Permintaan Dalam Perspektif Ekonomi Islam
Nama : Putri Ayu
Permatasari
NIM :
1617202115
Kelas : 4
Perbankan Syariah C
Fakultas : Ekonomi
dan Bisnis Islam (FEBI)
Mata Kuliah : Tafsir Hadits
Iqtishad II
Permintaan Dalam Perspektif Ekonomi Islam
A. Pendahuluan
Dalam
makalah ini, saya akan menulis dan membahas ayat Al-Qur’an ataupun hadits yang
digunakan dalam tugas makalah kelompok saya. Dalam tulisan di makalah tersebut
saya akan mengambil bagian pembahasan dengan sub bagian Permintaan
Agregat dalam Islam. Kemudian, seberapa pentingkah pembahasan tentang Permintaan
Agregat dalam Islam.
Dalam kajian ekonomi secara mikro, pembahasan
didasarkan pada perilaku individu sebagai pelaku ekonomi yang berperan
menentukan tingkat harga dalam proses mekanisme pasar. Mekanisme pasar itu
sendiri adalah interaksi yang terjadi antara permintaan (demand) dari
sisi konsumen dan penawaran (supply) dari sisi produsen, sehingga harga
yang diciptakan merupakan perpaduan dari kekuatan masing-masing pihak tersebut.
Oleh karena itu, maka perilaku permintaan dan penawaran merupakan konsep dasar
dari kegiatan ekonomi yang lebih luas.
Pandangan ekonomi Islam terhadap permintaan, relatif
sama dengan ekonomi konvensional ,namun terdapat batasan-batasan dari hukum
Islam untuk berperilaku yang sesuai dengan aturan syariah. Dalam ekonomi islam,
norma dan moral islami yang merupakan prinsip islam dalam ber-ekonomi,
merupakan faktor yang menentukan suatu individu maupun masyarakat dalam
melakukan kegiatan ekonominya sehingga teori ekonomi yang terjadi menjadi
berbeda dengan teori pada ekonomi konvensional. Kemudian, untuk menafsirkan ayat al-Qur’an ataupun hadits,
saya menggunakan metode Tafsir Muqarin.
Tafsir
Muqarin adalah
menjelaskan ayat al-Qur’an dengan menggunakan cara komparasi. Objek kajian
tafsir dengan metode ini dapat dikelompokkan menjadi tiga : Perbandingan ayat
al-Qur’an dengan ayat yang lain; Perbandingan ayat al-Qur’an dengan Hadits; dan
Perbandingan tafsir al-Qur’an dari para musafir, baik menyangkut tafsirannya,
metodenya, dan lain-lainnya.
Al-Farmawi menyatakan tafsir muqarin adalah menjelaskan ayat al-Qur’an
menurut apa yang ditulis oleh golongan mufasir dengan meneliti pendapat mereka
dalam kitab-kitabnya. Kemudian, penafsiran masing-masing dibandingkan untuk
mencari persamaan dan perbedaannya, faktor-faktor penyebabnya, dan yang
mempengaruhinya.
Adapun kelebihan metode tafsir muqarin adalah sebagai berikut :
1. Memberikan wawasan yang luas
2. Membuka diri untuk selalu bersikap
toleran
3. Dapat mengetahui berbagai penafsiran
4. Membuat mufasir lebih berhati-hati
Adapun kelemahan metode tafsir muqarin adalah sebagai berikut :
1. Metode ini tidak dapat diberikan kepada
pemula, seperti mereka yang sedang belajar di tingkat sekolah menengah ke
bawah.
2. Metode ini kurang dapat diandalkan untuk
menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal ini
disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan
masalah.
3. Metode ini terkesan lebih banyak
menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada
mengemukakan penafsiran baru.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Permintaan Agregat
Agregate demand (permintaan agregat) adalah jumlah barang dan jasa yang akan
dibeli oleh konsumen, perusahaan dan pemerintah, pada tingkat harga tertentu,
jumlah pendapatan tertentu, serta variabel-fariabel ekonomi tertentu lainya.
Dengan demikian permintaan agregat bisa digunakan untuk mengukur berapa besar
jumlah yang dikeluarkan oleh berbagai
pihak yang berkecimpung dalam perekonomian,. Unsur-unsur yang mendorong jumlah
permintaan agregat cukup banyak, termasuk di dalamnya tingkat harga, jumlah
pendapatan masyarakat, perkiraan atau harapan atas situasi yang akan datang,
demikian juga variabel-variabel kebijakan seperti sistem perpajakan, pembelian
yang dilakukan pemerintah, atau jumlah uang beredar. dapat di definisikan
sebagai tingkat pengeluaran yang akan dilakukan dalam ekonomi pada berbagai
tingkat harga.
