KEBIJAKAN FISKAL PENERIMAAN NEGARA DARI KALANGAN MUSLIM (ZAKAT)




Mohamad Arkan Zain
 (1617202108)

KEBIJAKAN FISKAL

PENERIMAAN NEGARA DARI KALANGAN MUSLIM
(ZAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kebijakan fiskal merupakan salah satu topik pembahasan utama dalam kajian-kajian ekonomi, termasuk kajian ekonomi Islam. Dalam kajian ekonomi Islam, Kebijakan fiskal telah dikenal  sejak zaman Rasulullah dan khulafaurrasyidin yang kemudian dikembangkan oleh para ulama.
Pembahasan tentang kebijakan fiskal biasanya dimasukkan dalam kategori ilmu ekonomi makro. Munculnya pemikiran tentang kebijakan fiskal dilatar belakangi oleh adanya kesadaran terhadap pengaruh pengeluaran dan penerimaan pemeriuntah. Pengeluaran dan penerimaan negara berpengaruh terhadap pendapatan nasional.Untuk itu, dibutuhkan suatu kebijakan yang disebut sebagai kebijakan fiskal untuk menyesuaikan pengeluaran dengan penerimaan negara.Penyesuaian antara pengeluaran dan penerimaan mengakibatkan ekonomi stabil yang terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang layak tanpa adanya pengangguran dan kestabilan harga-harga umum.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Kebijakan Fiskal?
2.      Bagaimana kebijakan fiskal dalam islam?
3.      Dari mana saja sumber penerimaan negara kalangan Muslim?

C.    Tujuan Makalah
1.      Mengetahui pengertian kebijakan fiskal.
2.      Mengetahui kebijakan fiskal dalam Islam.
3.      Mengetahui penerimaan negara dari kalangan Muslim.

