian, maka
zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina
kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya
dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat agar setelah
melakukan pemungutan dan pembagian zakat itu, mereka berdoa kepada Allah bagi
keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat karena doa tersebut akan menenangkan
jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan
dalam hati mereka bahwa Allah SWT benar-benar telah menerima tobat mereka. Pada
akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah SWT Maha Mendengar setiap ucapan
hamba-Nya, antara lain ucapan pengakuan dosa serta ucapan doa. Dan Allah Maha
Mengetahui semua yang tersimpan dalam hati sanubari hamba-Nya antara lain ialah
rasa penyesalan dan kegelisahan yang timbul karena kesadaran atas kesalahan
yang telah diperbuatnya.
2.
Hadits-Hadits
Zakat
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ أَعْرَابِيًّا
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دُلَّنِي عَلَى
عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ دَخَلْتُ الْجَنَّةَ قَالَ تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ
بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ وَتُؤَدِّي الزَّكَاةَ
الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومُ رَمَضَانَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا أَزِيدُ
عَلَى هَذَا فَلَمَّا وَلَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَلْيَنْظُرْ
إِلَى هَذَا
Dari Abu Hurairah ra.: Ada seorang Arab Badui menemui Nabi saw lalu
berkata, "Tunjukkan kepadaku suatu amal yang bila aku kerjakan akan
memasukkan aku ke dalam surga". Nabi saw bersabda: "Kamu menyembah
Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Kamu mendirikan
shalat yang diwajibkan. Kamu tunaikan zakat yang wajib. Kamu mengerjakan shaum
(puasa) bulan Ramadhan”. Kemudian orang Badui itu berkata, "Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, aku tidak akan menambah dari perintah-perintah
ini". Ketika hendak pergi, Nabi saw bersabda: "Siapa yang
berkeinginan melihat laki-laki penghuni surga maka hendaklah dia melihat orang
ini". (HR. Bukhari, No. 1397)[35]
Hadits sebagaimana redaksi di atas disebutkan dalam Shahih al-Bukhari
kitab Zakat, Bab wujub al-Zakat (Kewajban berzakat) hadits Nomor 1397, beliau
meriwayatkan hadis ini dari dua jalur. Pertama: dari jalur Muhammad bin
Abdurrahman beliau berkata; Affan bin Muslim memberitahukan kepada kami dan
berkata; Wuhaib memberi tahukan kepada kami (bahwa hadis ini) dari Yahya bin
Sa'id bin Hayyan dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah. Kedua: dari jalur Musaddad,
dari Yahya bin Hayyan beliau berkata; Abu Zur'ah memberitahukan kepada kami
dari Nabi Saw.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ
كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ
يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ
فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw telah bersabda:
"Barangsiapa yang bershadaqah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya
sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja,
maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya lalu mengasuhnya
untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya
hingga membesar seperti gunung". (HR. Bukhari, No. 1410 dan HR. Muslim,
No. 1014)[36]
Hadits ini juga dikuatkan oleh Sulaiman dari Ibn Dinar dan berkata,
Warqa' dari Ibn Dinar dari Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw.
Dan diriwayatkanoleh Muslim bin Abu Maryam dan Zaid bin Aslam dan Suhail dari
Abu Shalih dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw.
Hadits tersebut disimpulkan oleh para ulama zakat memiliki syarat
bahwa ia haruslah berasal dari harta yang didapatkan dengan cara yang halal.
Hadits diatas merupakan syarat yang harus di penuhi bagi mereka yang ingin
menunaikan zakat.
3.
IMPLEMENTASI
ZAKAT
Di Indonesia potensi zakat sangat besar sekali, yaitu mencapai 217
trilyun rupiah. Hal ini berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Asian
Development Bank (ADB) dan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Menurut Ketua
Umum Baznas, Didin Hafidhuddin, dana sebesar itu tentu bisa sangat bermanfaat
untuk mengatasi berbagai masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial di negara
ini (m.koran-jakarta.com, 19/8/2011).