2.
Pengertian Permintaan Agregat dalam Konsep Islam
Konsep permintaan dalam
islam menilai suatu komoditi (barang atau jasa) tidak semuanya bisa dikonsumsi
maupun digunakan, dibedakan antara yang halal dengan yang haram. Oleh karena
itu, dalam teori permintan Islami membahas permintaan barang halal, sedangkan
dalam permintaan konvensional, semua komoditi dinilai sama, bisa dikonsumsi dan
digunakan.
Dasar hukum mengenai permintaan agregat dalam Islam,
yaitu terdapat dalam QS. AL-Maidah : 87-88.
يَاِ
اَيُّهَاالَّذِ يْنَ آ مَنُوْالَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبَاتِ مَا اَحَلَّ اللهُ
لَكُمْ وَلَاتَعْتَدُوْا,اِنَّاللهَ
لَايُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ (87) وَكُلُوْامِمَّا
رَزَقَكُمُ اللهُ حَلَالاً طَيِّبًا,وَّاتَّقُوْاللهَ الَّذِيْ اَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ (88(
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang telah dihalalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (87). Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah Yang kamu beriman kepada-Nya (88)”
Menurut Ibnu Taimiyah,
permintaan suatu barang adalah hasrat terhadap sesuatu, yang digambarkan dengan
istilah raghbah fil al-syai. Yang diartikan sebagai jumlah barang yang
diminta. secara garis besar, permintaan dalam ekonomi Islam sama dengan ekonomi
konvensional, namun ada batasan batasan tertentu yang harus diperhatikan oleh
individu muslim dalam keinginannya. Islam mengharuskan untuk mengkonsumsi
barang yang halal lagi thoyyib. Aturan Islam melarang seorang muslim memakan
barang yang haram, kecuali dalam keadaan darurat dimana apabila barang tersebut
tidak dimakan, maka akan berpengaruh pada kesehatan muslim tersebut.
Selain itu, dalam
ajaran Islam orang yang mempunyai banyak uang tidak diperbolehkan membelanjakan
uangnya semau hatinya. Batasan anggaran belum cukup untuk membatasi konsumsi.
Batasan lain yang perlu diperhatikan adalah seorang muslim tidak boleh
berlebihan (ishrof), dan harus mengutamakan kebaikan (maslahah) islam tidak
menganjurkan permintaan suatu barang dengan tujuan kemegahan, kemewahan,
kemubadziran. Bahkan Islam memerintahkan bagi yang sudah mencapai nishab, untuk
menyisihkan dari anggarannya untuk membayar zakat, infaq, dan shodaqoh.
Permintaan agregat adalah keseluruhan permintaan terhadap barang
& jasa oleh pengguna dalam ekonomi. Permintaan agregat menunjukkan
hubungan antara keseluruhan permintaan terhadap barang-barang dan jasa
sesuai dengan tingkat harga. Permintaan agregat adalah suatu daftar dari
keseluruhan barang dan jasa yang akan dibeli oleh sektor-sektor ekonomi pada
berbagai tingkat harga. Permintaan agregat dapat ditampilkan dengan menggunakan
kurva atau tabel yang menunjukkan berbagai jenis barang dan jasa yang dibeli
secara kolektif pada tingkat harga tertentu.
Faktor-faktor yang menyebabkan kurva permintaan agregat ber-slope
negatif adalah salah satunya dampak harga bunga efek. Harga bunga ditujukan karena perubahan tingkat harga mempengaruhi harga
bunga. Efek ini mempengaruhi produksi dan investasi. Cara memilih jalan
yang terbaik untuk investasi yaitu Islam sangat menekankan agar setiap para
investor berlaku profesional dalam mengelola sumber-sumber modal yang telah
dimudahkan oleh Allah Azza wa jalla padanya, sehingga dia dapat
menggunakannya pada objek yang tepat serta menginventasikan modal yang dimiliki
untuk hal-hal yang dibolehkan dalam berinvestasi.
Allah Ta ‘ala berfirman dalam QS.
An-Nisa’ : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩)
Artinya
: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’: 29)
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sesama
mereka secara bathil, yakni melalui aneka jenis usaha yang tidak disyari’atkan
seperti riba dan judi serta beberapa jenis tipu muslihat yang sejalan dengan
kedua cara itu, walaupun sudah jelas pelarangannya dalam hukum syara’, seperti
yang dijelaskan Allah bahwa orang yang melakukan muslihat itu dimaksudkan untuk
mendapatkan riba. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ihwal seseorang yang
membeli pakaian dari orang lain. Penjual berkata, “ Jika kamu suka, ambillah.