BAB II
METODE PENETAPAN HUKUM

Asbab Al-Nuzul
A.    Pengertian Azbab Al-Nuzul
Azbab merupakan bentuk jamak dari kata sabab yang berarti sebab, alasan, latar belakang, dan motif. Jadi azbab al-nuzul merupakan sebab, alasan, latar belakang dan motif turunnya al-Qur’an. Atau dapat dirtikan juga sebagai peristiwa yang ada kaitannya langsung dengan satu atau beberapa ayat al-qur’an yang turun kala itu, baiksebagai jawaban dari suatu pertanyaan, penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut, ataupun contoh kasus yang dijelaskan dalam ayat tersebut.[1]
B.     Macam-macam azbab al-nuzul
 Macam-macam azbab al-nuzul dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya dari segi bentuknya dan jumlah sebabnya.
1.      Bentuk azbab al-nuzul
Azbab al-nuzul jika dilihat dari segi bentuknya ada beberapa macam :
a.   Jawaban atas suatu pertanyaan
b.   Penjelasan hukum yang dikandung dalam ayat
c.    Contoh kasus yang diceritakan ayat tersebut
2.      Jumlah asbabu al-nuzul
a.    Ta’addud al-asbab wa an-nazil wahid (sebab turunnya ayat lebih dari satu, sedangkan persoalan yang terkandung dalam ayat atau sekelompok ayat hanya satu)
b.   Ta’addud an-nazil  wa al-asbab wahid (persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat lebih dari satu tetapi sebab turunnya hanya satu)
C.    Cara mengetahu asbab al-nuzul dan kaidah-kaidanya
1.      Cara mengetahui azbab al-nuzul
Jika asbab al-nuzul dipahami dalam pengertian mikro, yakni sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi turunya ayat atau ayat-ayat al-Qur’an, maka hanya sedikit ayat al-Qur’an yang memiliki sabab al-nuzul. Maka untuk mengetahuinya melalui riwayat dan penjelasan yang disandarkan kepada orang yang turut menyaksikan turunnya ayat, baik dari Nabi sendiri ataupun sahabat.
2.      Redaksi yang digunakan dalam sabab al-nuzul
a.       Berupa ungkapan yang sharih (jelas) tentang sebab turunnya al-Quran.
b.      Berupa isyarah muhtamilah (kemungkinan adanya sebab)
c.       Asbab an-nuzul dapat dipahami dalam konteks riwayat
d.      Asbab an-nuzul dapat diketahui dari konteks internal dan eksternal ayat
3.      Kaidah-kaidah dalam asbab an-nuzul
a.       Riwayah yang sharih (pasti dan tegas); hal ini menunjukan asbab al nuzul.
b.      Apabila redaksinya tidak tegas, menyatakan asbab al-nuzul, berarti bukan asbab al-nuzul, tetapi hanya tafsiran ulama, kecuali apabila ada qarinah yang menunjukan bahwa itu adalah asbab al-nuzul.
c.       Jika terdapat dua sumber, tegas atau tidak tegas maka ambil yang tegas.
d.      Bila sama-sama tegas maka ambil yang kuat.
e.       Jika riwayatnya sama-sama shahih maka harus dilakukan tarjih.
f.       Apabila tarjih tidak mungkin, karena sanadnya sama kuat maka diupayakan dikompromikan.
g.      Bila tidak dikompromikan maka ayat tersebut turun dengan adanya lebih dari satu asbab al-nuzul.
D.    Pandangan ulama tentang dalalahasbab al-nuzul
a.       Kaidah dalam memahami al-Qur’an adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap pelaku kasus yang menjadi sebab turunya.
b.      Kaidah dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunya, bukan redaksinya yang bersifat umum.
c.       Kaidah dalam memahami teks al-Quran adalah apa yang dikehendaki oleh syariah.
E.     Urgensi dan kegunaan asbab al-nuzul
Mengetahui asbab al nuzul membantu kita dalam memahami makna ayat karena sudah terang diketahui bahwa menegtahui sebab menghasilkan ilmu tentang musabbab.
Adapun kegunaan mengetahui asbab al-nuzul adalah sebagai berikut.
a.       Mengetahui hikmah yang terdapat dalam penetapan suatu hukum syara.
b.      Membantu memahami makna yang dimaksud oleh ayat.
c.       Menghindari dugaan adanya pembatasan hashr pada kalimat yang secara zhahir menunjukan adanya pembatasan.
d.      Untuk men-tashhih hukum dengan adanya sabab al-nuzul.
e.       Untuk mengetahui bahwa asbab al-nuzul tidak keluar dari jangkauan hukum yang dibawa oleh ayat jika terdapat dalil yang men-takhshish-kannya.
f.       Untuk mengetahui kepada siapa ayat tersebut diturunkan.
g.      Untukmemnudahkan menghafal dan memahami suatu ayat.
h.      Untuk menjelaskan bahwa ayat al-Qyr’an diturunkan oleh Allah SWT.
i.        Menunjukan perhatian Allah SWT terhadap Nabi-Nya
j.        Menunjukan perhatian Allah SWT terhadap kesulitan hambanya.

Metode Tafsir Ijmali
Tafsir ijmali adalah menjelaskan ayat al-Quran secara global dari ayat ke ayat mengikuti tertib mushaf. Yang mana pembahasannya secara populer tidak terlalu mendalam , yang dapat diresap oleh orang-orang yang hanya mempunyai bekal ilmu pengetahuan sedikit, sebagai konsumsi untuk orang awam.[2] Diantara contohnya adalah tafsir jalalayn dan al-Bayan Tafsir ash shiddieq.
Adapun karakteristik tafsir ijmali adalah dibahas dengan mengikuti urutan mushaf, ditafsirkan secara global, dangkal dan hanya meliputi yang ditunjuk oleh ayat sehingga dapat terdiri atas beberapa topik sesuai dengan ayat yang sedang dibahas dan dipaparkan secara deskriptif. [3]



BAB III
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang otoritas utamanya berada di tangan pemerintah dan diwakili oleh Kementerian Keuangan. Hal tersebut diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan bahwa presiden memberikan kuasa pengelolaan keuangan dan kekayaan negara kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. [4]
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran dan belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Sebagaimana juga layaknya suatu rumah tangga individu, maka pemerintah sebagai suatu rumah tangga nasional juga memerlukan  pendapatan untuk membiayai operasionalnya sehari-hari, seperti misalnya menggaji pegawai negeri, mengatur dan mengurus Negara dan pemerintahan. Adapun uang yang dijadikan pendapatan oleh pemerintah yang terutama dalam suatu Negara adalah pajak yang di”pungut” dari masyarakatnya, selain itu tentu saja dapat berupa pinjaman luar negeri, pendapatan dari perusahaan Negara dan lain sebagainya.[5]
Fungsi  utama dari kebijakan fiskal diantaranya adalah:
1.      Fungsi alokasi, yaitu untuk mengalokasikan faktor-faktor produksi yang tersedia dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga kebutuhan masyarakat berupa public goods seperti jalan, jembatan, pendidikan dan tempat ibadah dapat terpenuhi secara layak, dan dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.
2.      Fungsi distribusi, yaitu fungsi yang mempunyai tujuan agar pembagian pendapatan nasional dapat lebih merata untuk semua kalangan dan tingkat kehidupan.
3.      Fungsi stabilitasi, agar terpeliharanya keseimbangan ekonomi terutama berupa kesempatan kerja yang tinggi, tingkat harga-harga umum yang stabil dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai.[6]