Pada tahun 2009 dana zakat yang dikelola BAZNAS sebesar Rp1,2
triliun, naik menjadi Rp 1,5 triliun tahun 2010 dan naik lagi menjadi Rp 1,7
triliun tahun berikutnya, 2011. Menurut Ketua Umum BAZNAS, Didin Hafidhuddin,
zakat dapat digunakan untuk memotong mata rantai kemiskinan. BAZNAS mempunyai
banyak program kepedulian yang bukan saja bersifat konsumtif, namun juga
produktif (rmol.co, 15/7/2012). Lebih lanjut, Didin Hafidhuddin meyakinkan
bahwa zakat bisa menjadi solusi dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia
(beritabogor.com, 15/12/2011).[37]
Ada beberapa alasan mengapa zakat perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan
fiskal:
Ø Zakat dalam bidang moral mengikis habis ketamakan dan keserakahan
orang kaya;
Ø Keadilan distributif dan mencegah penumpukkan kekayaan pada
segelintir orang;
Ø Zakat adalah lembaga pertama dalam sejarah yang menjamin kehidupan
kemasyarakatan;
Ø Ada kemiripan antara instrumen zakat dengan pajak;
Ø Zakat dipandang sebagai bentuk ibadah yang tidak dapat digantikan
oleh model sumber pembiayaan negara apa pun dimana pun juga. Dalam sejarahnya
khalifah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat;
Ø Zakat hukumnya wajib, satu-satunya lembaga yang mempunyai otoritas
untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi adalah negara
lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak;
Ø Potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar;
Ø Zakat berpengaruh besar terhadap berbagai sifat dan cara pemilikan
harta benda. Harta yang tidak dizakati adalah harta yang kotor dan tidak
memiliki berkah;
Ø Zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran
pembangunan nasional. Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat jika disalurkan secara terprogram
dalam rencana pembangunan nasional;
Ø Agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif
sehingga mencapai tujuan zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup
masyarakat;
Ø Memberikan kontrol kepada pengelola negara;
Ø Memperluas basis muzakki;
Ø Meringankan APBN;
Ø Mayoritas penduduk Indonesia adalah Umat Muslim.
Dengan membayar zakat maka tingkat output yang menghasilkan laba
maksimum akan semakin kecil, sehingga secara mikro output yang dihasilkan akan
menurun dari Q* menuju Qz. Disinsentif inilah yang akan mendorong mereka untuk
memilih tingkat laba bersih yang paling tinggi. Jika tingkat laba antar usaha
relatif sama maka masyarakat akan memilih berpindah dari sektor dengan
tarifzakat tinggi menuju sektor dengan tarif zakat rendah. Secara umum tarif
zakat ini membawa misi transformasi ekonomi agar perekonomian bergerak dari
sektor primer yaitu pertambangan dan pertanian dasar menuju industri dan
perdagangan.
Penerapan zakat akan membawa perekonomian dari masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern, yaitu dari masyarakat pemburu (sektor
primer) menuju masyarakat pengolah (sektor industri manufaktur).
Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, instrumen zakat dikelola
oleh suatu badan yang terlembaga dan terorganisir. Disanalah semua ihwal dan
kompleksitas permasalahan yang berkenaan dengan zakat diselesaikan. Jadi,
mengikut apa yang dilakukan oleh Rasul tersebut akan lebih baik karena terbukti
bahwa pengelolaan zakat pada masa itu sukses dan lancar. Kesejahteraan Rakyat
dapat dirasakan. Atas dasar pertimbangan itulah keberadaan Badan Amil
Zakat (BAZ) dan lembaga-lembaga partikularis semacam LAZIS, DD, Rumah
Zakat, dan lainnya, dapat digunakan untuk mengatur pelaksanaan zakat secara
baik dan benar.