Jika kamu tidak suka, kembalikanlah disertai 1 dirham.” Ibnu Abbas berkata, “
Itulah praktik yang karenanya Allah berfirman, “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan batil.”
Allah Ta’ala berfirman, “Kecuali dengan perdagangan secara suka sama
suka diantara kamu.” Maksudnya, janganlah kamu melakukan praktik-praktik
yang diharamkan dalam memperoleh harta kekayaan, namun harus melalui
perdagangan yang disyari’atkan dan
berdasarkan kerelaan antara penjual dan pembeli. Selanjutnya Allah Ta’ala juga
berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” dengan cara
melakukan berbagai perkara yang diharamkan Allah, mendurhakai-Nya, dan memakan
harta sesama kamu dengan cara yang batil.” Sesungguhnya Allah maha penyayang
terhadapmu” jika Dia menyuruhmu melakukan sesuatu dan melarangmu dari
sesuatu. Ayat ini merupakan landasan dasar tentang tata cara berinvestasi yang
sehat dan benar.
Dalam melakukan investasi seorang pengusaha atau pebisnis hendaklah
memperhatikan usaha dan bisnis yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan didalam
Islam telah mengatur investasi yang
dibolehkan menurut syari’ah dan yang tidak diperbolehkan. Sehingga dengan
adanya investasi syari’ah maka tidak ada lagi perlakuan zholim dalam berbisnis.
3. Metode Tafsir Muqarin
Tafsir
Muqarin adalah
menjelaskan ayat al-Qur’an dengan menggunakan cara komparasi. Objek kajian
tafsir dengan metode ini dapat dikelompokkan menjadi tiga : Perbandingan ayat
al-Qur’an dengan ayat yang lain; Perbandingan ayat al-Qur’an dengan Hadits; dan
Perbandingan tafsir al-Qur’an dari para musafir, baik menyangkut tafsirannya,
metodenya, dan lain-lainnya.
ü Perbandingan ayat al-Qur’an dengan ayat
yang lain ;
Di bawah
ini merupakan QS. Al-A’raf : 31 yang memiliki keterkaitan atau berkaitan dengan
QS. Al-Maidah : 87-88 yang merupakan redaksi dari topik pembicaraan saya dalam
makalah ini.
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ
عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا
يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah
di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf : 31)
Kita bisa melihat dari dua contoh
ayat yang berbeda namun memiliki makna dan arti yang sama. Dalam QS. Al-Maidah
ayat 87-88 dijelaskan bahwa Islam mengharuskan
untuk mengkonsumsi barang yang halal lagi thoyyib. Aturan Islam melarang
seorang muslim memakan barang yang haram, kecuali dalam keadaan darurat dimana
apabila barang tersebut tidak dimakan, maka akan berpengaruh pada kesehatan
muslim tersebut.
Sedangkan dalam QS. Al-A’raf ayat 31 dijelaskan bahwa larangan untuk tidak
menggunakan sesuatu dengan cara yang berlebihan karena Allah SWT tidak suka
dengan sesuatu yang berlebihan. Yaitu ketetapan-Nya dalam hal tindakan penghalalan atau pengharaman
orang-orang yang melampaui batas ketika menghalalkan dengan penghalalan yang
haram atau pengharaman yang halal, di mana Allah mewajibkan agar menghalalkan
apa yang Allah halalkan dan mengharamkan apa yang Allah haramkan, sebab yang
demikian itu merupakan keadilan yang diperintahkan-Nya.
ü Perbandingan ayat al-Qur’an dengan ayat
yang lain ;
Di bawah
ini merupakan QS. Al-Hasyr : 18 yang memiliki keterkaitan atau berkaitan dengan
QS. Al-Nisa’ : 29 yang merupakan redaksi dari topik pembicaraan saya dalam
makalah ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ
ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr : 18)
Kita bisa melihat dari dua contoh
ayat yang berbeda namun memiliki makna dan arti yang sama. Dalam QS. An-Nisa’
ayat 29 dijelaskan bahwa Allah Ta’ala melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sesama mereka secara bathil, yakni
melalui aneka jenis usaha yang tidak disyari’atkan.
Sedangkan dalam QS. Al-Hasyr ayat 18 dijelaskan bahwa hendaknya setiap
muslim memperhatikan apa yang akan ia kerjakan atau perbuat, karena
sesungguhnya Allah mengetahui segala perbuatan yang dilakukan setiap umatnya.