B.     Kebijakan Fiskal Dalam Islam
Sebenarnya kebijakan fiskal telah lama dikenal dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah Saw dan Khulafaurrasyidin dan kemudian dikembangkan oleh para ulama. Di zaman Rasulullah Saw sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj (pajak tanah), zakat, jizyah (sejenis pajak atas badan non-muslim) dan penerimaan lain-lain (diantaranya kafarah/denda).[7] Keuangan dan kebijakan fiskal mendapat perhatian serius dalam tata perekonomian sejak awal dalam negara islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan syari’ah yang dijelaskan oleh Imam Ghazali termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap menjaga keimanan, kehidupan intelektualitas, kekayaan dan kepemilikan.
Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Bahkan walaupun tujuan pertumbuhan, stabilitas, dan sebagainya tetap sah dalam ekonomi Islam, tujuan-tujuan tersebut akan menjadi penting untuk menanggulangi kaum Muslim dan Islam sebagai suatu entitas politas agama dan dakwah dalam menyebarkan agama Islam.  Tujuannya akan berbeda penafsiran dengan sistem ekonomi konvensional, namun mereka memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menganalisis dan membuat kebijakan ekonomi. Tujuan dari semua aktivitas ekonomi bagi semua manusia adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan hidup manusia. [8]
C.     Penerimaan Negara dari Kalangan Muslim (ZAKAT)
Zakat mempunyai beberapa arti, zakat berasal dari kata zaka artinya tumbuh dengan subur, zakat sebagaimana dalam Al Quran adalah suci dan dosa. Makna lain adalah al-barakatu (keberkahan), al-inamaa (pertumbuhan dan perkembangan). Kata zakat dala Al Quran terulang sebanyak 82 kali, ini menunjukkan betapa zakat ini untuk menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis.[9]
Dalam Undang-undang nomor 38 tahun 1999 pasal 1 ayat 2 yang dimaksud dengan “Zakat adalah harta yang wajib disisihkan seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.”
Kata zakat dalam Qur’an disebutkan pada beberapa tempat, seperti S. Al-Baqoroh ayat 43 sebagai berikut:
 وَأقَِيموُا الصَّلَةَ وَآَتوُا الزَّكَةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat serta bayarlah zakat serta bersujudlah kamu beserta orang-orang sholat” ( Depag RI: 1989, 16)
Selain kata zakat, al-Qur’an juga menggunakan kata shadaqah untuk mengungkapkan maksud zakat seperti daalam S. At-Taubah ayat 60 sebagai berikut
إِنمََّا الصَّدَقاَتُ لِلفُْقَرَاءِ وَالمَْسَاكِينِ وَالعَْامِلِينَ علَيَْاَ وَالمُْؤَلفََّةِ قُلوُبُُمْ وَفِ الرِّقاَبِ وَالغَْارِمِينَ وَفِ سَبِيلِ اللَِّ وَابْنِ السَّبِيلِ فرَيِضَةً مِنَ اللَِّ وَاللَُّ علَِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya:“Sesungguhnya zakat itu diperuntukkan bagi orangorang fakir, miskin, panitia zakat, oarng-orang mua’llaf, budak-budak, orang yang berhutang, orang yang berjalan di jalan Allah, ibn sabil, sebagai ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Maha Bijaksana.”  ( Depag RI : 288)
Adapun dasar zakat dalam Hadis Nabi secara umum sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari  (1308) dan Muslim sebagai berikut:
عن ابن عباّس رضي الله عنهما : أنّ النبّي صلى الله عليه وسلم بعث معاذا رضي الله عنه الى اليمان.. فذكر الحديث, وفيه: أنّ الله قد افترض عليم صدقة ف اموالهم, تؤخذ من أغنيائهم, فتردّ ف فقرائهم .متفق عليه, واللفظ للبخارى.