HAK UNTUK BEKERJA
HAK UNTUK BEKERJA
PENDAHULUAN
Zakat (Bahasa Arab: زكاة transliterasi: Zakah) dalam segi istilah
adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan
diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan
sebagainya). Zakat dari segi bahasa berarti 'bersih', 'suci', 'subur', 'berkat'
dan 'berkembang'. Menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Zakat merupakan rukun ketiga
dari rukun Islam.
PEMBAHASAN
A. ۞ إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً
مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
B.
ASBABUN
NUZUL SURAT AL-TUBAH AYAT 60
Setelah Allah menyebutkan bantahan orang-orang munafik yang bodoh
kepada Nabi Saw. serta celaan mereka kepada Nabi Saw. dalam pembagian harta
zakat. maka Allah menjelaskan bahwa Dialah yang membagikannya dan Dialah yang
menjelaskan hukumnya serta mengatur urusannya, Dia tidak akan menyerahkan hal
tersebut kepada siapa pun. Maka Allah membagi-bagikannya di antara mereka yang
telah disebutkan di dalam ayat ini.
Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya telah meriwayatkan melalui
hadis Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An’am —yang berpredikat agak daif-—. dan
Ziyad ibnu Na’im, dari Ziyad ibnul Haris As-Sadai r.a. yang menceritakan bahwa
ia datang kepada Nabi Saw., lalu ia berbaiat (mengucapkan janji setia)
kepadanya. Kemudian datanglah seorang lelaki. dan lelaki itu berkata kepada Nabi
Saw., “Berilah saya sebagian dari zakat itu.” Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَرْضَ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ فِي
الصَّدَقَاتِ حَتَّى حَكَمَ فِيهَا هُوَ، فَجَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَصْنَافٍ،
فَإِنْ كُنْتَ مِنْ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ”
Sesungguhnya Allah tidak rela kepada keputusan seorang nabi pun,
tidak pula orang lain dalam masalah zakat-zakat itu, melainkan Dia sendirilah
yang memutuskannya. Maka Dia membagi-bagikannya kepada delapan golongan. Jika
engkau termasuk di antara delapan golongan itu, maka aku akan memberimu.
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan delapan golongan
ini, apakah pembagian harta zakat harus diberikan kepada delapan golongan itu
secara penuh, ataukah hanya kepada yang ada saja di antara kedelapan golongan
itu? Ada dua pendapat mengenainya.
Pendapat pertama mengatakan bahwa harta zakat harus dibagikan
kepada semua golongan yang delapan itu. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii
dan sejumlah ulama.
Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib membagikan harta zakat
kepada semua golongan yang delapan itu, melainkan boleh diberikan kepada satu
golongan saja di antara mereka. Semua harta zakat boleh diberikan kepadanya,
sekalipun golongan yang lain ada. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Malik dan
sejumlah ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, antara lain ialah Umar,
Huzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Sa’id ibnu Jubair dan Maimun ibnu Mahran.
Ibnu Jarir memberikan komentarnya, bahwa pendapat inilah yang
dipegang oleh kebanyakan ahlul ‘ilmi. Dengan demikian, penyebutan kedelapan
golongan dalam ayat ini hanyalah semata-mata untuk menerangkan pengalokasiannya
saja, bukan wajib memenuhi kesemuanya. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai
alasan dan dalil masing-masing kedua golongan tersebut, uraiannya disebutkan di
dalam kitab lain.
kaum fakir miskin disebutkan lebih dahulu dalam ayat ini daripada
golongan yang lain, karena mereka lebih memerlukannya ketimbang golongan lain,
menurut pendapat yang terkenal; juga mengingat hajat dan keperluan mereka yang
sangat mendesak
Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin lebih buruk keadaannya
daripada orang fakir. Pendapatnya ini seirama dengan apa yang dikatakan oleh
Imam Ahmad.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya’qub, telah
menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun,
dari Muhammad yang menceritakan bahwa Umar r.a. pernah mengatakan.
C.
METODE TAFSIR
IJMALI
Tafsir
ijmali adalah menjelaskan ayat al-quran secara global dari
ayat ke ayat yang mengikuti tertib
mushaf. Yang mana pembahasanya secara populer tidak
terlalu mendalam, yang dapat diresap oleh orang-orang yang hanya mempunyai
bekal ilmu pengatahuan sedikit,sebagai konsumsi unutuk orang awam. Diantaranya
contoh nya adalah tafsir jalalayn dan al-bayan
Tafsir ash shiddieq
Adapun karakteristik tafsir ijmali adalah di
bahas dengan mengikuti urutan mushaf,ditafsirkan secara global,dangkal dan hanya meliputi yang
ditunujuk oleh ayat sehingga dapat terdiri atas beberapa topik sesuai dengan
ayat yang sedang di bahas dan dipaparkan secara deskriptif.
D.TAFSIR
AL-QURAN
Kata as-Sadaqat
(الصَّدَقَاتُ) yang
disebutkan dalam surat at-Taubah/9 ayat 60 adalah bermakna zakat atau sedekah
wajibah.