Jika kedua surat itu disandingkan dapat ditarik keterkaitan yaitu pada QS
An-Nisa’ ayat 29 dijelaskan bahwa larangan untuk memakan harta sesama mereka
secara bathil, dan pada QS Al-Hasyr ayat 18 dijelaskan bahwa Allah mengetahui
segala perbuatan yang dilakukan oleh hamba-Nya dan hendaknya selalu
memperhatikan apa yang telah diperbuatmya untuk di akhirat kelak.
C. Tafsir Al –Qur’an
1. QS. Al - Maidah ayat 87 – 88
Ibnu Jarir
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami
Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari
Mujahid yang menceritakan bahwa ada segolongan kaum laki-laki —antara lain
Usman ibnu Maz'un dan Abdullah ibnu Amr— bermaksud melakukan tabattul (membaktikan
seluruh hidupnya untuk ibadah) dan mengebiri diri mereka serta memakai pakaian
yang kasar. Maka turunlah ayat ini sampai dengan firman-Nya: dan bertakwalah
kepada Allah yang kalian beriman kepada-Nya. (Al-Maidah: 88)
Ibnu Juraij
telah meriwayatkan dari Ikrimah, bahwa Usman ibnu Maz'un, Ali ibnu Abu Talib,
Ibnu Mas'ud, dan Al-Miqdad ibnul Aswad serta Salim maula Abu Huzaifah bersama
sahabat lainnya melakukan tabattul, lalu mereka tinggal di rumahnya
masing-masing, memisahkan diri dari istri-istri mereka, memakai pakaian kasar, dan
mengharamkan atas diri mereka makanan dan pakaian yang dihalalkan kecuali
makanan dan pakaian yang biasa dimakan dan dipakai oleh para pengembara dari
kaum Bani Israil.
Mereka pun
bertekad mengebiri diri mereka serta sepakat untuk qiyamul lail dan puasa
pada siang harinya. Maka turunlah firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kalian, dan janganlah kalian melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. (Al-Maidah:87)
Dengan kata
lain, janganlah kalian berjalan bukan pada jalan tuntunan kaum muslim. Yang
dimaksud ialah hal-hal yang diharamkan oleh mereka atas diri mereka—yaitu
wanita, makanan, dan pakaian—serta apa yang telah mereka sepakati untuk
melakukannya, yaitu salat qiyamul lail sepanjang malam, puasa pada siang
harinya, dan tekad mereka untuk mengebiri diri sendiri.
2. QS. An-Nisa’ ayat 29
Allah Swt.
melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas
sebagian yang lain dengan cara yang batil, yakni melalui usaha yang tidak
diakui oleh syariat, seperti dengan cara riba dan judi serta cara-cara lainnya
yang termasuk ke dalam kategori tersebut dengan menggunakan berbagai macam
tipuan dan pengelabuan. Sekalipun pada lahiriahnya cara-cara tersebut memakai
cara yang diakui oleh hukum syara', tetapi Allah lebih mengetahui bahwa
sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba, tetapi
dengan cara hailah (tipu muslihat). Demikianlah yang terjadi pada
kebanyakannya.
Hingga Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul MuSanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain sebuah pakaian. Lalu lelaki pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut dengan satu dirham." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Musalli, telah menceritakan kepada kami lbnul Futlail, dari Daud Al-Aidi, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini muhkamah, tidak dimansukh dan tidak akan dimansukh sampai hari kiamat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29) Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama. Maka tidak halal bagi seorang pun di antara kita makan pada orang lain, bagaimanakah nasib orang lain (yang tidak mampu)?"
Hingga Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul MuSanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan seorang lelaki yang membeli dari lelaki lain sebuah pakaian. Lalu lelaki pertama mengatakan, "Jika aku suka, maka aku akan mengambilnya, dan jika aku tidak suka, maka akan ku kembalikan berikut dengan satu dirham." Ibnu Abbas mengatakan bahwa hal inilah yang disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman. janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29)
Ibnu Abu Hatim mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Musalli, telah menceritakan kepada kami lbnul Futlail, dari Daud Al-Aidi, dari Amir, dari Alqamah, dari Abdullah sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini muhkamah, tidak dimansukh dan tidak akan dimansukh sampai hari kiamat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. (An-Nisa: 29) Maka kaum muslim berkata, "Sesungguhnya Allah telah melarang kita memakan harta sesama kita dengan cara yang batil, sedangkan makanan adalah harta kita yang paling utama. Maka tidak halal bagi seorang pun di antara kita makan pada orang lain, bagaimanakah nasib orang lain (yang tidak mampu)?"
