PAJAK YANG BERLEBIHAN SEBAGAI PENYEBAB HUMAN ERROR INFLATION ( Azhlia Dyah Lestari)
Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester 4
Mata Kuliah Tafsir dan Hadis Iqtishad II
Dosen Pembimbing : Dr. Naqiyah Mukhtar, M.Ag.
Penyusun:
Azhlia Dyah Lestari 1617202090
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan, manusia tak pernah lepas
dengan perkara-perkara kejahatan, baik dalam dunia politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Hal ini disebabkan
karena manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat keburukan dengan berbagai kepentingan yang melingkupi dirinya. Dalam sistem
perpajakan juga terdapat beberapa unsur yang oleh sebagian orang-orang kecil
atau orang yang tidak mampu secara ekonomi merasa tertindas, maksudnya bahwa
pejabat-pejabat dalam perpajakan ada juga yang berlebihan terhadap orang-orang
tidak mampu secara ekonomi dan
menyeleweng dari pada tugasnya sebagai pejabat yang korupsi uang pajak.
Pajak yang berlebihan merupakan salah satu penyebab Human Error
Inflation. Human Error Inflation adalah inflasi yang terjadi karena
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia sendiri.[1]
Dan Human Error Inflation ini akan menyebabkan kerusakan di muka bumi ini.
Oleh karena itu, penulis akan mengangkat makalah berjudul Pajak
yang berlebih sebagai penyebab Human Error Inflation ini.
PEMBAHASAN
A.
Pajak Yang Berlebihan
Menurut Al-Maqrizi, akibat dominasi para pejabat bermental korup
dalam suatu pemerintahan, pengeluaran Negara mengalami peningkatan sangat
drastis. Sebagai kompensasinya, mereka menerapkan sistem perpajakan yang
menindas rakyat dengan memberlakukan berbagai pajak baru serta menaikkan
tingkat pajak yang telah ada.[2]
Hal ini sangat mempengaruhi kondisi para petani yang merupakan kelompok
mayoritas dalam masyarakat. Para pemilik tanah yang ingin selalu berada dalam
kesenangan akan melimpahkan beban pajak kepada para petani melalui peningkatan
biaya sewa tanah. Karena tertarik dengan hasil pajak yang sangat menjanjikan,
tekanan para pejabat dan pemilik tanah terhadap para petani menjadi lebih besar
dan intensif.
Frekuensi berbagai pajak untuk pemeliharaan bendunngan dan
pekerjaan-pekerjaan yang serupa semakin meningkat. Konsekuensinya, biaya-biaya
untuk penggarapan tanah, penaburan benih, pemungutan hasil panen, dan
sebagainya meningkat. Dengan kata lain, panen padi yang dihasilkan pada kondisi ini membutuhkan
biaya yang lebih besar hingga melebihi jangkauan para petani. Kenaikan
harga-harga tersebut, terutama benih padi, hampir mustahil mengalami penurunan
karena sebagian besar benih padi dimiliki oleh para pejabat yang sangat haus
kekayaan. Akibatnya para petani kehilangan motivasi untuk bekerja dan
memproduksi. Mereka lebih memilih meninggalkan tempat tinggal dan pekerjaan
daripada hidup selalu dengan penderitaan untuk kemudian menjadi pengembara di
daerah-daerah pedalaman. Dengan demikian, terjadi penurunan jumlah tenaga kerja
dan peningkatan lahan tidur yang akan sangat mempengaruhi tingkat hasil
produksi padi serta hasil bumi lainnya dan pada akhirnya, menimbulkan
kelangkaan lahan makanan serta meningkatkan harga-harga.
B.
Ayat Tentang Pajak yang Berlebihan
Allah
SWT melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak
dibenarkan, dan pajak yang dipungut secara berlebih merupakan salah satu jalan
yang batil untuk memakan harta sesamanya. Sebagaimana ayat salah satu surat
berikut:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
Artinya:
29. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali
dengan perdagangan yang kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh
diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian.
Makna umum ayat:
Ayat ini
menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan,
bisnis jual beli. Sebelumnya telah diterangkan transaksi muamalah yang
berhubungan dengan harta, seperti harta anak yatim, mahar, dan sebagainya.
Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan,
menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya) harta orang lain dengan
jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Kita boleh
melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan perdagangan dengan
asas saling ridha, saling ikhlas. Dan dalam ayat ini Allah juga melarang untuk
bunuh diri, baik membunuh diri sendiri maupun saling membunuh. Dan Allah
menerangkan semua ini, sebagai wujud dari kasih sayang-Nya, karena Allah itu
Maha Kasih Sayang kepada kita.
Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul :
Menurut riwayat Ibnu Jarir ayat ini turun dikarenakan masyarakat muslim Arab pada saat itu memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil, mencari keuntungan dengan cara yang tidak sah dan melakukan bermacam-macam tipu daya yang seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at. Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas. menurut riwayat Ibnu Jarir seorang membeli dari kawannya sehelai baju dengan syarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikannya dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya. Padahal seharusnya jual beli hendaklah dilakukan dengan rela dan suka sama suka tanpa harus menipu sesama muslimnya.
Sebab Turunya Ayat / Asbabun Nuzul :
Menurut riwayat Ibnu Jarir ayat ini turun dikarenakan masyarakat muslim Arab pada saat itu memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil, mencari keuntungan dengan cara yang tidak sah dan melakukan bermacam-macam tipu daya yang seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at. Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas. menurut riwayat Ibnu Jarir seorang membeli dari kawannya sehelai baju dengan syarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikannya dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya. Padahal seharusnya jual beli hendaklah dilakukan dengan rela dan suka sama suka tanpa harus menipu sesama muslimnya.
C.
Metode Penafsiran
Metode
penafsiran yang penulis ambil berdasarkan QS. An-Nisa : 29 tersebut adalah Metode
Muqarin. Yaitu, metode penafsiran al-Qur’an yang dilakukan dengan menemukan
dan mengkaji perbedaan-perbedaan antara unsur-unsur yang diperbandingkan, baik
dengan menemukan unsur yang benar diantara yang kurang benar, atau untuk tujuan
memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai masalah yang dibahas dengan
jalan penggabungan unsur-unsur yang berbeda itu.
Tafsir muqarin
dilakukan dengan membandingkan ayat satu dengan ayat yang lain, yaitu dengan
ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua masalah atau kasus yang
berbeda atau lebih, atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk kasus yang
sama, atau yang diduga sama, atau membandingkan ayat dengan hadis yang tampak
bertentangan, serta membandingkan pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran
Al qur’an. Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek
kajian tafsir, yaitu membandingkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang
lain, membandingkan ayat dengan hadits Nabi SAW (yang terkesan bertentangan),
dan membandingkan pendapat penafsiran ulama tafsir (baik ulama salaf
maupun ulama khalaf).
Al Farmawi
menyatakan tafsir Muqarin menjelaskan ayat Al Qur’an menurut apa yang ditulis
oleh golongan mufasir dengan meneliti pendapat mereka dalam kitab-kitabnya.
Kemudian, penafsiran masing-masing dibandingkan untuk mencari persamaan,
perbedaan, faktor-faktor penyebabnya, dan yang mempengaruhinya.[3]
D.
Tafsiran Ayat dengan Merefleksikan Ayat Lain
Dari metode
penafsiran Muqarin, penulis akan mencoba merefleksikan QS. An Nisa ayat
29 dengan ayat surat lain, yaitu QS. Al Baqarah ayat 188 yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا
فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah)
kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui.”
Allah SWT
melarang hamba-hambaNya yang mukmin memakan harta sesamanya dengan cara yang
bathil dan cara-cara mencari keuntungan yang tidak sah dan melanggar syari’at
seperti pajak yang berlebihan, riba, perjudian dan yang serupa dengan itu dari
macam-macam tipu daya yang tampak seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at,
tetapi Allah mengetahui bahwa apa yang dilakukan itu hanya suatu tipu muslihat
dari si pelaku untuk menghindari ketentuan hukum yang telah digariskan oleh
syari’at Allah. Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas s.r. menurut
riwayat Ibnu Jarir seorang membeli dari kawannya sehelai baju dengan syarat
bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikannya dengan tambahan satu dirham di
atas harga pembeliannya.