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Nabi Saw mengutus Muadz ke Yaman, lalu menuturkan is hadisnya, dan di dalamnya disebutkan, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat kepada mereka pada harta mereka yag diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.” (HR. Bukhari-Muslim, dan lafal milik Bukhari) Makna yang dapat diambil dari hadis Nabi di atas adalah perintah agar mengeluarkan zakat (shadaqah) yang dikenakan pada kekayaan orang-orang kaya”. Yang dimaksud dengan shodaqoh disana adalah zakat. Terdapat pula penggunaan istilah mushadiq untuk amil, oleh karena ia bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan shadaqah tersebut. Namun dalam penggunaan sehari-hari kata shadaqah itu disalahartikan, yaitu hanya berarti shadaqah yang diberikan kepada pengemis dan peminta-minta. Tetapi hal ini tidak boleh membuat kita lupa bagaimana sebenarnya pengertian satu kata dalam bahasa arab pada zaman alQur’an turun. Kata shadaqah sesungguhnya berasal dari kata shidq yang berarti benar.
Terkait dengan istilah shodaqoh sebagai zakat adalah pendapat Qadhi Abu Bakar bin Arabi yang sangat berharga tentang mengapa zakat dinamakan shadaqah. Kata shadaqah berasal dari kata shidq, benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan dan keyakinan. Oleh karenanya wajar jika Allah menyebut istilah zakat dengan shodaqoh karena adanya kebenaran antara ucapan dengan amal perbuatan.  (Mardani: 2011, 27-28)
a.    Takhrij Hadis Zakat
Dalam kajian Ilmu Hadis, pembicaraan tentang derajad hadis merupakan langkah awal sebelum memahami dan mengaplikasikannya. Hal ini sangat penting mengingat secara historis terdapat upaya pemalsuan hadis oleh berbagai kelompok yang mengakibatkan tercampurnya antara hadis yang valid dan tidak. Kajian tentang masalah ini dikenal dengan istilah takhrij. (Muhammad Mahmud            at-Tahan: 1999, 4). Berikut ini akan penulis sebutkan beberapa takhrij terkait hadis-hadis zakat.
Ø  Zakat binatang ternak
وعن معاذبن جبل رضي الله عنه أ رضي الله عنه أنّ النبّي صلى الله عليه وسلم بعثه الى اليمان, فأمره أن يأخذ من كل ثلثين بقرة تبيعا أو تبيعة, ومن كلّ حلم دينارا أو عدله معافرا. رواه الخمسة, و اللفظ لأحمد, وحسسّنه التّرمذي وأشار الى اختلفف وصله, وصحّحه ابن حباّن والحكم.
Artinya: “Dari Mu’az bin Jabal ra, “Bahwasanya Nabi Saw telah mengutusna (Mu’az) ke Yaman, lalu beliau memerintahkan untuk mengambil zakat dari setiap 30 ekor sapi, zakatnya adalah seekor anak sapi jantan atau betina usia satu tahun., dan setiap 40 ekor, zakatnya adalah anak sapi musinnah (umur 2 thaun) dari setiap orang yang sudah balig, zakatnya diaambil satu dinar atau yang nilainya seharga secarik kain Mu’afir (buatan suatu suku di Yaman).” (HR. Al-Khomsah, lafaz milik Ahmad, dan dinilai Hasan oleh Tirmidzi dan ia memberi isyarat perselisihan pendapat tentang status maushul hadits ini.
Adapun derajad hadis diatas dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Kemudian terkait dengan penilaian Tirmizi tentang bersambung tidaknya riwayat dapat dijembatani dengan menggabungkan dengan riwayat yang lain, seperti al-Hakim dan Ibn Hibban. Sepanjang i’tibar (penelurusan sanad) melalui tokoh-tokoh di atas dikategorikan bersanad muttahsil, sehingga penilaian al-Hakim dapat diterima.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud (1576), Nasa’i (4/25), Tirmidzi (2/204), Ibn Majah (1803), Ahmad (5/230). Hadis ini hasan menurut Tirmidzi, tetapi shahih menurut Hakim. (1/555). Jadi, kedudukan hadis tersebut memenuhi derajad kesahihan, dapat dijadikan hujah hukum, serta harus diamalkan. Denagan demikian, dilihat dari segi jumlah periwayatanya termasuk ahad tetpai masyhur.
Adapun penilian yang beragam di kalangan ulama hadis, utamanya al-jarih (para pencacat perawi), dapat dikatakan sebagai hadis maqbul (diterima riwayatnya), karena minimal berderajad hasan. Bahkan dengan diketemukannya riwayat al-Hakim maka muncul kesimpulan shahih ligoirih, atau hadis shohih.
Jadi, hadis tentang rincian zakat ternak sapi dapat dijadikan hujjah, dan harus diamalkan.Oleh karenanya para ulama fiqh menjadikan hadis tersebut sebagai rujukan penetapan bilangan  zakat ternak sapi.

