Larangan Menimbun Harta dalam Konsep Uang Menurut Islam Tafsir QS. At-Taubah ayat 34 dan 35
Larangan Menimbun Harta dalam
Konsep Uang Menurut Islam
Tafsir QS. At-Taubah ayat 34 dan 35
A. Pendahuluan
Uang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan seharihari. Semua transaksi yang terjadi dalam kegiatan ekonomi menggunakan uang sebagai medianya. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan peranan orang lain dalam kehidupannya, misalkan saja dalam pemenuhan kebutuhan seharihari, seseorang tak selalu dapat menghasilkan sendiri apa yang ia butuhkan. Sehingga ia akan mencari produk atau jasa yang ia butuhkan pada orang lain. Uang adalah standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga. Uang didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga. Misalkan harga adalah standar untuk barang, sedangkan upah adalah standar untuk manusia, yang masing-masing merupakan perkiraan masyarakat dalam nilai barang dan tenaga orang. Perkiraan nilainilai barang dan jasa ini dinegeri manapun dinyatakan dengan satuansatuan, maka satuansatuan inilah yang menjadi standar yang dipergunakan untuk mengukur kegunaan barang dan tenaga yang kemudian menjadi alat tukar (medium of exchange) dan disebut dengan satuan uang ( Taqiyuddin An-Nabhani, 2000:297). Begitu pula keinginan untuk memahami serta mendalami AlQur’an merupakan tujuan dari semua insan muslim di Dunia. Memahami AlQu’an selaku Kalam Allah dengan benar serta kemudia mengamalkannya dalam kehidupan seharihari. Dengan mentadaburi AlQur’an tentunya banyak hal yang dapat kita peroleh dalam kebaikan. Yaitu dapat meningkatkan iman, keinginan untuk beramal serta mendakwahkannya meskipun hanya satu ayat. Dalam memahami AlQur’an dengan benar adalh menafsirkannya dengan baik. Dapat menjelaskan tujuantujuan dan maknamaknanya, menyingkap tiraitirai yang menutupi rahasia dan mutiaranya, serta membukakan pintu-pintunya bagi akal dan hati.
B. Konsep Uang dalam Islam
Menurut Al-Ghazali, Uang adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu atau sebagai alat pembayar-an hutang atau sebagai alat untuk melaku-kan pembelian barang dan jasa.
1. Uang Tidak Identik dengan Modal
Dalam ekonomi Islam, uang merupakan alat tukar dan alat satuan hitung. Tetapi uang bukanlah komoditas yang dapat diperjual belikan layaknya barang dan jasa ekonomi. Karena uang bukan merupakan komoditas, maka uang tidak identik dengan modal dan tidak boleh dianggap sebagai modal
2. Uang adalah Public Goods
Konsep ini mengharuskan uang sebagai public property, di mana seseorang tidak boleh memperlakukan uang layaknya private property (milik pribadi).
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah SAW, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).Rasulullah SAW mengatakan “Manusia mempunyai hak bersama dalam tiga hal; air, rumput, dan api “ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah)
Dalam Islam, uang adalah public good, public good, berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang dinar dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan berarti menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu berakibat buruk bagi perekonomian.
3. Modal adalah Private Goods
Ketika uang dianggap sebagai modal, maka uang akan menjadi barang pribadi atau private goods, di mana orang dapat menyimpan, menimbun dan mengendapkan uang dari peredaran dan sirkulasi di masyarakat.
Karena itu seorang dapat menjadikan modal sebagai private goods atau aset miliknya sendiri. Ketika uang dianggap sebagai modal, maka uang akan menjadi barang pribadi atau private goods, di mana orang dapat menyimpan, menimbun dan mengendapkan uang dari peredaran dan sirkulasi di masyarakat. Namun penimbunan (hoarding) dilarang karena menghalangi orang lain menggunakan public goods. Jadi, dapat dikatakan modal adalah private goods jika dan hanya jika private good dimanfaatkan pada sektor produksi, karena jika tidak digunakan pada sektor produksi maka terjadilah penimbunan atau pengendapan sehingga sirkulasi uang di masyarakat terhambat. Karena dalam konsep ekonomi Islam uang adalah milik masyarakat (money is goods public).
4. Uang adalah Flow Concept
Sebagai alat tukar uang tidak boleh diendapkan. Uang harus terus mengalir, bergulir dan berputar dalam masyarakat untuk digunakan dalam kegiatan ekonomi
5. Modal adalah Stock Concept
Modal adalah stok konsep terjadi ketika fungsi uang sudah beralih dari alat tukar menjadi sebagai alat penyimpan kekayaan yang dapat diakumulasikan sedemikian rupa sebagai modal dan kekayaan pribadi.
