TAFSIR KEBIJAKAN FISKAL "WAKAF" (ULFATUZAHROH 1617202124)



TAFSIR KEBIJAKAN FISKAL
DARI KALANGAN MUSLIM
“WAKAF”



 









Mata Kuliah : Tafsir Al Quran dan Hadits Ekonomi Makro
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Naqiyah, M.Ag.


Disusun Oleh :

                                 Ulfatuzahroh                                                 (1617202124)

PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN PURWOKERTO
2018






          A.    PENDAHULUAN
Kebijakan fiskal merupakan salah satu topik pembahasan utama dalam kajian-kajian ekonomi, termasuk kajian ekonomi Islam. Dalam kajian ekonomi Islam, Kebijakan fiskal telah dikenal  sejak zaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin yang kemudian dikembangkan oleh para ulama.  Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran dan belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. [1]
Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang.  Wakaf adalah salah satu sumber penerimaan negara dari kalangan muslim pada masa Rasulullah.[2] Salah satu dari bentuk ibadah untuk mendekatkan diri  pada Allah SWT yang berkaitan dengan harta benda adalah wakaf. Amalan wakaf sangat besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Oleh karena itu, Islam meletakkan amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yang amat digembirakan.
Dalam makalah ini akan dibahas dasar hukum wakaf sebagai sumber penerimaan negara pada masa Rasululloh dan menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan wakaf.

   B.      Pengertian Wakaf
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah  (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).
Menurut Mundzir Qahaf, wakaf adalah memberikan  harta atau pokok benda yang produktif terlepas dari campur  tangan pribadi, menyalurkan hasil dan manfaatnya secara  khusus sesuai dengan tujuan wakaf, baik untuk kepentingan  perorangan, masyarakat, agama atau umum.[3]
Wakaf menurut hukum Islam dapat juga berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun berupa badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan syariat Islam, misalnya:
a.    Lahan yang ditanami di Daulah Turki Utsmani 75% adalah tanah wakaf.
b.    Pada masa penjajahan Perancis di Aljazair pertengahan abad 19, separuh dari lahan yang ada adalah tanah wakaf.
c.    Di Tunisia pada abad ke-19, sepertiga lahan yang ada adalah tanah wakaf.
d.    Di Mesir pada tahun 1949, sekitar seperdelapan dari lahan pertanian adalah tanah wakaf. Di Iran pada tahun 1930, sekitar 30% lahan yang ditanami adalah tanah wakaf.[4]
Fungsi wakaf adalah untuk mewujudkan potensi dari manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentinganan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Wakaf memiliki fungsi sosial yang besar yaitu, aset yang sangat bernilai dalam pembangunan. Peranannya dalam pemerataan kesejahteraan di kalangan umat dan penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu sasaran wakaf.[5]





     C.    Metode Tafsir Ayat yang berkaitan dengan Wakaf
Dalam makalah ini penulis menggunakan metode tafsir yaitu dengan menggunakan tafsir tahlili.
Tafsir tahlili adalah penafsiran ayat Al- Qur’an dari segala seginya dengan mengikuti urutan mushaf dengan meneliti arti mufradat-nya, kandungan makna, dan tujuan pembicaraannya di dalam tiap-tiap susunan katanya, munasabat antar ayat-ayatnya, menggunakan bantuan asbab al-nuzul, sunah Rasul, aqwal sahabah dan tabi’in.[6]

    D.    Tafsir dan Dasar Hukum Wakaf
Secara umum tidak terdapat ayat Al Qur’an yang menerangkan konsep wakaf secara konkrit tekstual. Wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:[7]
a.       Tafsir Q. S Al Baqarah Ayat 261