D. Refleksi Ayat
Dapat disimpulkan dari
QS. Al-Maidah ayat 87 – 88 bahwa menurut Ibnu Taimiyah, permintaan suatu barang
adalah hasrat terhadap sesuatu, yang digambarkan dengan istilah raghbah fil
al-syai. Yang diartikan sebagai jumlah barang yang diminta. secara garis
besar, permintaan dalam ekonomi Islam sama dengan ekonomi konvensional, namun
ada batasan batasan tertentu yang harus diperhatikan oleh individu muslim dalam
keinginannya. Islam mengharuskan untuk mengkonsumsi barang yang halal lagi
thoyyib. Aturan Islam melarang seorang muslim memakan barang yang haram,
kecuali dalam keadaan darurat dimana apabila barang tersebut tidak dimakan,
maka akan berpengaruh pada kesehatan muslim tersebut.
Selain itu, dalam
ajaran Islam orang yang mempunyai banyak uang tidak diperbolehkan membelanjakan
uangnya semau hatinya. Batasan anggaran belum cukup untuk membatasi konsumsi.
Batasan lain yang perlu diperhatikan adalah seorang muslim tidak boleh
berlebihan (ishrof), dan harus mengutamakan kebaikan (maslahah) islam tidak
menganjurkan permintaan suatu barang dengan tujuan kemegahan, kemewahan,
kemubadziran. Bahkan Islam memerintahkan bagi yang sudah mencapai nishab, untuk
menyisihkan dari anggarannya untuk membayar zakat, infaq, dan shodaqoh.
Dan pada QS. An-Nisa’ ayat 29 Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang
beriman memakan harta sesama mereka secara bathil, yakni melalui aneka jenis
usaha yang tidak disyari’atkan seperti riba dan judi serta beberapa jenis tipu
muslihat yang sejalan dengan kedua cara itu, walaupun sudah jelas pelarangannya
dalam hukum syara’, seperti yang dijelaskan Allah bahwa orang yang melakukan
muslihat itu dimaksudkan untuk mendapatkan riba. Ibnu Jarir meriwayatkan dari
Ibnu Abbas ihwal seseorang yang membeli pakaian dari orang lain. Penjual
berkata, “ Jika kamu suka, ambillah. Jika kamu tidak suka, kembalikanlah
disertai 1 dirham.” Ibnu Abbas berkata, “ Itulah praktik yang karenanya Allah
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta
sesama kamu dengan batil.”
Allah Ta’ala berfirman, “Kecuali dengan perdagangan secara suka sama
suka diantara kamu.” Maksudnya, janganlah kamu melakukan praktik-praktik
yang diharamkan dalam memperoleh harta kekayaan, namun harus melalui
perdagangan yang disyari’atkan dan
berdasarkan kerelaan antara penjual dan pembeli. Selanjutnya Allah Ta’ala juga
berfirman, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” dengan cara
melakukan berbagai perkara yang diharamkan Allah, mendurhakai-Nya, dan memakan
harta sesama kamu dengan cara yang batil.” Sesungguhnya Allah maha penyayang
terhadapmu” jika Dia menyuruhmu melakukan sesuatu dan melarangmu dari
sesuatu. Ayat ini merupakan landasan dasar tentang tata cara berinvestasi yang
sehat dan benar.
E.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari QS. Al-Maidah ayat 87 – 88 bahwa menurut Ibnu
Taimiyah, permintaan suatu barang adalah hasrat terhadap sesuatu, yang
digambarkan dengan istilah raghbah fil al-syai. Yang diartikan sebagai jumlah
barang yang diminta. secara garis besar, permintaan dalam ekonomi Islam sama
dengan ekonomi konvensional, namun ada batasan batasan tertentu yang harus
diperhatikan oleh individu muslim dalam keinginannya. Islam mengharuskan untuk
mengkonsumsi barang yang halal lagi thoyyib.
Dan pada QS. An-Nisa’ ayat 29 Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang
beriman memakan harta sesama mereka secara bathil, yakni melalui aneka jenis
usaha yang tidak disyari’atkan seperti riba dan judi serta beberapa jenis tipu
muslihat yang sejalan dengan kedua cara itu, walaupun sudah jelas pelarangannya
dalam hukum syara’, seperti yang dijelaskan Allah bahwa orang yang melakukan
muslihat itu dimaksudkan untuk mendapatkan riba.
F. Daftar Pustaka
Mukhtar, Naqiyah. 2013. Ulumul Qur’an.
Purwokerto : Stain Press.
Amin, Muhammad Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Firdaus.
Karim, Adiwarman. 2003. Ekonomi Mikro Islami.Jakarta :
IIIT Indonesia.
T.Gilarso SJ. 2003. Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Komentar
Posting Komentar