Perkembangan teranyar saat ini, zakat telah mengalami reformasi
konsepsi operasional zakat. Dana zakat tidak hanya dibagikan secara terbatas
kepada delapan golongan penerimaan zakat saja (mustahiq), tapi segmentasi dan
cover area-nya diperluas, meliputi segala upaya produktif, yang tidak hanya
diperuntukkan sebagai kaum dhu’afa, tetapi juga telah dikembangkan sebagai
upaya pemberdayaan ekonomi. Seyogianya, dalam aras implementasinya, mesti
mendapat supporting kuat secara multi dimensional, baik aspek politik, hukum,
dan ekonomi. Artinya, efektifitas zakat dapat berjalan jika ia didukung secara
multiaspek, sehingga suatu saat menjadi instumen kultural, yang tentunya sudah
membatin atau terinternalisasi dalam diri umat. Usaha mikro adalah bagian dari
gerakan ekonomi rakyat dan zakat adalah instrumen strategis dalam pemberdayaan
ekonomi rakyat, menjadi penting alokasi dan distribusi dana zakat diarahkan pada
penguatan usaha mikro. Hanya persoalannya, penguatan usaha mikro membutuhkan
dua aspek, yakni aspek finansial dan pendampingan. Dua aspek ini membutuhkan
mekanisme kelembagaan.
Umat Islam percaya bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Maka
pastilah mampu menata seluruh sistem kehidupan dari masa kenabian hingga akhir
zaman kelak. Maka, kepercayaan itu pastilah bukan sekadar keyakinan tanpa
pembuktian. Allah SWT telah menyediakan sistem tersebut. Manusialah yang
dituntut menerapkannya sehingga terlihat hasilnya dan terbukti bahwa sistem itu
benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Maka tantangan zakat ke depan adalah, pertama, sudahkah sistem
pengelolaan harta ini menjadi ruh umat Islam untuk kemudian diterapkan bukan
sekadar menjalankan kewajiban namun karena kesadaran untuk menjadi rahmat
seluruh alam?
Kedua, penyaluran zakat dituntut membangun mental mandiri sehingga
mustahik bisa menjadi muzakki, bukan sekadar memberi ikan tanpa memahami
bagaimana menggunakan kail. Ini menuntut kerja-kerja pemberdayaan umat agar
mampu membawa mereka pada kemandirian ekonomi (qodirun ‘alal kasbi).
Ketiga, amil zakat yang profesional tentu menjadi kebutuhan yang
penting untuk menjamin dua poin di atas terlaksana, yakni penyadaran dan
pemberdayaan. Amil zakat tidak hanya memungut zakat, namun mampu menyadarkan
dan memberdayakan masyarakat.
Bila zakat sebagai salah satu sistem kehidupan Islam mampu menjawab
tantangan ini, pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak akan membutuhkan waktu
yang lama. Jauh dari itu semua, konsep Islam akan semakin terbuka untuk
diterima sebagai sistem hidup seluruh manusia.[38]
C. Perbedaan
Metode Maudhu’i (Tematik) Dengan Metode Tafsir Lainnya.
1. Perbedaan
Metode Maudhu’i (Tematik) dengan Metode Tahlili
Metode
Tahlili
|
Metode Maudhu’i (Tematik)
|
Mufassir
terikat dengan susunan ayat sebagaimana tercantum dalam mushaf.
Mufassir
berusaha berbicara menyangkut beberapa tema yang ditemukan dalam satu ayat.
Mufassir
berusaha menjelaskan segala sesuatu yang ditemukan dalam satu ayat.
Sulit
ditemukan tema-tema tertentu yang utuh
Sudah dikenal
sejak dahulu dan banyak digunakan dalam kitab-kitab tafsir yang ada.
|
Mufassir tidak terikat dengan susunan ayat dalam mushaf, tetapi lebih
terikat dengan urutan masa turunya ayat, atau kronologi kejadian.
Mufassir tidak berbicara tema lain selain tema ysng sedang dikaji.
Oleh karena itu, ia dapat mengangkat tema-tema Al-qur’an yang
masing-masing berdiri sendiri dan tidak bercampur aduk dengan tema-tema lain.
Mufassir tidak membahas segala permasalahan yang dikandung oleh satu
ayat. Tetapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
Mudah untuk menyusun tema-tema al-qur’an yang berdiri sendiri.
Walaupun benihnya
ditemukan sejak dahulu, sebagai sebuah metode penafsiran yang jelas dan utuh
baru dikenal belakangan saja.
|
2. Perbedaan
Metode Maudhu’i (Tematik) dengan Metode Muqaran
Metode Muqaran
|
Metode Maudhu’i
|
Mufassir
menjelaskan al-Qur’an dengan apa saja yang ditulis oleh para mufassir.