“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui” (QS Al Baqarah: 261)
Ayat ini turun menyangkut kedermawanan Utsman Ibn ’Affan dan Abdurrahman Ibn ’Auf ra. yang datang membawa harta mereka untuk membiayai perang Tabuk. Ayat ini turun menyangkut mereka, bukan berarti bahwa ia bukan janji Allah terhadap setiap orang yang menafkahkan hartanya dengan tulus. Ayat ini berpesan kepada yang berpunya agar tidak merasa berat membantu, karena apa yang dinafkahkan akan tumbuh berkembang dengan berlipat ganda.[8]
Allah membuat perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah dengan sebutir benih sebagaimana yang disifatkan oleh Allah dalam ayat tersebut. Frasa في سبيل الّله ditafsirkan oleh ‘Abduh dengan kemaslahatan umat yang dapat menghantarkan  kepada Keridhoan-Nya, apalagai manfaatnya menyeluruh dan efeknya sangat membekas. Perumpamaannya seperti manabur bibit di tanah yang subur sehingga menghasilkan hasil yang berlipat ganda. Adapun segi persamaan antara “menginfakkan harta di jalan Allah” dengan “sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji” karena mereka yang menginfakkan hartanya di jalan Allah akan mendapatkan ganjaran di dunia yang berlipat ganda sebagaimana menabur benih di tanah yang subur.[9] Dalam ayat ini dapat ditafsirkan bahwa wakaf adalah  salah satu jalan untuk menafkahkan harta di jalan Allah (fi sabilillah),  meskipun tidak disebutkan secara jelas, namun wakaf termasuk ke dalam bagian cara menginfakan harta.
Membelanjakan harta dengan tujuan yang benar dan mendapat ridha Allah atau dengan kata lain memberikan harta tanpa kompensasi apapun kepada para fakir miskin, orang-orang yang sangat memerlukan dan untuk kebaikan serta bermanfaat bagu orang lain, dengan semata-mata karena Allah swt dan dilandaskan hanya niat untuk dijalan Allah (fi sabilillah). Dan wakaf adalah salah satu cara membelanjakan harta di jalan Allah.
Pada akhir ayat ini Allah s.w.t. menyebutkan dua sifat di antara sifat-sifat-Nya, yaitu Maha Luas dan Maha Mengetahui. Maksudnya, Allah Maha Luas rahmat-Nya kepada hamba-Nya, karunia-Nya tak terhitung jumlahnya. Dan Maha Mengetahui siapakah di antara hamba-hamba-Nya yang patut diberi pahala yang berlipat-ganda, yaitu mereka yang suka menafkahkan harta bendanya untuk kepentingan umum, untuk menegakkan kebenaran, dan untuk kepentingan pendidikan bangsa dan agama, serta keutamaan-keutamaan yang akan membawa bangsa itu kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Apabila nafkah-nafkah semacam itu telah menampakkan hasilnya untuk kekuatan agama dan kebahagiaan bangsa, maka orang-orang yang bernafkah itu pun akan dapat pula menikmatinya.

b.      Tafsir QS Ali Imran Ayat 92


“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran: 92)
Pertama, lafadz `s9 dalam ayat tersebut memberikan suatu keharusan atau keniscayaan. Artinya jika harta tidak disedekahkan maka tidak akan mencapai ŽÉ9ø9$# atau kebaikan yang sempurna. Jadi dari keharusan tersebut umat islam satu sama lain akan memiliki kasih sayang melalui sedekah.
Kedua, pada ayat tersebut memerintahkan umat islam untuk menafaqohkan sebagian hartanya. Dalam ayat tersebut tidak hanya harta biasa akan tetapi harta yang dicintainya. Serta dalam lafadz  cq6ÏtéB adalah jama’ taksir atau memiliki makna dari harta-hartamu yang kamu cintai.
Ketiga, dalam ayat tersebut karena menyebutkan tuhibbun maka harta yang disedekahkan adalah harta yang masih bagus, bukan harta atau barang yang sudah buruk atau jelek yang disedekahkan.
Keempat, selain itu ayat tersebut mengajarkan untuk ikhlas. Karena lafadz tuhibbun adalah harta yang dicintai, jadi harta yang dikeluarkan untuk sedekah harus diikhlaskan selakipun kita mencintainya.[10]
Sabab Nuzul ayat tersebut adalah, Seperti diterangkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchori, Muslim, Tarmidzi, dan An-Nasa’i, yang diterima dari Anas bin Malik, Beliau menrangkan:
Abu Tholhah diantara salah seorang Sahabat Nabi yang paling banyak memiliki kebun kurmanya di Madinah, salah satunya kebun kurma Bairuha, kebun tersebut berhadapan dengan Masjid tempat Nabi sembahyang dan Nabi sering keluar masuk memakan kurma tersebut dan meminum airnya yang harum.
Ketika turun ayat tersebut (Ali Imran : 92)  Tholhah langsung mendatangi Rasull lalu ia berkata, :Ya Rasulullah, sesungguhnya kekayaan yang sangat kucintai yaitu kebun kurma Bairuha, karena ada perintah dari Allah melalui ayat tadi, kusedekahkan bairuha ini kepadamu Ya Rasulullah.
Mendengar ucapan Abu Tholhah, Rasulullah berkata, wahai Tholhah sungguh engkau beruntung, kebun kurma itu membawa keberuntungan, kalau begitu alangkah baiknya disedekahkan kebun kurma itu kepada karib kerabatmu. Timpal Abu Tholhah, ya Rasulullah akan kusedekahkan harta itu sesuai dengan petunjukmu Ya Rasulullah.
Kemudian dalam Riwayat Abi Hatim dari Muhammad bin Al-Munkodir, beliau berkata, bahwa ketika turun ayat Ali Imran ke 92, datang sahabat Zaid bin Haritsyah membawa seekor kuda yang bernama Sibul, Zaid tidak memiliki lagi kekayaan lain selain kuda itu.
Beliau berkata, Ya Rasulullah saya datang akan menyerahkan kuda ini untuk kepentingan agama, Rasull menjawab “Aku menerima sedekahmu” wahai Zaid.
Selanjutnya oleh Rasulullah ditunggangkan diatas punggung kuda itu Usamah bin Zaid anaknya Zaid, lantas Rasull melihat muka Zaid agak muram masih merasa berat hati melepaskan kuda kesayangannya. Namun Rasulullah melanjutkan perkataannya. Sesungguhnya Allah telah menerima sedekah engakau Zaid.[11]