[1]Makna huruf ( لــ ) lam pada firman-Nya (للفقراء) lilfuqara’, Imam Malik berpendapat
bahwa ia sekedar berfungsi menjelaskan siapa yang berhak menerimanya agar tidak
keluar dari kelompok yang disebutkan.[2]
لِلْفُقَرَاءِ
(Hanyalah untuk orang-orang
fakir) yaitu orang yang tidak dapat menemukan peringkat ekonomi yang dapat
mencukupi mereka. الْمَسكِيْنِوَ (orang-orang)
yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat
menculupi mereka.[3]
Menurut tafsir al-Mansur Orang fakir ialah orang tidak punya dan ia berhijrah,
sedangkan miskin ialah orang yang tidak punya dan ia tidak berhijrah.[4]
وَالْعمِلِيْنَ عَلَيهَا (Pengurus-pengurus zakat)
yaitu orang yang bertugas menarik zakat, yang membagi-bagikannya, juru
tulisnya, dan yang mengmpulkannya.[5]
Bahasan para pakar hukum menyangkut (العاملين عليها)
al-‘Amilin ‘alaiha/para pengelolanya juga beragam. Namun yang jelas
mereka adalah yang melakukan pengelolaan terhadap zakat, baik mengumpulkan,
menentukan siapa yang berhak, mencari mereka, maupun membagi dan mengantarnya
pada mereka. Kata (عليها) ‘alaiha memberi
kesan bahwa para pengelola itu melakukan kegiatan mereka dengan sungguh-sungguh
dan menyebabkan keletihan.[6]
وَالْمُؤَلّفَةِ قُلُوبُهُمْ (Para muallaf yang dibujuk
hatinya) supaya mau masuk Islam atau untuk memantapkan keislaman mereka,
atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal dengannya, atau supaya
mereka melindungi kaum muslim. Muallaf itu bermacam-macam jenisnya; Menurut
pendapat Imam Syafii, jenis muallaf pertama dan yang terakhir pada masa
sekarang (Zamannya Imam Syafii, pent.) tidak berhak lagi untuk mendapatkan
bagianya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan dua jenis muallaf yang
lainnya, maka keduanya masih berhak untuk diberi bagian.[7]
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah juga sependapat dengan itu. Mengenai
golongan “muallaf”, maka ada di antara mereka itu orang-orang yang diberi zakat
agar masuk Islam. Dan ada di antara golongan “muallaf” yang diberi bagian oleh
Rasulullah untuk menebalkan imannya dan meneguhkan kepercayaan di dalam
hatinya.[8]
وَفِى (Dan untuk) memerdekakan –الرِّقَابِ (budak-budak)
yakni para hamba sahaya yang berstatus mukatab.[9]
Kata (الرقاب) ar-riqab adalah bentuk jamak dari
(رقبة) raqabah yang pada mulanya berarti
“leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak
jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan
mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Atas dasar ini harta tersebut
tidak diserahkan pada mereka pribadi, tetapi disalurkan untuk melepas belenggu
yang mengikat mereka itu.[10]
وَالْغَارِمِيْنَ (Orang-orang yang berhutang)
orang-orang yang mempunyai utang, dengan syarat bila ternyata utang mereka itu
bukan untuk tujuan maksiat.[11]
Imam syafi’i dan Ahmad Ibnu Hambal juga membenarkan memberi ganti dari zakat
bagi siapa yang menggunakan uangnya untuk melakukan perdamaian atau kepentingan
umum.[12]
وَفِي سَبِيلِ اللَهِ (untuk jalan Allah) yaitu
orang orang yang berjuang di jalan Allah, tetapi tanpa ada yang membayarnya,
sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan.[13]
Kini sekian banyak ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok ini semua
kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan maupun
organisasi-organisasi Islam, seperti pembangunan lembaga pendidikan, mesjid,
rumah sakit, dan lain-lain, dengan alasan bahwa (سبيل الله)
sabilillah dari segi kebahasaan mencakup segala aktivitas yang
mengantar menuju jalan dan keridhaan Allah.[14]
Adapun ( بن السبيل) Ibnu as-sabil yang secara harfiah
berarti ”anak jalanan”, maka para ulama dahulu memahaminya dalam arti siapapun
yang kehabisan bekal, dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia kaya di
negeri asalnya.[15]
Mereka patut memperoleh bagian dari zakat sekedar cukup untuk bekal
perjalanannya pulang pergi. [16]
فَرِيضَةً (Sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan) lafaz faridatan dinasabkan oleh fi’il yang keberadaannya
diperkirakan.[17]
Itu semua adalah hukum dan ketetapan yang diwajibkan oleh Allah, yang Maha
bijaksana dalam ketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapan-Nya, Maha
mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya dan segala sesuatu yang lahir maupun
yang batin.[18]
PENUTUP
Setidaknya ada poin yang kita bisa ambil dari surah at-taubah ayat 60,
pertama kita bisa mengerti tentang
zakat, zakat merupakan memberi.
Setiap umat muslim
diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban
ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya
memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya
bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk
membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan
perintah zakat ini dengan menetapkan zakat bertingkat bagi mereka yang kaya
untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin.[1]
Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan
bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai
jumlah zakat tersebut
Daftar pusaka
syekh. H. Abdul Halim Hasan 2006. tafsir al hakam,cetakan pertama,tafsir
al-hakam, jakarta kencana.
Abd al-rahman jalal ab-Din as-suyuti,al-itqan fi’uhim al qur’an,cairo Matba’ah Mushtafa
al-Babi al-halabi,
Shubhi shalih,Mabahis fi ‘Uhim al-quran, Beirut: Dar al-lim li al-Malayin
1988,132.
Komentar
Posting Komentar