b.      Kesimpulan Hadis
 Ketentuan zakat sapi adalah setiap 30 ekor, maka zakatnya seekor anak sapi usia satu tahun, baik jantan maupun betina, dan setiap 40 ekor, zakatnya adalah seekor usia 2 tahun. Menurut para ulama fiqh jumlah nishab sapi jika mencapai 30 ekor, zakatnya seekor anak sapi. Pendapat para fuqaha tersebut seragam tentang zakat sapi disebabkan hadis yang dijadikan dasar sama, yaitu hadis di atas.
Ø  Zakat Uang (Dinar dan Dirham)
Sebagaimana dijealskan dalam hadis Nabi yang diriwayatkan melalui Sahabat Ali bin Abu Tholib dalam Sunan Abu Dawud (1990 : 347) sebagai berikut:  وعن علي رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا كنت لك
 مئتا درهم وحل عليا الحول ففيا خمسة دراهم, وليس عليك شسيئ حتّ يكون لك عشرون دينارا, وحال عليه الحول, ففيا نصف دينار, فما زاد فبحساب ذلك, وليسف مال زكة حتّ يحول عليه الحول. رواه ابو داود, وهو حسن, وقد اختلف ف رفعه.
Artinya: ”Dari Ali Ra. bahwa Rasulullah Saw bersabbda, ”Apabla engkau memiliki 200 drham dan telah melewati masa 1 tahun, maka zakatnya 5 dirham. Tidak wajb atasmu zakat, kecual engkau memiliki 20 dirham dan telah melewati satu tahun, maka zakatnya setengah dinar. Jika lebih dari itu, zakatnya menurut perhitungannya. Harta tidak wajib dikeluarkan zakatnya, kecuali telah melewati satu tahun.”(HR. Abu Dawud)  (1990: 347)
Menurut Imam Abu Dawuddengan status hadis hasan, mengenai kemarfu’annya diperselihkan). a. Takrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1573), anNasa’i(5/37), dan Ahmad (1/148). Dalam sanadnya ada alHarits al-A’wam, tapi setelahnya ada ’Ashim, karenanya menurut al-Zaila’i dalam nashob al-Rayah (9/238), tidak dianggap cacatnya al-Harits karena ada ‘Ashim. (Mardani: 186)
Jadi, derajad hadis tentang zakat uang/dírham diatas minimal hasan, bahkan jika didukung dengan penelitian dari riwayat Ahmad, an-Nasa’i, akan mengngkat dari derajad kehasanan menjadi shohih lighoirih. Oleh karenanya keberadaan hadis di atas dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.
Kesimpulan Hadis
·         Zakat dirham, bila telah mencapai 200 dirham, dan telah sampai setahun (haul), maka zakatnya lima dirham.
·         Zakat dirham, bila telah mencapai 20 dirham dan telah mencapai satu tahun (haul), maka zakatnya setengah dirham.
·         Harta tidak wajib dizakati biala belum mencapai haulnya (1 tahun).
·         Kesimpulan di atas menjadi dasar dalam penetapan hukum fiqh islam terkait dengan hadis uang kertas atau dirham.
Ø  Nisab Harta, Unta, dan Tanaman
و عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ليس فيما دون خمس أواق من الورق صدقة, وليس فيما دون خمس ذود من الابٕل صدقة, وليس فيما دون خمسة اوسق من التمّري صدقة رواه مسلم
Artinya:”Dari Jabir bin Abdillah ra, dari Rasulullah saw, beliau bersabda: ”tidak wajjib zakat pada perak yang kurang dari lima awaq/’uqiyah. Tidak wajib zakat pada unta yang kurang dari lima ekor, dan tidak wajib zakat pada kurma yang kurang lima wasaq.” (HR. Muslim)
Takhrij Hadis (Hadis ini diriwayatkanoleh Muslim (2/675)
Kesimpulan Hadis
·         Nisab zakat untuk perak adalah 5 awaq/’uqiyah.
·         Nisab zakat untuk unta adalah 5 ekor.
·         Nisab zakat untuk kurma adalah 5 wasaq