حَدَّ ثَنَا يَحْيَ بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ يَعْنِي ابنَ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّ ثَنَا إِسْمَعِيلُ هُوَابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّامِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعٌ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُولهُ

“Rasulullah SAW bersabda: “Apabila manusia meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya.”(H.R Muslim)
Dalam hadis tersebut disebutkan apabila manusia meninggal amal yang masih mengalir salah satunya adalah sedekah jariyah. Wakaf termasuk sedekah jariyah karena barang yang diwakafkan digunakan untuk kepentingan masyarakat atau digunakan untuk kegiatan yang bermanfaat.
Meskipun dalil yang menjadi dasar wakaf tidak menyebutkan secara jelas wakaf itu, namun ayat-ayat yang menjadi dasar hukum tentang wakaf sudah cukup menerangkan keutamaan wakaf .
Pada perkembangannya, wakaf kini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Islam, dan menjadi penunjang utama dalam kehidupan masyarakat. Hal ini bisa dilihat bahwa hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam dibangun di atas tanah wakaf. Dan satu kemajuan yang sangat signifikan bagi umat Islam, ketika dikeluarkannya Undang-Undang Perwakafan yaitu UU No. 41 tahun 2004.[12]
Wakaf sebagai satu instrumen ekonomi dalam  kehidupan  Muslim yang mempunyai tujuan untuk mensejahterakan masyarakat.  Wakaf juga dipandang sebagai sebentuk instrumen unik yang lebih  mendasarkan pada unsur kebijakan (birr), kebaikan (ihsan) dan  persaudaraan (ukhuwah). Sehingga mengeluarkan wakaf selain  beribadah juga mempunyai dimensi membantu saudara yang membutuhkan.[13]

   E.     PENUTUP
Wakaf memiliki kedudukan yang sangat penting seperti halnya zakat dan sedekah. Wakaf mengharuskan seorang muslim untuk merelakan harta yang diberikan untuk digunakan dalam kepentingan ibadah dan kebaikan. Harta wakaf yang sudah diberikan sudah bukan menjadi hak milik pribadi melainkan menjadi hak milik umat. Membelanjakan harta di jalan Allah, ganjarannya sangat besar karena manfaat harta itu yang terus mengalir karena digunakan untuk kepentingan masyarakat semata-mata demi kepedulian sosial.Seperti yang sudah di jelaskan pada QS Al Baqarah: 261, QS Ali Imran: 92 dan hadis Rasulullah.




DAFTAR PUSTAKA


Fahmi Medias. Wakaf Produktif Dalam Perspektif Ekonomi Islam.( Vol IV. No. 1. 2010.) hlm. 70
Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan umat di Indonesia, (Analisis, Volume XVI, Nomor 1, Juni 2016)
Dr. Naqiyah Mukhtar, M. Ag. ULUMUL QUR’AN. (Purwokerto: STAIN Press). hlm. 174
Iskandar Putong, Pengantar Mikro dan Makro Edisi 5, (Jakarta:  Mitra Wacana Media, 2013)
Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam, (Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008)
Muhammad, Ekonomi Islam, (Jakarta:  Salemba empat, 2002).
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press), hlm. 27.
Nunung Lesmana, Wakaf Dalam Tafsir Al-Manar, Vol. 1. No. 2. hlm. 203.
Suhrawardi K. Lubis. Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika dengan UMSU publisher,2010. hlm. 22 – 23.



[1] Iskandar Putong, Pengantar Mikro dan Makro Edisi 5, (Jakarta:  Mitra Wacana Media, 2013)
[2] Muhammad, Ekonomi Islam, (Jakarta:  Salemba empat, 2002).
[3] Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan umat di Indonesia, (Analisis, Volume XVI, Nomor 1, Juni 2016)
[4] Lilik Rahmawati, Kebijakan Fiskal dalam Islam, (Al-Qānūn, Vol. 11, No. 2, Desember 2008)
[5] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press), hlm. 27.
[6] Dr. Naqiyah Mukhtar, M. Ag. ULUMUL QUR’AN. (Purwokerto: STAIN Press). hlm. 174
[7] Fahmi Medias. Wakaf Produktif Dalam Perspektif Ekonomi Islam.( Vol IV. No. 1. 2010.) hlm. 70
[9]  Nunung Lesmana, Wakaf Dalam Tafsir Al-Manar, Vol. 1. No. 2. hlm. 203.
[11] Suhrawardi K. Lubis. Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika dengan UMSU publisher,2010. hlm. 22 – 23.
[12]  Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan umat di Indonesia, (Analisis, Volume XVI, Nomor 1, Juni 2016)
[13] Darwanto, Wakaf Sebagai Alternatif Pendanaan Penguatan Ekonomi Masyarakat Indonesia,(Jurnal Ilmu Manajemen dan Akuntansi Terapan, Vol 3 Nomor 1, Mei 2012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS UNIVARIAT, BIVARIAT DAN MULTIVARIAT

Penerapan Statistika Dalam Kehidupan Sehari-hari (Fitri Hidayatuz Zahroh)

Distribusi Poisson dan Penerapannya Dalam Kehidupan Sehari-hari