Allah
mengecualikan dari larangan ini pencaharian harta dengan jalan perniagaan yang
dilakukan atas dasar suka sama suka oleh kedua belah pihak yang bersangkutan.
Allah SWT juga
berfirman dalam ayat ini: ”Janganlah kamu membunuh dirimu” dengan melanggar
larangan Allah, berbuat maksiat-maksiat dan memakan harta sesamamu dengan cara
bathil dan curang. Sesungguhnya Allah Maha
Penyayang bagimu dalam apa yang diperintahkan dan dilarang bagimu.
Sehubungan dengan soal bunuh diri dalam ayat ini, diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dari Ibnu Jubair bahwa Amer Ibnul Assh bercerita tentang dirinya tatkala
diutus oleh Rasulullah ke suatu tempat, pada suatu malam yang sangat dingin ia
telah berihtilam (mengeluarkan mani ketika tidur) dan tanpa bermandi jenabat,
ia mengimami shalat shubuh bersama sahabat-sahabatnya. Dan tatkala hal itu
didengar oleh Rasulullah bertanyalah Beliau kepadanya: ”Hai Amer, engkau telah
melakukan shalat shubuh dengan sahabat-sahabatmu sedang engkau dalam keadaan
junub (belum bermandi jenabat)?”
Maka berkata Amer, ”Ya Rasulullah aku telah berihtilam pada malam yang
sangat dingin itu, dan aku khawatir bila aku mandi jenabat akan matilah aku,
maka teringat olehku firman Allah ”Janganlah kamu membunuh dirimu” lalu bertayamumlah
aku, kemudian bershalat bersama sahabat-sahabatku.” Mendengar kata-kata Amer
itu tertawalah Rasulullah tanpa mengucapkan sesuatu.
Dalam lanjutan ayat 29 ”Dan janganlah kamu bunuh diri-diri kamu.” Di antara
harta dengan diri atau dengan jiwa, tidaklah bercerai-tanggal. Orang mencari harta untuk melanjutkan hidup. Maka selain kemakmuran harta
benda hendaklah pula terdapat kemakmuran atau keamanan jiwa. Sebab itu di
samping menjauhi memakan harta kamu dengan bathil, janganlah terjadi
pembunuhan. Tegasnya janganlah
berbunuhan karena sesuap nasi. Jangan kamu bunuh diri-diri kamu. Segala harta
benda yang ada, pada hakikatnya ialah harta kamu. Segala nyawa yang ada, pun
adalah pada hakikatnya nyawa kamu. Diri orang itu pun diri kamu.
Persamaan kedua ayat di atas yaitu kesamaan larangan
memakan harta sesama manusia dengan jalan yang batil. Maksudnya yaitu jalan yang haram menurut
syariat, misalnya dengan mencuri hak orang lain lewat pajak yang berlebihan,
mengintimidasi dan lain-lain. Karena memakan harta orang lain itu termasuk dosa
seperti yang dijelaskan QS. Al Baqarah
ayat 188 tersebut. Harta orang lain itu tidaklah halal bagi kita
kecuali jika diperoleh melalui cara-cara yang ditentukan Allah seperti
pewarisan, hibah dan transaksi yang sah dan dibolehkan. Terkadang ada orang yang menggugat harta saudaranya secara tidak
benar. Ada penguasa yang menyalahgunakan wewenangnya dengan menekankan pajak
yang berlebihan dan tidak adil. Dan segala sesuatu yang berunsur maksiat itu
diharamkan oleh Allah.
E. Kesimpulan
Pajak yang berlebihan akan menyusahkan orang- orang tidak mampu dan
merupakan salah satu jalan yang batil untuk membuat satu pihak menjadi kaya
sedangkan pihak yang lainnya sengsara. Hal itu jelas dilarang dalam Al Qur’an
yaitu yang tertuang dalam QS. An Nisa : 29 dan QS. Al Baqarah : 188.
Referensi
Kemenag RI, 2015, Tafsir Ringkas Jilid 1,
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al Qur’an
Naf’an, 2014, Ekonomi Makro Tinjauan
Ekonomi Syariah, Jogjakarta: Graha Ilmu
Naqiyah Mukhtar, 2013, Ulumul Qur’an, Purwokerto :
Penerbit STAIN Press
Komentar
Posting Komentar