Ø  Zakat Tanaman yang Disiram Dengan Air Hujan atau Air yang Mengalir
وعن سالم بن عبد الله عن أبيه, عن النبّي صلى الله عليه وسلم قال: فيما سقت السماء والعيون, او كن عثر با العشر, وفيما سقي بالنضّح: نصف العشر. رواه البخاري.ولأبي داود: أو كن بعل: العشر, وفيما سقي بالسوان أو النضّح: نصف العشر.
Artinya:”Dari Salim bn Abdullah, dari bapaknya, dari Nabi Saw. dia berkata, ”Tanaman yang disiram dengan air hujan dan mata air atau menyerap ar dari akarnya zakatnya persepuluh. Dan tananan yang disiram dengan menggunakan tenaga manusia, zakatnya adalah seperduapuluh.” (HR. Bukhari)
Hadis di atas termasuk kategori mukhtalif. Yaitu hadis yang kontradiksi, antara riwayat al-Bukhari dan Abu Dawud. Namun dapat dilakukan takhsis. Oleh karenanya tidak ada yang terbuang diantara keduanya.    
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: (artinya) … ”Atau apabila tanaman itu menyerap ar dengan akarnya, zakatnya ialah sepersepuluh, dan tanaman yang disiram dengan menggunakan binatang atau tenaga manusia, zakatnya adalah seperduapuluh.” a. Takhrij Hadis (Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari (1311) dengan sanad yang mencapai derajad kesahihan (1483). Sedangkan Abu Dawud (1596) bersanad hasan. Dengan demikian secara sanad mencapai derajad sahih. Adapun matannya tidak bertentangan dengan al-Qur/an dan hadis mutawatir, sebab dalam al-Qur’an tidak disebutkan rincian zakat pertanian. Demikian pula dalam hadis mutawatir tidak ada rincian tentang zakat pertanian, kecuali hadis semacam itu. Oleh karenanya derajad matannya mencapai kesahihan.)
Jadi hadis di atas berderajad sahih, sehingga dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan. Atas dasar hadis inilah maka muncul dua variasi jumlah yang dikeluarkan untuk membayar zakat.   Secara rinci kesimpulan Hadis di atas adalah sebagai berikut:
·         Zakat tumbuhan yang disiram dengan air hujan, mata air dan menyerap air dari bakarya adla sepersepuluh.
·         Sedangkan zakat yang disiram dengan tenaga manusia adalah seperduapuluh.
·         Zakat tanaman yang bersifat alami atau tanpa memerlukan biaya adalah sepersepuluh atau sepuluh persen.
Ø  Zakat Rikaz
Secara bahasa rikaz artinya temuan, zakat rikaz adalah zakat yang terkait dengan temuan yang tidak bertuan.
 :وعن بلل بن الحارث رضي الله عنه أنّ النبّي صلى الله عليه وسلم: قال «وفى الرّكز الخمس .»متفّق عليهArtinya: Dari abu Hurairah ra. Bahwa Rasululla saw bersabda: ”Zakat rikaz adalah seperlima.” (HR. Al-BukhariMuslim) (Imam Muslim:
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari (1499) dan Muslim (3/1334).
Kesimpulan Hadis
Zakat rikaz adalah seperlima.
Ø  Zakat Barang Tambang
 وعن بلل بن الحارث رضي الله عنه أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ من المعادن القبليةّ الصّدقة. رواه أبو داود
Artinya:“Dari Bilal bin al-Haris ra, bahwa Rasulullah Saw memungut zakat dari barang tambang kaum Qabaliyah.” (HR. Abu Dawud)
Takrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan olrh Abi Dawud (3061) dan imam Malik dalam al-Muwattha’ (1/248)
Kesimpulan Hadis
Barag tambang termasuk barang yang kena zakat.
Ø  Zakat fitrah
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكة الفطر, صاعا من تمر, أو صاعا من شعير: على العبد والحرّ, والذّكر, والأنثى, والصّغير, والكبيرمن المسلمين, وأمرنا أن تؤدّى قبل خروج الناّس الى الصّلة .متفّق عليه
Artinya:“Dari Ibnu Umar ra, dia berkata: ”Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sho’ kurma atau sati sha’ gandum atas seseorang hamba, yang merdeka, laki-laki dan perempuan, besar maupun kecil dari orang-orang islam, dan beliau memerintahkan agar zakat dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan shalat.” (HR. Bukhari-Muslim)
Takrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh bukhari (1504) dan Muslim (2/677).
Kesimpulan Hadis
Zakat firah hukumnya wajib dengan ketentuan sebagai berikut:
·         satu sha’ untuk kurma atau satu sho’ gandum
·         Zakat fithah wajib bagi hamba maupun merdeka, lakilaki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin.
·         Zakat fitrah dibayar sebelum orang keluar untuk menunaikan shalat idul fitri.
Ø  Zakat Profesi
Hadis-hadis Zakat dan  Konsekwensinya
Zakat menurut bahasa ialah suci dan tumbuh dengan subur dan berarti pula suci dari dosa. Hal itu sesuai dengan manfaat zakat baik bagi orang yang berzakat (muzakki) maupun bagi penerima zakat (mustahiq). Bagi muzakki, zakat berarti membersihkan hartanya dari hak-hak mustahiq, khususnya para fakir miskin. Sedangkan bagi mustahiq, zakat dapat membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti iri dan dengki terhadap muzakki. Sesuai dengan firman Allah pada surat AtTaubah, 9:103.
Perintah berzakat telah disebutkan dalam al-Qur’an dan hadis Nabi, serta Ijma para ulama.  Khusus dalam hadis banyak rincian yang menjabarkan berbagai macam barang yang harus dizakati. Pengertian zakat dalam arti tumbuh dengan subur karena orang yang mengeluarkan zakat di jamin hartanya tidak habis, bahkan akan berkembang berkat pertolongan Allah serta doa kaum dhuafa. Adapun pengertian zakat dalam arti suci dari dosa karena orang yang mengeluarkan zakat (muzakki) telah melepaskan diri dari sifat tamak, iri dan dengki. Sehingga mau memperhatikan kepentingan orang lain yang di amanatkan oleh Allah kepadanya.   Sedangkan pengertian zakat menurut istilah syara’, zakat ialah mengeluarkan sebagian harta benda sebagai sedekah wajib, sesuai perintah Allah SWT kepada orangorang yang sudah memenuhi syarat-syaratnya dan sesuai pula dengan ketentuan hukum Islam.