Mufassir
terikat dengan uraian para mufassir
|
Mufassir
tidak berbicara tema lain selain tema yang sedang dikaji.
Mufassir
tidak terikat dengan uraian para mufassir
|
D.
Kekurangan
Dan Kelebihan Tafsir Maudhu’i
Ø Kelebihan metode tafsir maudhu’i
antara lain:
1. Menjawab tantangan zaman: Permasalahan
dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan
kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode
penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini
diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
2. Praktis dan sistematis: Tafsir dengan
metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha
memecahkan permasalahan yang timbul.
3. Dinamis: Metode tematik membuat tafsir
al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image
di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi
dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan starata
sosial.
4. Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan
ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an
dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode
tafsir yang dikemukakan di muka. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk
pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.
Ø Kekurangan metode tafsir maudhu’i
antara lain:
1. Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud
memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat
atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk
tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam
satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat misalnya, maka mau tidak
mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf
agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
2. Membatasi pemahaman ayat: Dengan
diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada
permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir
terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau
dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu
bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan
diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari
permata tersebut.[40]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan studi
tentang al-Qur'an, yang bertujuan untuk menggali isi dan maksud dari al-Qur'an
sebagai pedoman dan aturan hidup manusia. Ternyata sudah berlangsung
berabad-abad dan terus saja berkelanjutan sampai sekarang ini.
Tafsir maudhu’i sebagai metode
terbaru, ternyata lebih relevan mengantarkan kita untuk mendapatkan
solusi yang diperlukan bagi masalah-masalah praktis di tengah-tengah
masyarakat. Dengan demikian, hasil tafsir ini memberikan kemungkinan bagi kita untuk
menjawab tantangan hidup yang selalu berubah dan berkembang.
Kelebihan metode tafsir maudhu’i
antara lain Menjawab tantangan zaman,Praktis dan sistematis,Dinamis,Membuat
pemahaman menjadi utuh. Kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain
Memenggal ayat al-Qur’an,Membatasi pemahaman ayat.
[1] http://pirac.org/wp-content/uploads/2012/05/Press-Release-Seminar-Zakat.pdf, diakses pada
hari selasa 22 Mei 2018 pukul 12.00 WIB
[2]https://id.scribd.com/doc/39013515/Tafsir-Maudhu-i-Zakat-Dalam-Perspektif-al-Qur-an-Oleh-M-Syafi-i-WS-al-Lamunjani-Makalah-2009 diakses pada hari Selasa, 22 Mei 2018 Pukul 11.22 WIB
[3]
https://acehkrak.blogspot.co.id/2016/01/makalah-tafsir-maudhui.html diakses pada hari
Selasa, 22 Mei 2018 pukul 15.00 WIB
[13]
Ibid
[31]
Abdurrahman bin Nashir bin Abdillah as-Sa’di, Taisirul Karim Rahman Fi Tafsiril
Kalamil Manan, (Arab Saudi: Muassasah Risalah, 2000), hlm. 341
[32]
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taysir Al-Aliyyil Qadhir Li Ikhtishar Tafsir Ibn Katsir. Terj.
Syihabuddin, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 623.
[35] Shahih Bukhari, Kitab az-Zakat, Bab Wujub az-Zakat, dan Hadits
Riwayat Imam Muslim, Kitab al-Aiman, Bab al-Aiman al-Ladzi Yadkhulul Zannata,
No. 15.
[37]
http://antoapriyanto.blogspot.co.id/2013/04/konsep-zakat-dalam-perspektif-tafsir.html diakses pada
hari jum’at 25 Mei 2018 pukul 15.30 WIB
[38]
Di Mana Peran Zakat
dalam Mengentas Kemiskinan?”, http://zakat.pkpu.or.id
diakses pada hari kamis 24 Mei 2018 pukul 09.00 WIB
[39]
https://acehkrak.blogspot.co.id/2016/01/makalah-tafsir-maudhui.html diakses pada hari
Selasa, 22 Mei 2018 pukul 15.00 WIB
Komentar
Posting Komentar