B. Ayat Terkait dengan Larangan Menimbun Harta dalam Konsep Uang Islam
Berikut adalah salah satu firman Allah yang berkaitan dengan konsep tersebut, yang tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 34 dan 35.
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلۡأَحۡبَارِ وَٱلرُّهۡبَانِ لَيَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۗ وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ )٣٤(
يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ )٣٥(
C. Makna, Kedudukan, dan Metode Tafsir
· Makna Tafsir
Tafsir menurut bahasa adalah menjelaskan dan menerangkan. Tafsir diambil dari kata al-fasr yang bermakna menjelaskan dan membuka. Dalam kamus dikatakan bahwa makna al-fasru adalah menjelaskan dan membuka sesuatu yang tertutup. Dalam kitab al-Bahr al-Muhith, tafsir dapat pula berarti “menelanjangi” secara mutlak. Tsa’lab berakata, “Engkau katakan fasartu al-farsa’ aku menelanjangi kuda dari ikatan nya, sehingga ia keluar dari kandangnya.” Tafsir disini kembali ke makna “membuka” seakan-akan ia membuka punggung kuda itu agar ia berlari. Dari sini jelaslah bahwa kata tafsir digunakan dalam bahasa Arab dengan arti membuka secara indrawi, seperti dikatakan oleh Tsa’lab, dan dengan arti membuka secara maknawi dengan memperjelas arti-arti yang tertangkap dari zahir redaksional.
· Kedudukan Ilmu Tafsir
As-Suyuti mengatakan dalam kitab al-itqan bahwa para ulama bersepakat bahwa tafsir termasuk fardhu kifayah dan merupakan salah satu dari tiga ilmu syariat yang paling utama setelah hadist dan fikih. Ilmu tafsir mendapatkan kemuliaan dari tiga segi . Pertama, dari segi objeknya yaitu kalam Allah SWT yang merupakan mata air segala hikmah, sumber segala keutamaan yang didalamnya terdapat berita umat sebelum kalian , dan berita umat setelah kalian, hukum yang terjadi diantara kalian, tidak diciptakan untuk banyak menolak, dan keajaibannya tidak pernah hilang. Kedua, dari segi tujuan karena tujuannya adalah menjaga diri dengan ikatan yang kuat dan menuju kepada kebahagiaan yang hakiki dan kekal. Ketiga, dari segi kebutuhan terhadapnya karena seluruh kesempurnaan agama, duniawi maupun ukhrawi, sangat membutuhkan ilmu-ilmu syariat pengetahuan agama, dan semua itu bergantung pada ilmu tentang kitab Allah SWT.
· Metode Tafsir
Metode Tafsir yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an surat at-Taubah, 9: ayat 34-35, yaitu Tafsir Ijmali. Tafsir Ijmali adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara global, dari ayat ke ayat mengikuti tertib mushaf. Pembahasannya secara populer tidak terlalu mendalam, yang dapat diserap oleh orang-orang yang hanya mempunyai bekal ilmu pengetahuan sedikit, sebagai konsumsi untuk orang awam. Diantara contohnya adalah Tafsir Jalalyn dan al-Bayan:Tafsir Penjelas al-Qur’anul Karim karya Teuku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy.
Adapun karakteristik tafsir ijmali adalah dibahas dengan mengikuti urutan mushaf ayat-ayat Al-Qur’an secara global, dangkal, dan hanya meliputi yang ditunjuk oleh ayat sehingga dapat terdiri atas beberapa sesuai dengan ayat yang sedang dibahas dan dipaparkan secara deskriptif.