BAB IV
PENUTUP


Kesimpulan
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran dan belanja Negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Kebijakan fiskal dalam Islam bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan distribusi kekayaan dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual secara seimbang. Pada masa Rasulullah penerimaan negara dari kalangan Muslim salah satunya bersumber dari zakat.




Daftar Pustaka

Mukhtar, Naqiyah. 2013. Ulumul Qur’an, (Purwokerto: Stain Press) 
Putong, Iskandar. 2013. Pengantar Mikro dan Makro Edisi 5, (Jakarta:  Mitra Wacana Media,)
Muhammad, 2002. Ekonomi Islam, (Jakarta:  Salemba empat).
Ali, Muhammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press)







[1] Naqiyah Mukhtar. Ulumul Qur’an.(Purwokerto:STAIN PRESS, 2013).hal.89
[2]  Naqiyah Mukhtar. Ulumul Qur’an.(Purwokerto:STAIN PRESS, 2013). Halm. 173
[3]  Naqiyah Mukhtar. Ulumul Qur’an.(Purwokerto:STAIN PRESS, 2013). Halm. 174
[5] Iskandar Putong, Pengantar Mikro dan Makro Edisi 5, (Jakarta:  Mitra Wacana Media, 2013)
[6] Iskandar Putong, Pengantar Mikro dan Makro Edisi 5, (Jakarta:  Mitra Wacana Media, 2013)
[7] Adiwarman Karim, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta: Kharisma Putra Utama Offset, 2008)
[8] Muhammad, Ekonomi Islam, (Jakarta:  Salemba empat, 2002).
[9] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press), hlm. 26.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS UNIVARIAT, BIVARIAT DAN MULTIVARIAT

Penerapan Statistika Dalam Kehidupan Sehari-hari (Fitri Hidayatuz Zahroh)

Distribusi Poisson dan Penerapannya Dalam Kehidupan Sehari-hari