D. Tafsir Al-Qur’an surat at-Taubah, 9: ayat 34-35
1. Tafsir Jalalyn:
(Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan ) yakni mengambil dari (harta benda orang lain dengan cara yang batil) seperti menerima suap dan memutuskan hukum (dan mereka menghalang-halangi) manusia (dari jalan Allah) dari agama-Nya. (Dan orang-orang) lafal ini menjadi mubtada/permulaan kata (yang menyimpan emas dan perak tidak menafkahkannya) dimaksud ialah menimbunnya (pada jalan Allah) artinya mereka tidak menunaikan hak zakatnya dan tidak mebelanjakannya ke jalan kebaikan (maka beritahukanlah kepada mereka) beritakanlah kepada mereka (akan siksa yang pedih) yang amat menyakitkan. (QS At-Taubah ayat 34)
(Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam lalu disetrika) dibakar (dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka) bakaran emas-perak itu merata mengenai seluruh kulit tubuh mereka lalu dikatakan kepada mereka (“inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang dari apa yang kalian simpan itu”) sebagai pembalasnnya. (QS At-Taubah ayat 35)
2. Tafsir Quraish Shihab:
Wahai orang-orang Mukmin, ketahuilah bahwa banyak diantara orang alim dari kalangan Yahudi dan rahib-rahib Nasrani yang menghalalkan harta orang secara tidak benar, menyalahgunakan kepercayaan dan ketundukan orang lain kepada mereka dalam setiap perkataan mereka, dan menghalang-halangi orang masuk Islam. Wahai Nabi, orang-orang yang menguasai dan menyimpan harta berupa emas maupun perak dan tidak menunaikan zakatnya, ingatkanlah mereka akan siksa yang sangat pedih. (QS At-Taubah ayat 34)
Pada hari kiamat, semua harta benda itu akan dijadikan bahan bakar di neraka Jahannam yang menghanguskan hati, lambung, dan punggung pemiliknya. Lalu dikatakan kepada mereka, sebagai suatu penghinaan, “Inilah apa yang kalian simpan untuk diri kalian, sementara kalian tidak memenuhi hak Allah. Rasakanlah sekarang siksa yang amat pedih. (QS At-Taubah ayat 35)
3. Tafsir Ibnu Katsir
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (QS At-Taubah ayat 34)
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, Lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS At-Taubah ayat 35)
E. Refleksi Terhadap QS. At-Taubah ayat 34dan 35
Dalam pembahasan ini yang saya gunakan dalam metode penafsiran adalah metode Ijmali yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara global, dari ayat ke ayat mengikuti tertib mushaf. Pembahasannya secara populer tidak terlalu mendalam, yang dapat diserap oleh orang-orang yang hanya mempunyai bekal ilmu pengetahuan sedikit, sebagai konsumsi untuk orang awam. Dalam QS At-Taubah ayat 34 dan 35 ini mengandung urgensi bahwa larangan untuk menimbun harta dalam konsep uang secara Islam. Ayat 34 menjelaskan tentang larangan menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, karena dalam konsep uang menurut Islam, pada hakikatnya uang tidak boleh ditimbun, uang harus mengalir ke setiap sendi ekonomi, tidak boleh hanya ada dan banyak pada satu titik.
Barang siapa yang menimbun uang atau dibiarkan tidak produktif berarti mengurangi jumlah uang beredar yang dapat mengakibatkan tidak jalannya perekonomian. Jika seseorang sengaja menumpuk uangnya tidak dibelanjakan, sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Implikasinya proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, uang sebaiknya tidak diendapkan dan dibaiarkan bergulir dan berputar di masyarakat, untuk dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari dan juga sebagai sarana ibadah, Rasulullah SAW bersabda yang artinya : "Pada akhir zaman, manusia dimasa itu semestinya memiliki dirham-dirham dan dinar-dinar untuk menegakkan urusan agamanya dan dunianya” (Hadits Riwayat Imam At-Tthabrani sebagaimana terdapat dalam kitab Jami'u As-Saghir karya Imam As-Sayuti)". Oleh karena itu, penimbunan (hoarding) dilarang karena menghalangi orang lain menggunakan public goods tersebut.
Pada QS At-Taubah ayat 35 menjelaskan bahwa adanya ancaman terhadap orang yang menimbun harta serta tidak menafkahkannya di jalan Allah. Seperti yang terdapat dalam Tafsir Jalalyn: (Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam lalu disetrika) dibakar (dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka) bakaran emas-perak itu merata mengenai seluruh kulit tubuh mereka lalu dikatakan kepada mereka (“inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang dari apa yang kalian simpan itu”) sebagai pembalasnnya. (QS At-Taubah ayat 35). Allah begitu melarang serta melaknat perbuatan tersebut dengan memberikan ancaman jelas yaitu neraka Jahannam.
Dengan begitu dapat disimpulkan dari metode tafsir ijmali kita dapat mengetahui kandungan ayat berdasarkan apa yang ada dalam kandungannya serta tertibnya ayat tersebut. Seperti QS At-Taubah yang menjelaskan larangan menimbun harta kemudian pada ayat 35 menjelaskannya ancaman bagi orang yang melakukan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Suprayitno,Eko. 2005 Ekonomi Islam. (Yogyakarta:Graha Ilmu)
Qardhawi, Yusuf. 1999. Berinteraksi Dengan Al-Qur’a. (Jakarta: Gema Insani Prees)
Mukhtar, Naqiyah. 2013. Ulumul Qur’an, (Purwokerto: Stain Press)
Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. (Jakarta: IIIT Indonesia)
Mansur, Ahmad. 2009. Konsep Uang dalam Perspektif Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional. Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1
Komentar
Posting Komentar